Seorang anak terlahir tanpa bakat sama sekali di dunia yang keras, di mana kekuatan dan kemampuan ilmu kanuragan menjadi tolak ukurnya.
Siapa sangka takdir berbicara lain, dia menemukan sebuah kitab kuno dan bertemu dengan gurunya ketika terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam dan terkenal angker di saat dia meninggalkan desanya yang sedang terjadi perampokan dan membuat kedua orang tuanya terbunuh.
Sebelum Moksa, sang guru memberinya tugas untuk mengumpulkan 4 pusaka dan juga mencari Pedang Api yang merupakan pusaka terkuat di belahan bumi manapun. Dialah sang terpilih yang akan menjadi penerus Pendekar Dewa Api selanjutnya untuk memberikan kedamaian di bumi Mampukah Ranubaya membalaskan dendamnya dan juga memenuhi tugas yang diberikan gurunya? apakah ranu baya sanggup menghadapi nya semua. ikuti kisah ranu baya hanya ada di LEGENDA PENDEKAR DEWA API
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12
"Pukulan Dewa Api!"
Tubuh Geni kembali terlempar jauh hingga membakar pepohonan. Dia hanya bisa menggeleng tidak percaya dengan yang dialaminya sekarang.
"Berdirilah, ayo kita lanjutkan pertarungan ini!"
Geni menatap Ranu yang juga sedang memandangnya. Tiba-tiba dia melihat sosok Pendekar Dewa Api di dalam mata Ranu. Secara ajaib sosok siluman api itu kemudian menunduk, "Aku menyerah. Kau sekarang menjadi tuanku."
"Siapa yang ingin jadi tuanmu? Apa aku pernah bilang ingin jadi tuanmu?"
Geni menggelengkan kepalanya.
"Yang aku inginkan kau bisa menjadi temanku,tidak ada juragan atau bawahan. Kita berkelana sampai kematianku memisahkan kita."
Geni hanya bisa menatap Ranu dengan rasa tidak percaya. Bahkan Pendekar Dewa Api pun menganggap dia sebagai pembantunya," Dibalik sifatnya yang konyol, memang benar ucapan Tuan Suro jika anak ini mempunyai budi pekerti yang luhur," gumamnya.
"Kenapa kau menatapku begitu, apa kau masih penasaran dan ingin bertarung lagi denganku?"
"Eh, bukan begitu. Tidak apa-apa, Tuan. Aku hanya merasa kagum dengan Tuan."
"Panggil saja aku Ranu. Aku bukan siapa-siapa dan tidak akan menjadi apa-apa. Perlu kutegaskan sekali lagi, aku bukan tuanmu!"
"Baiklah, Ranu. Tapi, biasanya pemilikku selalu menjalin perjanjian darah jika bisa mengalahkanku."
"Gunanya buat apa?"
"Agar aku selalu patuh kepadamu," sahut Geni.Ranu menggeleng "Aku tidak akan mengekang kebebasanmu. Kalau kau mau pergi, silahkan saja! Yang aku butuhkan adalah teman yang akan menemani perjalananku."
"Sekarang aku mengerti, Ranu. Aku akan selalu menemani perjalananmu sampai kau tidak membutuhkan aku lagi! Kalau kau ingin berbicara denganku, pakai pikiranmu saja.
Jangan bicara seperti saat ini karena kau pasti dikira gila."
Ranu tertawa kecil mendengar candaan Geni. Dia tidak menyangka jika makhluk menyeramkan seperti Geni bisa bercanda juga.
Surojoyo terlihat mendekati mereka berdua, "Bagaimana Geni, apakah pilihanku salah?"
Geni menggeleng, "Aku berjanji akan menemani perjalanan Ranu sampai kapanpun, Tuan."
Seusai berucap, Geni kemudian menghilang dan kembali ke dalam Pedang Segoro Geni.
"Ayo kita kembali, Ranu. Ada yang mau aku bicarakan."
"Baik, Kakek."
***
Sesampainya di dalam gua, Surojoyo mengambil sarung Pedang Segoro Geni yang dia simpan di sebuah rongga batu. Bilah pedang pusaka tersebut pun lantas dimasukkan ke sarungnya.
"Bawalah pedang ini untuk menemanimu berkelana," ujarnya seraya menyerahkan pedang Segoro Geni kepada Ranu.
Tangan Ranu sigap meraih pedang tersebut dan menaruh di depannya.
"Ranu, di nusantara ini ada tiga pusaka yang sekelas dengan Pedang Segoro Geni milikmu. Setiap pusaka mewakili satu perubahan unsur. Setiap pusaka juga mewakili empat arah mata angin. 4 pusaka tersebut dibuat oleh Resi Abiyasa dengan tujuan untuk mendamaikan bumi ini," jelas Surojoyo."Carilah keempat pusaka itu dan satukanlah di tubuhmu! Setelah itu carilah pusaka terkuat di antara pusaka yang ada di dunia ini, Yakni Pedang Api. Setelah empat pusaka itu kau temukan, kamu akan mendapat petunjuk dimana Pedang Api saat ini berada." lanjutnya.
Ranu menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa percaya jika perjalannya akan menempuh jalan dan waktu yang sangat panjang. Tapi karena teringat pesan ayahnya, Ranu tetap bertekad untuk menjalani petualangannya.
"Baiklah, Kakek. Aku akan melaksanakan petuah Kakek."
"Ada satu hal lagi, Ranu. Saat ini adalah saat terakhir pertemuan kita. Kakek dulu sudah berjanji kepada Dewata ... jika kakek sudah menemukan murid yang bisa meneruskan dan mewarisi semua ilmu yang kakek miliki, Kakek akan meninggalkan dunia ini. Dan saat ini adalah saat yang tepat untuk melaksanakan janjiku."
Ranub meneteskan air matanya. Dia tidak percaya jika harus kehilangan lagi orang yang disayanginya. Setelah kedua orang tuanya, sekarang kakek angkatnya pun akan meninggalkannya.
"Kau jangan bersedih, Ranu! Hidup harus terus berjalan. Jalanilah takdir yang sudah digariskan Dewata kepadamu. Ingatlah jika kebenaran akan selalu berpijak pada tempatnya, meski keburukan setiap saat akan datang menggoda."
Ranub mengangguk tanpa mengucap sepatah katapun. Dalam hatinya sudah dipenuhi tekad untuk menegakkan kebenaran di muka bumi.
"Pejamkan matamu, agar kau tidak melihat kepergianku!"
Ranu lalu memejamkan kedua matanya dengan erat. Dan tak lama kemudian, tubuh Surojoyo menjadi butiran kristal kecil yang bercahaya lalu perlahan menghilang.
"Selamat tinggal cucuku, tetaplah berpijak di jalan kebenaran." Suara Surojoyo menggema di dalam gua dan sebelum hening menghilang.Untuk beberapa saat Ranu memejamkan mata. Dia harus bisa beradaptasi untuk lagi-lagi tidak memiliki seseorang yang disayanginya.
Helaan napas berat meluncur deras dari bibir setelah membuka mata dan sudah tak terlihat lagi tubuh kakeknya.
***
Malam yang hening menyapa dasar jurang yang tenang. Suara hewan malam terdengar bersahutan berirama menyambut rembulan yang memancarkan sinar indahnya.
Ranu terdiam sendiri tanpa kata. Bayangan kedua orang tuanya dan juga kakek angkatnya masih begitu membekas di ingatannya.
Dia kemudian menjerit sepuasnya untuk melegakan kesedihan di hatinya.
"Aaaaaaaaaaaaaaakh!"
Teriakan yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam dikeluarkan Ranu hingga terdengar sampai dusun terdekat.Setelah puas berteriak, Ranu lantas membaringkan tubuhnya untuk beristirahat. Dia berencana mulai besok untuk mencari keberadaan perampok yang sudah membunuh kedua orang tuanya.
***
Keesokan paginya di saat matahari sudah sepenggalah menyapa dunia, Ranu telah bersiap untuk meninggalkan gua yang menjadi tempatnya tidur selama tiga tahun terakhir. Tatapan matanya tertuju kepada sebuah kantong kecil yang tergeletak di samping tempat tidurnya.
Tangan kanannya meraih kantong tersebut dan membukanya. Di dalam kantong ternyata berisi koin uang yang lumayan banyak. Rupanya Surojoyo sudah mempersiapkan bekal yang nantinya akan digunakan Ranu untuk berkelana.
Selain koin yang jumlahnya tidak sedikit, Ranu juga melihat gulungan kulit kering kecil di dalam kantong tersebut. Diambilnya gulungan kulit kering itu, dibuka dan kemudian dibacanya."Ranu, gunakanlah koin uang ini untuk bekalmu di perjalanan. Buatlah kakek bangga dengan perbuatan luhurmu."
Pemuda 18 tahun itu tersenyum seraya mengepal dengan kuat. Dia berjanji akan membuat kedua orang tua dan kakeknya bangga dengan perbuatan yang akan dia lakukan selama menjalani petualangannya.
Setelah memasukkan gulungan kulit kering ke dalam kantong yang juga berisi koin uang, dia lalu berjalan keluar hingga sampai di depan pintu goa. Ranu membalikkan badannya dan menatap gua tersebut cukup lama.
Setelah puas memandang, Ranu kemudian berjalan menjauhi gua tersebut lalu mendongak ke atas, "Aku lewat mana? Kenapa kemarin tidak bertanya kepada kakek?" ujarnya bermonolog.
Meskipun bisa menggunakan ajian saipi angin dan juga ilmu meringankan tubuh, namun karena tidak akses jalannya untuk ke atas, Ranu dibuat kebingungan juga.Akhirnya dia memutuskan untuk berlompatan dari pohon ke batu dan seterusnya sampai dia bisa berdiri di bibir jurang.
"Huuuuft!" Ranu menghembuskan napas panjang setelah keluar dari dasar jurang yang dihuninya hampir tiga tahun lamanya.
Agar segera sampai di dusun Karangkates, Ranu menggunakan ajian Saipi angin yang sudah dikuasainya. Sengaja dia tidak ingin menuju dusun Karangasri lagi karena tidak ingin mengalami kesedihan yang bisa membuat tekadnya mengendur.
Kecepatan yang ditunjukkan Ranub seperti sudah sangat lama menguasai ilmu kanuragan. Siapapun orangnya, jika melihat kecepatan berlari Ranub, pasti tidak akan percaya jika pemuda itu berlatih ilmu kanuragan hanya dalam tempo dua tahun saja.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dusun Karangkates sudah terlihat di depan mata. Ranu menghentikan larinya dan berjalan seperti biasa.
Bungkusan kain dan Pedang Segoro Geni terlihat menggantung di pundaknya sebagai pertanda bahwa dia adalah seorang pengelana.
Memasuki dusun karangkates yang cukup ramai pagi itu, Ranu yang sudah hapal seluk beluk dusun tersebut tidak kesulitan untuk mencari kedai makan. Dia sudah sangat kangen dengan nasi jagung dan sambel korek. Ditambah ikan wader goreng sebagai lauknya. Menu sederhana yang selalu membuatnya ketagihan.
"Paman, aku pesan nasi jagung sama wedang pokak, ya!"
"Silahkan duduk dulu!"
Ranu kemudian mencari tempat di samping meja yang ditempati 4 orang warga setempat. Sengaja dia memasang kupingnya dengan cermat mencuri dengar pembicaraan mereka.
"Dengar-dengar perampok Macan Kumbang kemarin melakukan aksinya lagi di dusun Sukobendu. Hampir semua laki-laki di dusun itu dibunuh dan wanitanya diperkosa," ucap salah satu lelaki bertubuh kekar berkulit gelap..