"Syukurlah kau sudah bangun,"
"K-ka-kamu siapa? Ini… di mana?"
"Tenang dulu, oke? Aku nggak akan menyakitimu.”
Ellisa memeluk erat jas yang tadi diselimuti ke tubuhnya, menarik kain itu lebih rapat untuk menutupi tubuhnya yang menggigil.
"Ha-- Hachiiih!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Esa melangkah
Esa melangkah masuk ke dalam mobil dengan senyuman santai. "Bercengkerama sama gadis-gadis tadi cukup mengobati rasa kangen gue sama adik gue."
Sam melirik tajam sambil menghela napas. "Kenapa nggak lo pulang aja buat ngobatin rasa rindu lo? Bukan malah berbagi rindu sama cewek-cewek yang nggak ada hubungannya."
Esa tersenyum tipis, namun ada raut kesedihan yang sulit disembunyikan. "Masalahnya, Sam, adik gue sekarang entah di mana."
Sam yang sedang meraih seatbelt-nya langsung berhenti, tubuhnya menegang. "Apa maksud lo? Bukannya dia masih sama keluarga lo?"
Esa menatap keluar jendela, mencoba mencari kata-kata yang pas. "Panjang ceritanya."
"Kenapa mesti panjang? Bukannya keluarga lo baik-baik aja?" Sam mulai menyalakan mobil, bersiap untuk keluar dari area sekolah.
Esa mendesah pelan, seperti menimbang apakah ia harus jujur atau tidak. "Itu yang lo tahu. Gue nggak pernah cerita soal yang lainnya."
"Maksud lo?"
Esa akhirnya mulai bicara, perlahan namun pasti. "Lo inget kan, setelah kita lulus SMP, gue sama keluarga gue pindah keluar kota gara-gara urusan bisnis bokap?"
"Iya, gue inget. Terus?"
"Setelah itu kita ketemu lagi di kampus yang sama. Waktu itu semuanya masih terlihat baik-baik aja. Bokap gue sibuk, tapi keluarga gue masih utuh."
Sam mengangguk. "Oke, terus?"
Esa tersenyum pahit. "Waktu gue lulus kuliah, adik gue masih ada. Dia bahkan ikut di foto wisuda bareng nyokap dan bokap."
"Iya, gue inget itu."
"Saat dia masuk SMA, nyokap sama bokap gue memutuskan buat mengasramakan dia. Mereka bilang biar dia fokus belajar, tapi setelah itu gue jarang banget dengar kabarnya."
Esa menghela napas, "Lo tau kan? Setelah lulus, kita kerja bareng dan bangun bisnis bareng. Kita mulai sibuk kerja, sampe gue bisa punya rumah sendiri. Jarak ke kota L jauh banget. Jadi gue nggak pernah sempet buat nengok mereka, apalagi adik gue."
Sam memutar bola matanya, bingung. "Jadi, lo nggak pernah tahu apa yang terjadi sama dia? Esa, ini udah berapa tahun? Harusnya dia udah lulus SMA, terus kuliah. Kenapa dia nggak balik ke rumah keluarga lo?"
Esa tersenyum getir, "Nyokap sama bokap gue sibuk banget kerja, Sam. Mereka hampir selalu di luar negeri. Surat, pesan, atau telepon sering banget nggak ada yang dibalas. Kadang gue mikir, buat apa gue repot-repot nanyain sesuatu yang nggak pernah dikasih jawaban?"
Sam mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir, menahan emosi. "Esa, ini adik lo. Gimana lo bisa nggak peduli sama sekali?"
"Bukan nggak peduli, Sam." Esa menatap temannya dengan tatapan sendu. "Gue cuma nggak tahu harus mulai dari mana. Semua orang di keluarga gue sibuk ngejar hidup masing-masing. Gue nggak tau apakah adik gue baik-baik aja atau nggak."
Sam menghela napas panjang, "Kalau lo nggak mulai nyari dia sekarang, lo bakal nyesel, Es. Dia adik lo, tanggung jawab lo juga, gimana pun keadaannya."
“Makanya, Sam,” Esa bersandar santai di jok mobil. “Lo yang masih punya adik, lo harus terus pertahanin itu. Jangan sampai lo nyesel kayak gue.”
Sam mengerutkan dahi, lalu menatap Esa tajam. “Lah, kenapa lo malah nasehatin gue? Harusnya gue yang nasehatin lo biar lo cepet cari adik lo. Kejem bener lo jadi kakak!”
“Haha.” Esa tertawa, tapi ada nada getir di suaranya. “Gue bingung, Sam. Gue udah terlanjur seneng sama dunia gue sendiri. Rasanya... gue nggak tau gimana caranya buat nyari dia lagi.”
Sam mendengus kesal sambil menggoyangkan kepala. “Astaga, Esa. Lo emang sinting ya. Gue, sahabat lo sejak kecil, masih nggak ngerti kenapa lo bisa jadi sekayal ini.”
“Udahlah, Sam. Hidup itu rumit.” Esa memutar bola matanya. “Dan gue nggak mau nambah mumet.”
“Ckckck, keterlaluan lo. Gini deh, lo buat aplikasi aja buat nyari keberadaan adik lo. Kalau perlu, gue bantu. Nama adik lo siapa sih?”
Esa terbelalak, menatap Sam seolah tidak percaya. “Lo nggak tau nama adik gue?”
Sam langsung menggaruk pipinya dengan canggung. “Yaaa… karena gue nggak pernah ketemu langsung sama dia. Jadi gue lupa.”
Esa tertawa terbahak-bahak. “Waktu dia masih bayi aja lo suka ciumin pipinya. Masa lo nggak tau namanya?”
“Jangan bahas itu!” Sam mengalihkan pandangan ke jalan, wajahnya memerah malu.
“Aha! Jangan-jangan lo waktu itu suka sama adik gue yang masih bayi, ya?” Esa menggoda sambil menyenggol bahu Sam.
“Bukan gitu, Es! Gue cuma gemes aja.” Sam buru-buru membela diri. “Lagipula, gue waktu itu pengin punya adik juga kayak lo. Makanya gue gemes sama dia.”
“Kalau lo pengin punya adik cewek kayak gue, kenapa lo nggak sayang sama Alana?”
“Beda kasus, Esa.” Sam mendecak pelan.
“Beda apanya? Kalau lo pengin punya adik cewek, harusnya lo sayang sama Alana. Tapi sekarang gue curiga nih…” Esa menyipitkan mata, senyumnya lebar penuh menggoda. “Apa lo sebenarnya suka sama adik gue, makanya lo nggak peduli sama Alana?”
“Hey! Esa! Kenapa pembicaraan kita malah ke situ?” Sam langsung menoleh tajam, sementara Esa tertawa puas dengan reaksinya.
“Ah, Sam. Lo emang gampang banget dipanasin.” Esa memukul bahunya pelan. “Tapi serius, kalau lo masih peduli soal keluarga, jangan pernah sia-siain Alana. Karena keluarga itu cuma sekali, dan kalau udah pergi, lo nggak bisa balikin mereka lagi.”
“Kalo lo terus nasehatin gue, gue juga bakalan nasehatin lo balik!” tandas Sam.
Esa masih tertawa terbahak-bahak, jelas tidak menganggap ucapan Sam terlalu serius. “Oke, oke, gue nyerah! Tapi lo emang lucu banget, Sam,” katanya sambil menepuk bahu temannya sebelum tertawa lagi.
Tak lama kemudian, mobil mereka sampai di depan kantor. “Sam, gue turun di sini aja, ya. Gue mau masuk lewat depan, lebih gampang.”
Sam mengangguk, “Oke."
Sam melanjutkan perjalanan ke area parkir bawah tanah. Setelah memarkir mobilnya, dia menghela napas panjang.
“Sialan kan!” gumam Sam, menepuk dahinya. “Lupa nanya nama adiknya, lagi.” Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi sejenak, merasa kesal pada dirinya sendiri. “Dari tadi ngobrol panjang lebar, tapi tetep aja nggak dapet informasi penting.”
Sam membuka pintu mobil dan keluar, langkahnya terasa berat. Pikirannya sibuk, bukan hanya soal nama adik Esa, tetapi juga cerita Esa tentang keluarganya yang membuat Sam jadi berpikir ulang tentang hubungannya dengan Alana.
“Kayaknya gue juga nggak jauh beda sama Esa,” bisiknya sambil menghela napas. “Cuma beda bentuk aja, gue juga sering nggak peduli sama Alana.”
Namun, ketika Sam hendak melangkah menuju lift, sesuatu terlintas di pikirannya. “Nama adiknya... ah, dulu gue pernah manggil juga, tapi apa ya? Sa... Sasa... Gitu dulu manggilnya.” Ia mengingat-ingat, mencoba menggali memori lamanya.
Wajah bayi mungil itu muncul di benaknya, lengkap dengan pipi tembam yang dulu sering ia cubit. “Ah sudahlah.” Sam akhirnya menyerah.
Sam masuk ke lift, lalu menekan tombol lantai tempat kantornya berada. Tapi di sudut hatinya, rasa penasaran itu tetap membara.
BTW gantian ke cerita ku ya Thor. Poppen. Like dn komen kalo bs. /Grin/