Bayangan gelap menyelimuti dirinya, mengalir tanpa batas, mengisi setiap sudut jiwa dengan amarah yang membara. Rasa kehilangan yang mendalam berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Dendam yang mencekam memaksanya untuk mencari keadilan, untuk membayar setiap tetes darah yang telah tumpah. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Namun, dalam perjalanan itu, ia mulai bertanya-tanya: Apakah balas dendam benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan? Ataukah justru akan menghancurkannya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.Yusuf.A.M.A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketakutan dan Keraguan
Setiap hari, Ryan merasa khawatir saat melangkah ke sekolah. Tatapan Hery yang tajam selalu mengintainya dari kejauhan, membuatnya merasa seperti buruan. Di kelas, ia sering teralihkan oleh bayangan pria berjubah hitam yang menawarkan kekuatan untuk melindungi Elma. Namun, ia tahu bahwa menerima tawaran itu bisa membawa konsekuensi yang tidak terduga.
Saat istirahat, Ryan berusaha menghindari Hery dan gengnya dengan duduk sendirian di sudut kantin. Namun, bayangan pria misterius itu terus menghantuinya, membuatnya merasa terjepit antara rasa takut dan godaan akan kekuatan yang ditawarkan. Ia merasa terisolasi, tidak tahu harus berbicara dengan siapa tentang perasaan dan ketakutannya. Setiap detik terasa seperti beban yang semakin berat.
Bahkan di rumah, Ryan tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya dipenuhi oleh ancaman Hery dan tawaran pria berjubah hitam yang terus menggoda. Ia merasa terjebak dalam lingkaran ketakutan yang tidak bisa ia hindari. Setiap suara di malam hari membuatnya terjaga, waspada terhadap kemungkinan ancaman yang datang.
Keesokan harinya, Ryan berangkat ke sekolah dengan pikiran yang berat. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia bisa menghadapi Hery tanpa harus menerima tawaran pria berjubah hitam itu. Namun, setiap langkah menuju gerbang sekolah terasa seperti perjalanan menuju medan perang. Bayangan tatapan tajam Hery membuatnya ingin berbalik dan melarikan diri.
Di dalam kelas, Ryan duduk di bangkunya dengan kepala tertunduk, mencoba menghindari perhatian siapa pun. Ia merasa seperti semua orang tahu apa yang sedang ia alami, meskipun kenyataannya tidak ada yang benar-benar peduli. Ketika Elma memasuki kelasnya untuk mencarinya, ia merasa dadanya berdebar lebih kencang, tetapi ia tetap diam. Ia tidak ingin melibatkan Elma dalam masalahnya, meskipun gadis itu adalah alasan mengapa ia ingin menjadi lebih kuat.
Saat istirahat, Ryan kembali ke sudut kantin, tempat biasa ia menyendiri. Ia melirik sekeliling, memastikan bahwa Hery dan gengnya tidak berada di dekatnya. Namun, ketenangan itu hanya sesaat, karena ia kembali teringat kata-kata pria berjubah hitam semalam. Tanpa sadar, ia menggenggam erat sisi meja, mencoba menahan kegelisahan yang terus menggerogoti pikirannya.
Di tengah rasa takut dan kebingungannya, Ryan mulai bertanya-tanya apakah ada orang lain yang bisa ia mintai bantuan. Ia memikirkan guru, orang tua, atau mungkin teman-teman yang pernah dekat dengannya. Tapi rasa malu dan takut ditertawakan membuatnya tidak bisa membuka mulut. Baginya, ini adalah beban yang hanya bisa ia tanggung sendiri.
Malam itu, ketika ia sedang mencoba belajar di kamarnya, suara berat itu kembali terdengar.
"Kau masih ragu, Ryan?" pria berjubah hitam itu muncul lagi, kali ini lebih dekat dari sebelumnya."Berapa lama lagi kau akan membiarkan dirimu dikuasai oleh ketakutan dan keraguan ini?"Ryan memalingkan wajahnya, tetapi kata-kata pria itu terasa menusuk, seperti menguliti semua keraguan dan ketakutannya.
Ryan berdiri dari kursinya, mencoba melawan ketakutan yang menghantuinya."Apa kau tidak punya cara lain selain mengambil hatiku?" tanyanya dengan suara bergetar. Pria berjubah hitam itu tersenyum samar, meskipun wajahnya tetap tersembunyi."Kekuatan sejati membutuhkan pengorbanan sejati, Ryan. Jika ada cara lain, kau harus menemukannya sendiri."
Setelah pria itu menghilang lagi, Ryan merasa beban di dadanya semakin berat. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus menunda keputusan, tetapi pikirannya masih dipenuhi keraguan. Bayangan Elma kembali muncul, kali ini bersama tawa mengejek Hery yang selalu mengintimidasi. Ryan mengepalkan tangannya, mencoba menemukan keberanian untuk melangkah ke depan.
Di pagi berikutnya, ia memutuskan untuk berbicara dengan seseorang yang selama ini ia hindari guru wali kelasnya, Pak Arya. Dengan langkah ragu, ia mendekati ruang guru, berharap Pak Arya tidak terlalu sibuk untuk mendengarkan. Ketika ia akhirnya bercerita, kata-katanya terdengar terbata-bata dan disertai rasa malu. Tapi, untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian.
Pak Arya mendengarkan dengan sabar, memberikan Ryan ruang untuk meluapkan semua beban yang ia rasakan. Setelah mendengar cerita itu, Pak Arya menatapnya dengan penuh perhatian.
"Ryan, melawan ketakutan tidak selalu berarti harus kuat sendirian. Kadang, meminta bantuan adalah langkah yang paling berani," katanya. Kata-kata itu memberikan secercah harapan yang mulai memadamkan rasa putus asa dalam hati Ryan.
Meskipun masalahnya belum selesai, Ryan merasa telah mengambil langkah kecil menuju penyelesaian. Ia tahu, Hery mungkin masih akan mengancamnya, dan pria berjubah hitam itu mungkin tidak akan menyerah begitu saja. Tapi kali ini, Ryan merasa memiliki pilihan lain, pilihan yang tidak melibatkan kehilangan dirinya sendiri. Ia berjanji pada dirinya untuk melindungi Elma dengan cara yang benar, tanpa mengorbankan apa yang paling penting hatinya.
Ryan meninggalkan ruang guru dengan perasaan campur aduk sebagian lega, sebagian lagi masih penuh kecemasan. Pak Arya telah memberikan pandangan baru, tetapi rasa takut yang terus menghantuinya belum sepenuhnya sirna.
Saat kembali ke kelas, matanya bertemu dengan tatapan Elma yang penuh perhatian. Gadis itu tampaknya menyadari ada sesuatu yang berbeda dalam diri Ryan hari itu, meski ia hanya tersenyum samar tanpa mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Ryan merasa sedikit lega karena tidak perlu memaksakan diri untuk berbicara tentang semua yang telah terjadi.
Namun, di benaknya, bayangan pria berjubah hitam kembali muncul. Kali ini, ia berkata dengan nada penuh teka-teki, "Kau tidak bisa berlari selamanya, Ryan. Keputusan telah dibuat, dan jalanmu hanya tinggal dua. Pilihanmu akan menentukan semuanya."
Ryan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Ia tahu bahwa menghadapi Hery tidak akan mudah, tetapi pilihan untuk membiarkan ketakutan menguasai dirinya bukan lagi satu-satunya opsi.
Hari-hari berlalu, dan Ryan mulai mengambil langkah-langkah kecil untuk memperkuat dirinya. Ia mulai berbicara lebih terbuka dengan teman-teman yang dipercaya, meskipun rasa malu masih menghampirinya setiap kali ia membuka diri. Namun, setiap percakapan, setiap dukungan kecil yang ia terima, seperti menguatkan langkahnya untuk tetap berdiri tegak.
Namun, bayangan pria berjubah hitam itu semakin sering muncul dalam mimpinya, menggodanya dengan janji-janji kekuatan yang seolah-olah menggoda kelemahannya. Ryan mencoba untuk menolak, tetapi keraguan masih merayap kembali.
Satu sore, saat duduk di taman dekat sekolah, Elma menemukan Ryan yang sedang termenung. Gadis itu duduk di sampingnya, memberikan senyum lembut yang menghangatkan hati.
"Kau baik-baik saja?" tanya Elma pelan, menghilangkan sebagian beban yang Ryan rasakan. Ryan tersenyum kecil, meskipun ada kekhawatiran dalam matanya. Ia mengangguk. "Ya, aku hanya sedang berpikir."
Elma tidak menanyakan lebih lanjut, tetapi kehadirannya sudah cukup untuk memberikan ketenangan. Dalam diam, Ryan menyadari bahwa meski ada bayangan gelap yang selalu mengikutinya, cahaya Elma seperti lilin yang menuntun jalan ke arah yang lebih baik.
Sore itu, Ryan memutuskan bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya tenggelam dalam ketakutan lebih lama lagi. Ada harapan di balik bayangan-bayangan itu, dan ia bertekad untuk menemukannya tanpa kehilangan siapa dirinya sebenarnya.