Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
You've Got a Friend
Di hari terakhir Akasia dirawat, Dinia berinisiatif datang ke rumah sakit untuk membantunya berkemas untuk pulang dari rumah sakit. Ia juga membantu Ibu Akasia membawakan tas-tasnya dari rumah sakit hingga sampai ke rumahnya. Di kamarnya, Akasia berbaring kembali, sementara Dinia sibuk menyalakan televisi untuk mencari tontonan.
“Gimana perkembangan hubunganlu dan Endry? Dia udah nembak lu?” Dinia menyelidik dengan tatapan tengilnya.
Akasia dan boneka Adri yang mendengarnya terhenyak, “Elu ya, orang baru sembuh malah ditodong pertanyaan gitu.” Akasia menyambitnya dengan boneka kecil, “Koreng gue aja masih basah.”
“Elu sih nggak terbuka ke gue. Gue kan jadi cemas, gue teman lu bukan sih?” Dinia menyampaikan kegelisahannya, “Gue aja kaget, tiba-tiba dapet kabar lu kecelakaan.”
“Sorry, Din. Gue nggak tahu lu merasa begitu.” Akasia menyesal, ia memeluk Dinia yang kini duduk di sampingnya, ia memang merasa agak jauh dari sahabatnya belakangan ini. Semenjak punya teman curhat baru ia jadi lupa bercerita kepada kawan lamanya, “Endry belum nembak gue, dan kayaknya nggak ada niatan juga. Dia kan sudah dekat lagi sama Selena.”
“Elu sih pakai kasihan-kasihan! Jadinya begini kan. Mereka kalau duet mah ya elu nggak diajak.” Dinia menyalahkan Akasia, “Kecuali poligami, mau lu?”
“Astagfirullah Dinia!” Akasia mengingatkan sahabatnya, “Emang harus banget ya gue sama Endry?”
“Emang lu ada kandidat cowok lain?” Dinia kembali antusias, “Nah ini lu belum cerita nih, siapa lagi tuh?”
“Ya kali aja jodoh gue bukan dia, mungkin lagi menunggu gue di suatu tempat.” Akasia berangan-angan, “Cowoknya tinggi, ganteng, keren, pintar, penyayang, lembut, perhatian, lucu.” Sesaat bayangan Adrian melintas dikepalanya namun segera diusirnya, 'Kenapa jadi kebayang Adri sih?'
“Kayak oppa-oppa Korea.” Tambah Dinia usil.
“Itu mah selera lu kali!” Akasia menepak sahabatnya enteng.
“Kalau begitu mari kita panjatkan doa kebangsaan para jomblo. Tuhan kirimkanlah aku…” Dinia memulai bernyanyi.
“Kekasih yang baik hati…” Akasia menyambung.
“Yang mencintai aku....apa adanya…” Mereka berduet menyanyi dengan kompaknya sambil melambai-lambaikan tangan seakan mereka berada di konser.
...oOo...
“Akasia, ini Ayah. Boleh Ayah masuk?” Terdengar ketukan dari pintu kamar Akasia.
“Masuk aja, Yah. Nggak dikunci.” Jawab gadis yang asyik memainkan ponsel di ranjangnya.
Ayahnya masuk dan menutup kembali pintu. Ia segera menghampiri ranjang puterinya dan duduk di sebelahnya, “I'm sorry, Ayah baru bisa datang sekarang, konferensi di Berlin nggak bisa Ayah tinggalkan, soalnya Ayah termasuk undangan utama. Ayah khawatir waktu dengar kamu kecelakaan loh!” Pria paruh baya itu terlihat bersalah, “Coba lihat, mana yang sakit.”
“Telat yah, udah diobatin semua. Tinggal tunggu sembuh.” Gadis itu menjawab cuek.
“Lihat aja nggak boleh nih? Tunjukin deh, dimana sakitnya.” Pinta Ayahnya.
Akasia akhirnya menjelaskan bagian-bagian mana saja dari tubuhnya yang terdampak akibat kecelakaan. Sebenarnya pria itu sangat khawatir dan ingin banyak bertanya, tapi ia tidak mau dianggap cerewet oleh putrinya itu. Lagipula putrinya lebih membutuhkan ketenangan, ia takut membangkitkan kenangan buruk yang akan membuat Akasia merasa trauma.
“Motor kamu gimana dong?” Ayahnya mengecek.
“Lagi di bengkel, diurusin temanku.” Akasia menginformasikan, “Yang waktu itu pernah kesini.” Ia mencoba mengompori Ayahnya agar kesal.
Ayahnya teringat pemuda bernama Endry, sontak ia merasa lebih khawatir, “Kamu beli motor baru aja ya, eh...mobil aja gimana? Supaya aman.” Ayahnya menawarkan, ‘Mungkin kalau Akasia membawa mobil, pemuda tengil itu akan insecure untuk mendekati Akasia.’ Pikiran licik Ayahnya menggagas.
“Nggak dulu, Yah, aku justru pingin menikmati masa-masa diboncengin. Enak juga nggak perlu nyetir sendiri.” Akasia menjawab mantap, “Bisa pakai angkutan umum, ojek online, temanku itu juga mau tebengin kalau aku minta kayaknya.” Ia mengecek respon Ayahnya.
“Jangan dong!” Ayahnya menolak cepat ide itu, “Laki-laki jangan dimanfaatin melulu, nanti lama-lama berharap imbalan loh.” Pria itu menakut-nakuti.
“Gitu ya?” Akasia bangkit karena tertarik dengan topik ini.
“Iya, lelaki tuh begitu Akasia. Di mulut dia bisa bilang ikhlas, dalam hati siapa yang tahu. Pria kan rasional, pakai logika, kalau nggak ada untungnya untuk dia, mana mau keluar tenaga dan modal. Itu logika laki-laki pada umumnya.” Ayahnya menasihati putrinya itu, gadis itu mengangguk-angguk, menyimpan pesan itu dalam benaknya.
“Lagipula kamu kan wanita modern, harus bisa mandiri. Buktikan wanita bisa hidup dengan baik meski tanpa bantuan laki-laki. Jadi kalaupun ada laki-laki yang mendekati kamu, dia akan selalu takut kehilangan kamu, karena kamu sudah membuktikan kamu bisa hidup dengan baik walau tanpa laki-laki, begitu.” Ayahnya menambahkan.
“Seperti Ibu ya, Yah?” Sindir Akasia, membuat ayahnya mengernyitkan kening, “Ibu kan mandiri, bisa mengerjakan semuanya sendiri walau tanpa Ayah. Harusnya Ayah takut kehilangan Ibu, bukan malah main-main di belakang Ibu.” Akasia menambahkan.
“Iya juga sih ya, Ayah baru sadar Ibu kamu sehebat itu. Maafin Ayah ya, Ayah dulu gelap mata.” Pria paruh baya itu mengakui.
“Ayah sebenarnya cinta nggak sih sama Ibu?” Akasia menanyakan dengan wajah serius, “Jujur.”
“Cinta, bahkan ada masa saat Ayah sangat takut kehilangan Ibu. Waktu itu Ibu pulang ke rumah Nenekmu, meninggalkan Ayah disini mengurusmu selama seminggu. Itu karena Ibu sudah nggak tahan dengan kelakuan Ayah. Dalam seminggu itu Ayah mengurusmu dan rumah ini morat-marit rasanya, itupun nggak pernah sebaik Ibu hasilnya. Ayah baru sadar sesulit itu ternyata mengurus anak dan rumah sekaligus.” pandangan ayahnya menerawang ke depan.
“Jadi Ayah merindukan Ibu sebagai pekerja sukarela di rumah ini?” Akasia menyimpulkan dengan kecewa.
“Bukan, bukan begitu. Saat itu Ayah sudah coba bayar orang untuk bantu bersih-bersih dan urus rumah. Rumah bisa kembali menjadi bersih dengan makanan hangat bisa terhidang di meja, tapi tetap rasanya ada yang hilang.
Ayah baru sadar, Ibumu adalah jiwa rumah ini, nggak bisa kalau bukan Ibumu. Tanpa Ibumu rumah ini nggak akan sama, Ibumu lah yang membuat bangunan ini menjadi rumah yang nyaman, bukan desain arsitekturalnya semata. Ayah jadi teringat kenangan manis kami dulu, mimpi-mimpi kami, dan semua janji yang pernah Ayah ucapkan.
Ayah semakin takut Ibumu memutuskan untuk meninggalkan Ayah, karena Ibu sudah mengultimatum dengan kembali ke rumah Nenek. Ayah segera menjemput Ibu dan saat itu Ayah bertekad harus bisa membawanya pulang, meski harus bersujud meminta maaf di kaki Ibu dan Nenekmu. Jadi disana pun Ayah menghadapi makian dari Nenek, dan Ayah terima demi mendapatkan maaf beliau, memang Ayah yang salah kok.”
Ayah kini menatapku, "Jadi jangan pikir Ayah mudah mendapatkan maaf Ibumu. Ayah juga sudah berusaha keras memperbaiki keluarga ini dengan cara Ayah, mungkin nggak sempurna, bahkan Ayah lupa minta maaf ke kamu juga waktu itu, Maaf ya.” Ayahnya tampak tulus kali ini.
Akasia tertegun, ia baru tahu kejadian itu ada, “Ayah, ada yang namanya post betrayal syndrome, wanita nggak mungkin baik-baik saja setelah dikhianati orang yang dicintainya. Pesan aku, tolong bawa Ibu ke psikolog, Yah. Aku menyaksikan sendiri gimana stresnya Ibu di masa-masa Ayah mengabaikan kami karena sibuk dengan diri sendiri. Tolong pulihkan juga jiwanya, karena ada hal-hal yang nggak bisa pulih cuma dengan kata maaf.”
Pria itu tertegun dan mengangguk, "Baik Nak, nanti akan Ayah antar Ibumu ke psikolog. Kamu memang sudah lebih pintar dari Ayah.” Janjinya.
...oOo...
Endry kembali menyambangi kediaman Selena untuk sekedar menghabiskan waktu mengobrol bersama, kali ini mereka leyeh-leyeh di sofa empuk di ruang menonton Selena yang dilengkapi home-theater. Endry melirik ponsel Selena dan menjumpai sebuah foto yang janggal di layar kuncinya.
“Ini siapa?” Endry heran menjumpai foto pemuda berwajah oriental terlihat akrab dengan Selena di ponsel gadis itu.
“Oh itu Hayashi-san, kemarin kita menang waktu cosplay berdua di event Nihon Matsuri. Dia orang Jepang, tapi bisa bahasa Indonesia.” Selena menjawab cuek, lalu terperangah menyadari sesuatu, ‘Bisa nggak ya gue bikin Endry cemburu, atau paling tidak khawatir sama gue?’ Batin Selena penasaran.
“Orang Jepang? Baru kenal? Kenal dimana?” Tanya Endry terdengar curiga.
‘Asyiik, kedengarannya dia khawatir nih.’ Selena mengulum senyum kesenangan, “Kenal di forum komunitas penggemar budaya Jepang, waktu ketemu ternyata orangnya baik, jadi akrab deh.” Jawabnya mengarang dengan santai, menahan kegirangan.
“Orang asing loh itu, gimana lu bisa yakin dia baik?” Endry mempertanyakan dengan skeptis.
“Gue dan Hayashi udah sering ketemu berdua, makanya gue tahu orangnya baik, seru juga. Gue nggak mungkin menilai orang dengan asal kan.” Selena membocorkan, “Kami udah jadi teman akrab kok, dia enak diajak ngobrol, mana ganteng.” Tambah Selena sengaja melebih-lebihkan.
“Ketemu berdua? Kok gue nggak tahu?” Endry terlihat panik dan khawatir.
“Emang gue harus selalu laporan ke elu? Elu aja lagi sibuk sendiri masalah Akasia” Sindir Selena puas, senang karena bisa mengembalikan ucapan pria itu.
“Iya sih.” Endry jadi bingung sendiri dengan perasaan cemasnya, “Gini aja deh, lain kali lu jangan ketemu berdua lagi sama dia, ajak gue juga. Gue juga mau tahu gimana orangnya. Kan...gue kenal ortu lu, mereka pasti khawatir nih lu kenalan sama cowok baru, orang asing pula, dari antah berantah gini.” Endry mengungkapkan idenya.
“Ortu gue atau elu yang khawatir?” Gumam Selena sambil menyeringai, “Anyway, nanti deh gue kenalin ke elu, supaya lu berhenti khawatir.” Selena menjanjikan.
“Benar ya? Janji!” Pinta Endry memastikan.
“Iya janji.” Selena menjanjikan, “Lagian lu sih sibuk urusin Akasia. Gimana perkembangan hubungan kalian?” Selena berkata kasual, lebih tepatnya berusaha terdengar santai.
“Ya nggak gimana-gimana, dia aja lagi cidera begitu. Gue lagi nggak kepikiran itu, pelaku terornya dulu nih mau gue ungkap, supaya dituntut sekalian. Kesal gue!” Endry mengungkapkan jujur, membuat Selena ciut hatinya.
“Jangan ngomongin itu deh, bikin pusing. Makan aja yuk.” Ajak Selena sambil berpindah ke ruang makan.
semangat /Good/