Ketika Hati Memilih Tuhan
Bab 1: Jalan Gelap Seorang Preman
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”
(QS. At-Talaq: 2)
---
Setting: Malam di sudut kota yang penuh dengan gemerlap lampu jalan, suara deru kendaraan, dan sorakan anak-anak muda. Bau asap rokok bercampur dengan aroma makanan dari warung tenda di pinggir jalan.
---
Fahri berdiri di pojok jalan, tubuhnya bersandar di dinding tembok yang dingin. Jaket kulit hitam yang ia kenakan terlihat kumal. Di tangannya, sebatang rokok hampir habis, asapnya mengepul ke udara. Tatapan matanya kosong, tapi sorotnya tajam seperti binatang buas yang siap menerkam mangsanya.
"Bang Fahri, ada target malam ini?" tanya seorang anak buahnya, Iwan, yang berdiri tak jauh dari sana. Iwan adalah anak muda tanggung, baru 17 tahun, tapi sudah terjebak di dunia jalanan.
Fahri meliriknya sekilas. "Ada. Si Harun di pasar, masih belum setor minggu ini," jawab Fahri dingin, membuang puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya dengan ujung sepatu bututnya. "Kalau malam ini dia masih berani ngelawan, kasih tahu dia, utang nggak kenal hari libur."
Iwan mengangguk, wajahnya tampak tegang. "Siap, Bang. Tapi denger-denger, dia udah ngadu ke ormas sebelah."
Fahri hanya tertawa kecil. "Ormas sebelah? Mereka cuma bisa teriak-teriak. Kalau udah ketemu aspal, pasti minta ampun."
Malam itu, Fahri bersama Iwan dan beberapa anak buahnya berjalan menuju pasar. Jalanan sepi, tapi rasa tegang terasa di udara. Setiap kali melewati gang sempit, suara langkah mereka menggema. Tangan Fahri masuk ke saku jaketnya, meraba besi dingin yang biasa ia bawa — pisau lipat yang sudah lama menjadi "teman setianya".
---
Pertemuan dengan Harun
Di pasar, Harun, seorang pedagang sayur paruh baya, tampak sedang membereskan dagangannya. Wajahnya lelah, tapi matanya tetap waspada. Ia tahu bahwa Fahri pasti akan datang malam ini.
"Harun!" suara Fahri menggema di tengah pasar. Langkahnya berat tapi penuh kepastian. Para pedagang yang masih ada di pasar perlahan pergi satu per satu, tak ingin terlibat dalam urusan preman.
Harun menoleh dengan wajah penuh kecemasan. "Bang Fahri, sabar ya, Bang. Saya cuma butuh waktu tiga hari lagi. Saya janji setorannya beres!" katanya dengan suara memelas, tangannya gemetar saat menutup gerobaknya.
"Janji? Janji? Udah berapa kali aku dengar kata itu, Harun?" Suara Fahri meninggi. Dia mendekati Harun, berdiri di hadapannya dengan tubuh tegap. Perbedaan tinggi badan mereka membuat Harun terlihat semakin kecil.
"Bang, tolonglah... Anak saya sakit. Uang yang ada cuma cukup buat beli obat," kata Harun sambil memegang tangan Fahri, berharap belas kasihan.
Tapi Fahri menepis tangannya dengan kasar. "Jangan bawa-bawa anakmu di sini, Harun. Ini urusan utang. Kau janji bayar minggu lalu, sekarang minggu ini. Mau tunggu sampai tahun depan, hah?"
Harun tak bisa menjawab. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya gemetar ketakutan.
"Bang Fahri, kasih dia waktu lagi, kasihan anaknya sakit," ujar Iwan, mencoba membujuk Fahri.
Fahri melirik Iwan dengan tajam. "Denger, Wan. Dunia ini nggak kenal kasihan. Kalau kita lemah, orang lain bakal injak-injak kita."
Ia mencengkeram kerah baju Harun dan menariknya ke depan. "Dengar, Harun! Tiga hari. Tiga hari lagi kalau kau masih nggak bayar, aku pastikan warung ini kosong. Ngerti?!"
Harun mengangguk cepat-cepat, matanya menunduk dalam-dalam. Fahri melepaskan kerah baju Harun dengan kasar, membuat Harun terhuyung ke belakang. "Ayo, kita pergi!" seru Fahri kepada anak buahnya.
---
Kembali ke Markas
Malam semakin larut. Fahri dan kawan-kawannya kembali ke markas, sebuah bangunan kecil yang dulunya adalah gudang kosong. Bau asap rokok dan kopi hitam memenuhi ruangan. Musik dangdut dari radio tua mengalun pelan di sudut ruangan.
Fahri duduk di kursi reyot, melemaskan otot-ototnya. Ia menyalakan rokok baru, menghisapnya dalam-dalam. Tapi entah kenapa, malam ini pikirannya gelisah. Bayangan wajah Harun dengan mata berkaca-kaca terus muncul di benaknya.
"Aku cuma lakuin apa yang dunia ajarin ke aku," gumam Fahri pada dirinya sendiri. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada suara kecil yang bertanya, "Sampai kapan kamu mau hidup kayak gini, Fahri?"
"Bang, ada tamu," seru Iwan dari pintu depan.
Fahri mengangkat kepalanya, matanya menyipit. Dari pintu masuk, seorang wanita masuk perlahan. Ia mengenakan kerudung putih bersih, wajahnya berseri-seri. Senyum lembutnya membuat ruangan terasa lebih terang. Semua orang di markas itu terdiam, seolah kehadiran wanita itu membuat suasana berubah.
"Assalamu'alaikum," sapanya lembut. Suaranya seperti hembusan angin pagi.
"Wa... wa'alaikumussalam," jawab Iwan dengan wajah terkejut.
Fahri menatapnya lekat-lekat. "Siapa dia? Dan kenapa dia ada di sini?"
---
Pertemuan Pertama dengan Aisyah
Wanita itu mendekati Fahri, tidak takut, meskipun ia tahu betapa berbahayanya orang-orang di tempat itu. Dengan penuh keyakinan, ia berdiri di hadapan Fahri.
"Bang Fahri, aku ingin bicara," katanya lembut.
"Siapa kau?" tanya Fahri dengan nada tajam.
"Namaku Aisyah. Aku datang ke sini bukan untuk cari musuh. Aku cuma mau bicara baik-baik."
Aisyah menatapnya dengan tatapan penuh ketenangan. Tidak ada rasa takut di matanya, meski di sekelilingnya ada sekelompok preman. Semua orang di ruangan itu terdiam.
"Kalau kau punya masalah, selesaikan di luar. Tempat ini bukan buat orang baik-baik," kata Fahri, mencoba mengusirnya.
Tapi Aisyah tetap tenang. "Bang Fahri, aku cuma mau bilang, setiap orang punya kesempatan untuk berubah. Allah nggak pernah tutup pintu taubat."
Kata-kata itu seolah menusuk jantung Fahri. Ia menatap Aisyah dengan tatapan bingung. Siapa dia ini? Kenapa tiba-tiba datang dan bicara soal taubat?
"Pergi dari sini sebelum aku kehilangan sabar!" bentak Fahri.
Aisyah tidak bergerak. Ia tetap berdiri di sana, menatap Fahri dengan mata penuh ketenangan.
"Bang Fahri, hidup ini singkat. Jangan sampai kau menyesal saat semuanya terlambat," ucap Aisyah sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruangan itu.
Fahri hanya diam. Tangannya masih memegang rokok yang hampir habis. Asapnya membumbung ke langit-langit. Tapi hatinya... hatinya mulai merasa aneh. Kata-kata Aisyah tadi terus terngiang di pikirannya.
"Kesempatan untuk berubah... Pintu taubat..."
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Fahri tidak bisa tidur. Ia teringat wajah Harun yang memelas, teringat kata-kata Aisyah yang tenang tapi penuh kekuatan.
"Kalau aku mati malam ini... apa aku akan diselamatkan?"
---
Di bab ini, pembaca diperkenalkan dengan sisi gelap kehidupan Fahri sebagai preman. Konflik internal Fahri mulai terlihat ketika ia bertemu dengan Harun dan Aisyah. Pertemuan dengan Aisyah akan menjadi titik awal perubahan besar dalam hidup Fahri.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments