Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Kebahagiaan dan Cibiran
Bel istirahat telah berbunyi dari tadi, namun Ririn masih setia duduk di bangkunya sambil memandangi pintu kelas. Matanya terus memandang ke pintu kelas menanti kedatangan Kirana yang sedang dipanggil ke ruang kepala sekolah. Akhirnya orang yang ditunggu-tunggu datang. Kirana datang dengan wajah berseri-seri namun matanya masih nampak merah. Ririn langsung melompat dari kursinya.
“Kir… Gimana? Kamu diterima kan?!” tanya Ririn sambil tangannya mencengkeram lengan Kirana.
Kirana mengangguk tapi air matanya mengalir lagi. “Aku dapat beasiswanya Rin…! Bahkan semua biaya sekolah dan uang sakuku ditanggung Rin… Bahkan… lihat… sekarang aku punya buku tabungan dan ATM sendiri…!” bisiknya sambil memperlihatkan amplop coklat yang dibawanya. Kirana tertawa kecil di antara isakannya.
“Aku tahu kamu pasti bisa! Ini awal baru buat kehidupanmu…!” ujar Ririn. Mereka mengabaikan suara riuh lalu lalang siswa di koridor sekolah. Kirana dan Ririn fokus dengan obrolan mereka. Kirana membuka buku tabungannya dengan hati-hati. Kirana dan Ririn terkejut melihat angka yang ada di buku tabungannya. “Ini cukup untukmu buat beli ponsel paling canggih Kir…!” ujar Ririn sambil nyengir.
Kirana tertawa pelan. “Ini belum seberapa Rin… Katanya setiap bulan akan ditransfer lagi… Tapi aku harus menggunakannya secara bijak. Ini hanya buat biaya sekolah dan uang saku saja…,” ujar Kirana sambil memandang langit-langit kelasnya.
Ririn mengangguk. “Benar Kir… kamu harus menabung… Aku tahu cita-citamu mau kuliah ke Jakarta, tentu uang ini nanti akan sangat berguna…,” tambah Ririn sambil memegang tangan sahabatnya.
“Ingat kamu simpan ini baik-baik… Jangan sampai ketahuan Bibi dan kakakmu…,” tambah Ririn.
Setelah cukup lama memandang buku tabungan itu. Ririn baru teringat kalo ada tawaran buat Kirana bersekolah SMA di Jakarta. “Kir… dimana kamu nanti masuk SMA…? Jadi ke Jakarta…? Pasti aku akan sangat kehilangan..,” ucap Ririn memandang Kirana dengan mata berkaca-kaca.
“Iya Rin… memang ada tawaran itu, tapi…,” Kirana menatap jendela dan wajahnya berkerut. “Aku tetap memilih SMA di sini. Aku belum mau jauh dari Paman Budi, Arif, Kakek Sapto dan tentunya…. Ririn sahabatku yang paling cantik… he… he… he…,” jawab Kirana sambil tertawa pelan.
Ririn memeluk Kirana erat. “Semoga keputusanmu benar Kir… Tapi kamu tetap hati-hati dengan Bibi Tari dan Rara… Mereka pasti tidak terima dengan keberhasilanmu ini…,” ucap Ririn masih dengan memeluk Kirana.
Bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan jam pelajaran selanjutnya akan segera dimulai. Mereka berdua kembali ke tempat duduk mereka tentu dengan wajah yang berseri.
Siang menjelang sore di pondok Kakek Sapto latihan dimulai dengan pemanasan ekstrem. Kirana dan Ririn diperintahkan memanjat pohon jambu dan mengambil buah jambu sebagai “hadiah” bagi mereka. Ririn yang takut ketinggian hanya bisa meronta-ronta di dahan terendah, sementara Kirana sudah ada di dahan yang lebih tinggi dan sudah bisa memetik beberapa buah jambu.
“Kakek… ini bukan latihan… ini siksaan…!!!” protes Ririn dengan wajah pucat.
Kakek Sapto tertawa terkekeh. “Ini latihan menguji keberanian kalian! Kalau tidak bisa melawan pohon bagaimana kalian melawan musuh?”
Kirana yang mendengar dari atas pohon, hanya bisa mentertawakan Ririn yang masih meronta-ronta di dahan bawah dengan wajah yang cemberut.
Setelah latihan memanjat pohon, dilanjutkan dengan latihan kuda-kuda. Ririn tiba-tiba terjatuh pada saat Ririn mengambil ancang-ancang akibat disenggol Kakek Sapto. “Aduh pantatku…! Kakek ini… kenapa Ririn disenggol pula… Jatuh kan… hikssss…,” keluh Ririn kepada Kakek Sapto sambil meringis dan mengusap tanah dari celananya. Sedangkan Kirana masih kokoh dengan kuda-kudanya, sama sekali tidak bergerak ketika didorong oleh Kakek Sapto.
“Kalian harus kuat seperti batu…!” kata Kakek Sapto pura-pura serius.
“Tapi Ririn lebih cocok jadi batu sandungan… ha…. ha… ha…,” celetuk Kirana sambil tertawa terbahak-bahak sampai air matanya keluar.
Suasana riang itu pecah ketika Kakek Sapto tiba-tiba melempar biji jambu ke arah mereka. “Latihan menghindar…!” teriak Kakek Sapto. Keduanya lari menghindar sambil menjerit-jerit karena biji jambu beterbangan seperti hujan.
Malam hari setelah semua pekerjaan rumah dan makan malam selesai, Kirana masih duduk di ruang keluarga dengan tangan gemetar memegang buku tabungannya. Paman Budi yang sedang membaca koran di ruang keluarga menatapnya penuh perhatian.
Paman Budi mendekati Kirana yang sedang duduk termenung di meja makan. “Ada apa Kirana? Sepertinya ada yang kamu pikirkan?”
“Paman… aku mendapatkan beasiswa. Ini buktinya Paman…,” ujar Kirana pelan.
Paman Budi tersenyum lebar dan matanya berkaca-kaca. “Kamu hebat Nak..! Paman selalu percaya padamu…!” ucap Paman Budi sambil melihat buku tabungan yang Kirana bawa. “Kamu simpan buku tabungan ini… jangan sampai ketahuan bibi dan kakakmu…,” ucap Paman Budi mengingatkan.
“Iya Paman…. Kirana akan simpan buku tabungan ini dengan baik…,” ucap Kirana pelan sambil memasukkan buku tabungannya ke dalam tas yang dibawanya.
“Oh iya Paman… beasiswa ini berlaku sampai Kirana kuliah Paman… Tapi SMA Kirana memilih tetap di SMA Negeri yang ada di ibu kota kecamatan saja paman… walaupun ada tawaran bisa sekolah di Jakarta paman…,” lanjut Kirana dengan mata berkaca-kaca.
“Heh… beasiswa…?” sela Bibi Tari yang datang ke dapur untuk mengambil air minum. Wajahnya mencibir Kirana. Rara yang datang dan sedang asyik main ponsel langsung mendongak.
“Buat apa beasiswa…? Sekolah tinggi-tinggi nanti tetap saja cuma jadi istri orang!” ledek Rara dengan senyum meremehkan.
Bibi Tari menyambung, “Iya…. Daripada mikirin sekolah, mending kamu belajar masak yang bener. Nanti juga akan menikah dengan orang kampung juga… Nggak usah sok pintar…!”
Kirana menggigit bibirnya, amplop coklat di tangannya semakin erat tergenggam. “Kirana tidak mau nikah muda Bi… Kirana ingin mandiri…,” jawab Kirana pelan dan matanya sudah berkaca-kaca.
“Mandiri? Kamu pikir hidup semudah itu?” tanya Bibi Tari dengan nada sinis. “Lihat saja nanti… paling-paling kamu akan merengek ke sini!”
Paman Budi menyela, “Cukup Tari…! Kirana punya hak untuk mimpinya…! Biarkan dia berusaha…!”
Ruang makan tersebut mendadak hening. Wajah Bibi Tri merah padam lalu pergi dari ruang makan itu dengan menghentakkan kakinya. Rara juga mengikuti dengan menggerutu. Arif yang diam-diam mengintip dari balik pintu mengacungkan jempolnya ke arah Kirana.
Kirana memandang buku tabungan dan ATM di dalam kamarnya. Kilasan cibiran Bibi Tari dan Rara masih tergiang di telinganya, tapi kali ini air matanya tidak jatuh. “Aku akan buktikan… Aku bukan lagi Kirana yang lemah,” bisiknya dalam hati.
Di luar… angin malam berbisik membawa janji, pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.
Bagaimana kisah selanjutnya...? Ikuti bab selanjutnya...