Menceritakan tentang dimana nilai dan martabat wanita tak jauh lebih berharga dari segenggam uang, dimana seorang gadis lugu yang baru berusia 17 tahun menikahi pria kaya berusia 28 tahun. Jika kau berfikir ini tentang cinta maka lebih baik buang fikiran itu jauh - jauh karena ini kisah yang mengambil banyak sisi realita dalam kehidupan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
Di Paviliun yang Sunyi
Suasana ruang tamu paviliun itu terasa sunyi, hanya terdengar detak jam dinding yang perlahan mengisi keheningan. Do Hyun duduk santai di salah satu sofa, menyilangkan kaki sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di sandaran tangan. Tatapannya tajam namun penuh misteri, mengamati ruangan dengan ekspresi dingin yang sulit dibaca.
Di seberangnya, Kim Woon berdiri dengan gelisah, sesekali melirik ke arah pintu kamar di mana seorang dokter tengah memeriksa Yeon Ji. Wajahnya tegang, kekhawatiran yang sulit disembunyikan tergambar jelas dalam sorot matanya.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Dokter melangkah keluar dengan clipboard di tangannya, wajahnya serius namun tetap tenang. Kim Woon segera menghampirinya, sementara Do Hyun hanya melirik sekilas, mempertahankan posturnya yang tak tergoyahkan.
"Anak itu baik-baik saja," kata dokter dengan suara profesional. "Hanya beberapa luka memar akibat upaya perlawanan, tapi tidak ada yang serius. Luka-luka itu akan sembuh seiring waktu."
Kim Woon menarik napas dalam, tapi kekhawatiran masih membayangi wajahnya. "Dokter, apa kau yakin? Tidak ada sesuatu yang lebih serius yang mungkin membahayakan putriku nanti?"
Dokter mengangguk. "Sejauh ini tidak ada tanda-tanda cedera serius, Tuan. Anda tak perlu khawatir."
Do Hyun yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. "Bagaimana dengan luka-lukanya? Apa kau sudah mengobatinya? Apakah itu akan berdampak pada aktivitasnya?"
"Dia mungkin akan merasa sedikit tidak nyaman di beberapa bagian lengannya," dokter menjelaskan. "Tapi jika Anda menginginkan, saya bisa meresepkan obat untuk meredakan nyerinya."
"Kalau begitu, berikan."
Tanpa menunda waktu, dokter mengeluarkan lembaran resep dari tasnya dan mulai menulis dengan cepat namun hati-hati. Setelah selesai, ia memasukkan beberapa obat ke dalam amplop kecil dan menyerahkannya langsung kepada Do Hyun.
"Jika tidak ada hal lain, saya izin kembali ke rumah sakit," ujar dokter sambil membungkukkan badan dengan hormat.
Do Hyun menoleh ke arah salah satu bawahannya yang berdiri di sudut ruangan. "Wang He, urus pembayaran dokter ini dan perintahkan sopir untuk mengantarnya pulang dengan mobil kita."
"Baik, Tuan. Silakan ikut dengan saya." Wang He memberi isyarat kepada dokter, yang kemudian mengikuti langkahnya menuju pintu keluar.
Setelah pintu tertutup, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Do Hyun bersandar di sofa, menatap lurus ke depan tanpa emosi yang jelas, seolah memikirkan sesuatu yang sulit ditebak. Sementara itu, Kim Woon melirik ke arah kamar putrinya, memastikan bahwa Yeon Ji benar-benar aman.
"Kim, kau tidak perlu khawatir mengenai sekolah Yeon Ji," ujar Do Hyun akhirnya. Suaranya datar, namun penuh kepastian. "Aku akan mencarikan sekolah yang lebih baik, dengan penjagaan lebih ketat untuknya."
Namun, Kim Woon menggeleng tanpa ragu. "Itu tidak diperlukan lagi, Tuan," jawabnya dengan suara mantap. "Mulai sekarang, aku telah memutuskan bahwa Yeon Ji tidak akan pernah bersekolah atau belajar lagi seumur hidupnya."
Do Hyun mengangkat alisnya sedikit, menatap pria itu dengan ekspresi sulit ditebak. "Tapi kenapa?" tanyanya tenang. "Bukankah kau begitu menginginkan pendidikan untuk masa depannya?"
Kim Woon menghela napas panjang, kepedihan tergambar jelas di wajahnya. "Apa gunanya masa depan jika dia tak lagi bernyawa?" katanya lirih. "Saya tidak ingin membahayakan nyawanya hanya karena keinginan saya semata."
Do Hyun tidak segera merespons. Ia hanya diam, membiarkan Kim Woon melanjutkan kata-katanya.
"Posisi saya saat ini sangat berbahaya, Tuan," lanjut Kim Woon dengan suara bergetar. "Jika bukan karena kebaikan hati Anda, saya bahkan tidak tahu apa yang bisa terjadi. Tapi sekarang mereka tahu… mereka tahu saya memiliki seorang putri dan seperti apa wajahnya."
Tangannya mengepal erat, seolah menahan ketakutan yang semakin mencengkeram dirinya. Ia menundukkan kepala, tak sanggup menatap langsung ke mata Do Hyun.
"Saya sangat menyesal karena tidak mempertimbangkan saran Anda sebelumnya," lanjutnya. "Dan saya masih sangat berharap… Anda bersedia membantu saya."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Do Hyun menatap pria itu dalam diam, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar permintaan seorang bawahan. Setelah beberapa detik, ia akhirnya bersandar ke belakang, menyilangkan kakinya, lalu berbicara dengan nada tenang namun penuh wibawa.
"Apa yang kau inginkan?"
Kim Woon menegakkan tubuhnya, lalu menatap Do Hyun dengan penuh kesungguhan. "Tolong bantu saya untuk menyembunyikannya dari dunia ini."
Tatapan Do Hyun berubah serius. Tangannya kini bersedekap di dada, ekspresinya nyaris tak terbaca. "Apa maksudmu?"
Kim Woon menelan ludah sebelum akhirnya melanjutkan. "Baik itu media maupun pemerintahan, pendidikan maupun perkembangan zaman… Saya tidak ingin dia terikat dengan semuanya, Tuan. Semua itu hanya akan memberikan kesempatan bagi orang-orang untuk mencelakainya."
Do Hyun mengamati pria itu dengan penuh pertimbangan. "Kim Woon, apa kau sadar berapa besar yang harus saya tanggung karena permintaanmu ini? Dan seberapa besar risikonya?"
"Saya sadar." Kim Woon mengangguk. "Karena itu, mulai hari ini, saya akan menjadikan perintah Anda sebagai prioritas… sebelum putri saya."
Mata Do Hyun menyipit tipis, ekspresinya tetap tak berubah. "Apa kau paham konsekuensi dari perkataanmu ini?"
Kim Woon menegakkan bahunya, menatap lurus ke arah pria yang selama ini menjadi tuannya. "Seperti yang pernah Anda katakan… nyawa orang miskin tidak begitu berarti bagi penguasa seperti Anda." Ia menghela napas dalam. "Tapi kesetiaan dan pengorbanan adalah harga yang bisa saya tawarkan."
Suasana ruangan semakin mencekam. Kim Woon melanjutkan dengan suara mantap, seolah telah memantapkan dirinya dalam jurang tak terhindarkan. "Hanya ini yang saya punya untuk melindunginya. Bagi saya, tak ada yang lebih penting selain melihat Yeon Ji tetap hidup. Namun saya sadar… saya tak akan bisa melakukannya sendiri tanpa dukungan Anda."
Ia menatap Do Hyun dalam-dalam, penuh harapan sekaligus keteguhan. "Karena itu, saya harus hidup… untuk menghabisi semua musuh Anda. Agar saya bisa memastikan Yeon Ji tetap aman."
Beberapa jam telah berlalu sejak pertemuan di paviliun Kim Woon. Kini, Do Hyun duduk di ruang kerjanya yang luas dan megah di rumah besarnya. Langit di luar mulai gelap, hanya lampu-lampu gantung berdesain klasik yang menerangi ruangan dengan cahaya hangat.
Wang He masuk dengan langkah tenang, membawa setumpuk berkas yang tersusun rapi di tangannya. Ia meletakkannya di meja kerja Do Hyun tanpa suara, lalu berdiri di sisi meja, menunggu instruksi lebih lanjut.
"Sesuai dengan keinginan Tuan, saya sudah menyerahkan berkas-berkas itu pada media dan meminta mereka untuk membuka kembali kasus ini," lapor Wang He dengan nada profesional.
Do Hyun menautkan jemarinya di atas meja, ekspresinya tenang namun penuh ketajaman. "Itu bagus. Kini dia telah merasakan akibat dari menolak tawaranku untuk menerima cucuku kembali di sekolah itu."
Wang He mengangguk, namun ada sedikit keraguan dalam tatapannya. "Saya memahami kemarahan Tuan pada kepala sekolah itu, tapi..." Wang He ragu sejenak sebelum melanjutkan, "Saya merasa tidak enak karena orang saya sampai membuat putri Kim Woon terluka."
Do Hyun hanya menatapnya sekilas sebelum menegakkan punggungnya di kursi. "Kau tidak perlu merasa bersalah," ujarnya santai. "Kau hanya menjalankan apa yang kuperintahkan."
Wang He terdiam sejenak, lalu berkata dengan hati-hati, "Maafkan kebodohan saya, Tuan, tapi sungguh, saya tidak memahami. Jika Anda ingin memberi Kim Woon pelajaran, mengapa Anda begitu peduli dan membantunya?"
Seulas senyum tipis terukir di wajah Do Hyun, bukan senyum ramah, melainkan senyum penuh arti, seperti seorang pemain catur yang baru saja menggerakkan bidak pentingnya. Matanya bersinar dengan sesuatu yang dingin dan tajam saat menatap Wang He.
"Kau salah, Wang He," katanya, suaranya pelan namun penuh tekanan. "Aku tidak sedang membantunya. Aku hanya sedang menjinakkan anjing yang mulai bertindak seperti manusia."
kakek yg egois dan berhati iblis...bagaimana jika cucux benci yeon ji berubah menjadi bucin...