Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengikhlaskan yang Belum Pasti
"Terkadang, mencintai berarti melepaskan — bukan karena menyerah, tapi karena percaya bahwa Allah tahu waktu yang terbaik."
-------------------------------------------
Hari yang Hening
Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan tak terduga di pondok pesantren Al-Furqan. Namun, hati Arpani Zahra Ramadhani masih dipenuhi gelombang emosi. Setiap detik pertemuan dengan Fathir Alfarizi Mahendra terputar berulang-ulang di kepalanya. Tatapan mata itu, kata-kata tulus yang terucap, hingga jeda panjang yang diisi oleh keheningan penuh makna.
Tapi ada satu hal yang belum ia temukan — kepastian.
Arpa duduk di balkon rumahnya, memandangi senja yang perlahan tenggelam. Warna jingga kemerahan di langit seolah menggambarkan hatinya yang penuh dengan rasa yang tak jelas. Ia meraih ponselnya, membuka chat terakhir dengan Fathir.
Tak ada pesan baru.
“Kenapa ya, aku malah makin bingung?” gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Ibunya, Siti Rahmawati, keluar membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di samping Arpa, mengamati wajah putrinya yang tampak gundah.
“Kamu masih mikirin Fathir, ya?” tanya Bu Rahma lembut.
Arpa mengangguk pelan. “Iya, Bu. Aku bingung… Aku tahu dia orang baik, dan aku tahu dia juga punya rasa. Tapi kenapa rasanya makin berat?”
Bu Rahma tersenyum bijak. “Karena kamu sedang belajar ikhlas, Nak. Kadang, ikhlas itu lebih berat dari mencintai.”
Arpa menunduk. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Aku takut, Bu… Takut kalau aku berharap terlalu banyak.”
Bu Rahma mengelus punggung Arpa. “Kalau memang dia takdirmu, kamu nggak perlu berlari mengejarnya. Takdir akan selalu menemukan jalannya. Tapi kalau bukan, percayalah, Allah pasti ganti dengan yang lebih baik.”
Kata-kata itu menampar Arpa, tapi juga memberi ketenangan yang aneh. Ia tahu ibunya benar.
----------------------------------------------
Di Pondok Pesantren
Di sisi lain, Fathir duduk di ruang belajar pondok. Di hadapannya terbuka mushaf Al-Qur’an, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Bayangan Arpa, pertemuan mereka, dan semua doa yang selama ini ia panjatkan terus berputar di kepalanya.
Irwansyah Pratama masuk dan melihat Fathir termenung.
“Masih mikirin dia, ya?” godanya sambil duduk di sebelah Fathir.
Fathir tersenyum tipis. “Iya, Yah. Tapi sekarang rasanya beda.”
“Beda gimana?”
“Aku ngerasa… makin aku berdoa, makin aku sadar kalau mungkin aku harus belajar merelakan.”
Irwansyah mengangguk pelan. “Kadang, doa itu bukan buat ngedeketin, tapi buat ngeringanin hati. Gue salut sama lo, bro. Lo berjuang menjaga perasaan lo dengan cara yang paling tulus.”
Fathir menunduk. “Aku cuma takut… takut harapan ini malah jadi dosa.”
Irwansyah menepuk pundaknya. “Selama lo menjaga adab dan tetap mendoakan dalam diam, itu bukan dosa, bro. Tapi jangan lupa, kadang mencintai juga berarti merelakan.”
Kata-kata Irwansyah seolah menjadi jawaban dari semua kebingungan yang Fathir rasakan. Ia menghela napas panjang, lalu berdoa dalam hati.
"Ya Allah, jika aku harus merelakan dia, ajarkan aku cara yang paling lembut agar hatiku tidak hancur."
-------------------------------------------------
Sebuah Keputusan Berat
Malam itu, Arpa duduk di meja belajarnya. Di depannya terbuka jurnal pribadinya. Ia menulis sebuah surat — bukan untuk Fathir, tapi untuk dirinya sendiri.
"Arpa, mencintai bukan berarti memiliki. Kadang, mencintai adalah melepaskan dengan ikhlas dan percaya bahwa Allah tahu apa yang terbaik. Jangan takut kehilangan, karena yang benar-benar ditakdirkan untukmu tak akan pernah pergi.”
Ia menutup jurnal itu dengan air mata yang mengalir. Hatinya berat, tapi ada rasa damai yang perlahan menyusup.
Di waktu yang hampir bersamaan, Fathir menulis di jurnal pribadinya.
"Fathir, mencintai dalam diam adalah ujian terbesar. Tapi yakinlah, jika dia takdirmu, Allah akan mempertemukan kalian lagi di waktu yang paling indah. Dan jika bukan, Allah akan menggantinya dengan cinta yang lebih kuat dan lebih tulus.”
------------------------------
Di dua tempat berbeda, dua hati yang saling mendoakan akhirnya menemukan jawaban yang sama — melepaskan bukan berarti menyerah. Kadang, melepaskan adalah bentuk cinta paling tulus.
Arpa menatap langit malam dan berbisik,
"Ya Allah, jagalah dia. Meski aku bukan takdirnya, izinkan aku terus mendoakan kebahagiaannya."
Di pondok, Fathir memandang bintang yang sama dan berkata dalam hati,
"Ya Allah, kuatkan hatiku untuk menerima apapun takdir-Mu. Aku percaya, Engkau tahu yang terbaik untuk kami."
-----------------------------
“Cinta sejati bukan tentang seberapa keras kamu menggenggam, tapi seberapa ikhlas kamu melepaskan ketika tahu belum saatnya memiliki. "