GUS NACKAL VS SANTRI BARBAR

Naila bersungut-sungut marah setelah mendengarkan cerita dari Laras karena memanfaatkan situasi dan kondisinya untuk mengerjai Gus An. Meskipun Dia sangat barbar, akan tetapi tidak suka dengan kecurangan. Dia suka yang apa adanya meskipun akan berakibat yang sangat fatal terhadap dirinya sendiri.

“Keterlaluan kamu, Aku nggak suka punya teman kayak kamu.”

“Loh gimana sih Nai, kan tadi juga udah Aku bantuin. Ini bukan hanya demi kepentinganku sendiri, ini nantinya juga buat kamu belajar.”

“Sini...” Naila merebut paksa lembaran-lembaran yang di beri oleh Gus An. Kertas itu sampai berhamburan kemana-mana, beterbangan. Naila benar-benar barbar menghadapi Laras untuk kali ini sampai sahabatnya itu ketakutan melihat tingkah Naila. Amarahnya memuncak, Dia memunguti satu pesatu kertas tersebut.

Krek... Naila merobek satu persatu hingga habis tak tersisa. Laras hanya diam ketakutan menyaksikan Naila.

“Halo Guysss...” Rara datang secara tiba-tiba. Niatnya untuk membantu Naila pulang dari puskestren yang lokasinya juga tidak jauh dari asrama. Dia sangat terkejut menyaksikan dua sahabatnya dengan reaksi yang berbeda. Naila seperti kesetanan dan Laras seperti ketakutan.

“Ada apa ini sebenarnya...?” Rara menjerit saat nafas Naila naik turun tidak karuan. Dia hampir kehabisan nafas lantaran melakukan adegan brutal. Baru saja sembuh, tapi sudah bikin ulah lagi.

“Naila...” Rara menepuk pipi Naila yang tiba-tiba melemas di lantai. Laras ikut mendekat sembari ketakutan. Gara-gara dirinya Naila sampai seperti ini. Mereka berdua kembali membaringkan Naila di brankar.

“Laras, coba ceritakan ini kronologinya bagaimana sampai Naila seperti ini.” Laras menjelaskan panjang lebar, mulai dari saat Naila meminta tolong kepadanya untuk mengerjai Gus An, kemudian Dia juga ikutan mengerjai Gus An. Rara menepuk jidat, mereka sama-sama tidak ada yang bisa di salahkan. Keduanya sama-sama bersalah.

Beberapa menit kemudian setelahnya, Naila mulai membuka matanya. Dia menyapu seluruh ruangan. Di pojokan sana ada dua sahabatnya. Tapi Naila memilih untuk membelakangi mereka dan diam tanpa mengajak bicara mereka.

Laras mendekati Naila terlebih dahulu. Niatnya untuk meminta ma’af tapi Naila hanya diam saja. Sudah berkali-kali dia ucapkan kata ma’af akan tetapi masih belum di terima oleh Naila.

“Aku masih marah...” Laras memohon, menyanggupi apapun akan di lakukan asalkan Naila mau memaafkan dirinya.

“Minta ma’af sama Gus An dan jelaskan kebenarannya.” Ucap Naila. Laras mengangguk akan segera menemui Gus An sebelum Naila kembali ke asrama. Baru saja kakinya akan melangkah keluar ruangan, orang yang yang di temui sudah muncul dari luar.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam.” ucap Laras yang paling keras lantaran dirinya adalah orang yang paling terkejut di antara lainnya karena berada di dekat pintu.

“Gimana kondisi kamu Nai...?”

“Baik Gus, ini juga mau pulang.” Gus An menawarkan untuk membantu Naila kembali ke asrama. Tapi Dia menolak mentah-mentah. Apa kata semua santri kalau sampai dirinya beneran di bantu oleh Gus An yang notabenya di kagumi Mbak-mbak Santri, terutama Mbak Santi yang sangat ambisius jadi istri Gus An.

“Tapi kamu belum sehat total Nai. Saya bisa bantu bawakan barang-barang kamu biar tidak merepotkan Rara dan Laras.”

“Terima kasih Gus, tapi itu terlalu berlebihan. Nanti apa kata semua santri kalau saya dekat-dekat dengan jenengan. Mereka semua akan mengira saya yang ganjen dan semakin membenci saya.”

“Itu semua tidak akan terjadi. Kamu tidak melakukan kesalahan.”

“Cukup Gus, tolong ngertiin saya. Cukup mereka semua membenci saya karena ulah saya yang selalu meresahkan. Jangan sampai sekarang membuat keadaan semakin rumit.”

“Tapi Nai, roghibtu fiiki (saya mencintaimu).” Seketika Naila dan semua orang yang ada di dalam ruangan melotot tak percaya dengan apa yang baru saja di ucapkan oleh Gus An.

...****************...

Naila langsung mengambil air wudhu saat adzan baru saja di kumandangkan. Kelakuan Naila membuat para hattersnya bertanya-tanya. Bukan hanya mereka saja, akan tetapi Laras yang semakin setia menemani Naila ikut keheranan.

“Tumben duri nangka rajin.” Hujat salah seorang pengikut circle Fatma. Mereka tidak suka melihat Naila menjadi rajin semenjak kembali dari rumah.

“Udah inget mati kali ya, kemarin kan habis sakit. Barangkali habis ketemu sama malaikat izroil.”

Naila tidak memperdulikan lambe-lambe turah meskipun Dia sendiri yang mendengar hujatan tersebut. Dia memilih untuk langsung mengenakan mukena, mengambil Al-Qur’an lantas pergi ke masjid lebih awal. Di bukanya Al-Qur’an yang berdebu karena sudah cukup lama tidak Dia baca. Setelah sebagian besar santri sudah berkumpul dan imam sholat sudah datang, iqomah pun di lantunkan.

“Bismillahirrahmaanirrahiim...” suara imam sholat tersebut sangat merdu dan enak di dengar. Membuat hati para pendengarnya meleleh termasuk Naila yang ada di barisan paling depan.

Semoga nanti Aku mendapatkan jodoh yang seperti ini ya Allah...

Tak lupa Dia selipkan do’a setelah selesai membaca wirid. Naila merasakan ketenangan yang sudah lama tidak Dia rasakan karena jarang mengikuti jama’ah dan terkadang setelah salam Dia langsung kabur. “Ternyata enak ya jadi orang alim. Pantesan mereka-mereka nggak pernah galau, nggak pernah ketakutan di hukum.” Batinnya dalam hati.

Ya Allah, siapapun itu Aku ingin mendapatkan jodoh sepertinya...