Ziel, seorang CEO muda yang tegas dan dingin, memutuskan pertunangannya setelah menemukan bukti perselingkuhan Nika. Namun, Nika menolak menerima kenyataan dan dengan cara licik, ia menjerat Ziel dalam perangkapnya. Ziel berhasil melarikan diri, tetapi dalam perjalanan, efek obat yang diberikan Nika mulai bekerja, membuatnya kehilangan fokus dan menabrak pohon.
Di tengah malam yang kelam, Mandara, seorang gadis sederhana, menemukan Ziel dalam kondisi setengah sadar. Namun, momen yang seharusnya menjadi pertolongan berubah menjadi tragedi yang mengubah hidup Dara selamanya. Beberapa bulan kemudian, mereka bertemu kembali di kota, tetapi Ziel tidak mengenalinya.
Terikat oleh rahasia masa lalu, Dara yang kini mengandung anak Ziel terjebak dalam dilema. Haruskah ia menuntut tanggung jawab, atau tetap menyembunyikan kebenaran dari pria yang tak lagi mengingatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Pengakuan
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dari dalam, dan tubuh Ziel yang sudah lemah serta terkejut karena tidak siap langsung terjatuh ke lantai.
"Pak Bos?!" suara Dara terdengar panik. Ia berdiri mematung selama beberapa detik sebelum berjongkok untuk membantunya. "Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu pucat sekali?" tanyanya cemas. Dara, yang baru merasa sedikit lebih baik setelah meminum obat yang diresepkan dokter dan beristirahat selama beberapa jam, sejenak melupakan kecemasannya terhadap Ziel, pria yang selama ini ia curigai.
Ziel mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa berat. Dengan suara yang lemah dan sedikit serak, ia berbisik, "Biarkan aku mencium aroma tubuhmu, Dara... sebentar saja." Kata-katanya penuh permohonan, frustrasi dan kelemahan yang membuat Dara tertegun.
Dara mematung, belum mampu memproses apa yang baru saja ia dengar. Pelukan Ziel yang erat di tubuhnya membuatnya sulit bergerak, tapi bukan hanya pelukan itu yang menahannya. Ada sesuatu dalam suara Ziel yang membuatnya kehilangan kata-kata, sebuah keputusasaan yang tak ia mengerti, tapi cukup kuat untuk menembus lapisan ketakutannya.
"Pak Bos..." Dara akhirnya berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap Ziel yang bersandar di bahunya, napasnya berat dan tubuhnya benar-benar lemah. Dara mencoba memaksa dirinya tetap tenang, menahan pergolakan hatinya yang penuh dengan kebingungan dan pertanyaan. "Kamu sakit? Ayo, kita ke dokter..."
Namun Ziel menggeleng pelan, tetap memeluknya erat. "Sebentar saja... cuma ini yang bisa membuatku merasa lebih baik," bisiknya lirih.
Untuk beberapa menit, mereka hanya diam tanpa kata. Ziel tetap dalam posisinya, memeluk Dara dengan napas yang perlahan kembali teratur. Setelah merasa sedikit lebih baik, Ziel perlahan melepaskan pelukannya. "Terima kasih, Dara," ucapnya pelan, suaranya masih terdengar lemah.
Dara mengangguk, meski kebingungan masih jelas terlihat di wajahnya. Ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada Ziel, tapi wajah Ziel yang begitu pucat dan tubuhnya yang nampak kelelahan membuat rasa khawatirnya perlahan mengalahkan kecurigaan yang sempat menyelimuti hatinya.
"Ayo, duduk di tepi ranjang," ujar Dara, membantunya berdiri. Ziel menurut, meski tubuhnya masih terasa berat. Namun, begitu duduk, ia malah membiarkan dirinya terjatuh di atas ranjang Dara, membenamkan wajahnya ke bantal.
Dara menatapnya dengan bingung. "Pak Bos, kenapa—"
"Aromamu," gumam Ziel, suaranya nyaris tenggelam dalam kelembutan bantal. "Ini... membuatku merasa lebih baik."
Dara hanya bisa diam, mematung di tempatnya. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Wajah Ziel yang tersembunyi di bantal, suaranya yang terdengar begitu lemah dan berbeda dari biasanya, membuat Dara akhirnya menyerah untuk mencoba mengerti. "Tunggu di sini," ujarnya akhirnya, suaranya datar namun lembut.
Tanpa menunggu jawaban Ziel, Dara berjalan keluar kamar menuju dapur. Ia mengambil cangkir dan menyeduh teh hangat, mencoba menenangkan dirinya. "Apa yang sebenarnya terjadi pada dia? Dan... kenapa aku tidak merasa takut sekarang? Aku malah khawatir melihat kondisinya," pikirnya sambil mengaduk teh.
Saat ia kembali ke kamar dengan secangkir teh di tangannya, Ziel masih berbaring di ranjangnya, matanya tertutup rapat. Dara ragu sejenak sebelum mendekat. Dengan lembut ia memanggil, "Pak Bos..."
Ziel membuka matanya perlahan, menatap Dara dengan pandangan lelah namun tenang. Ia berusaha bangkit, tapi tubuhnya masih terasa lemas. Dara mendekat dan membantunya duduk.
"Nih, minum teh hangat dulu. Mungkin ini bisa membantu," ujar Dara sambil menyodorkan cangkir itu padanya.
Ziel menerima cangkir itu, tangannya sedikit gemetar. Ia menatap Dara sejenak sebelum akhirnya mengambil satu tegukan. Hangatnya teh mulai mengalir di tenggorokannya, mengurangi rasa tidak nyaman yang tadi ia rasakan.
"Terima kasih," ucap Ziel lagi, kali ini dengan suara yang sedikit lebih kuat.
Dara hanya mengangguk, menatap Ziel yang perlahan terlihat lebih baik. Tapi di balik itu, pikirannya masih berputar, mencoba memahami semua yang baru saja terjadi. Apa sebenarnya yang Ziel sembunyikan darinya? Kenapa sikap Ziel terasa begitu berbeda?
Setelah meneguk teh hingga habis, Ziel menghela napas panjang. Ia meletakkan cangkir di meja kecil di samping ranjang, lalu menatap Dara yang masih berdiri di dekatnya. "Dara, aku minta maaf soal tadi pagi," ucap Ziel, suaranya terdengar lebih tenang namun penuh penyesalan. "Aku benar-benar nggak sengaja terjatuh waktu mau membangunkanmu. Kau mengigau, dan aku pikir kau mimpi buruk."
Ziel tersenyum penuh ironi, menyentuh sudut bibirnya yang pecah dan sedikit bengkak. "Dan kau adalah orang pertama yang pernah meninjuku sampai begini."
Dara membulatkan matanya, seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, mencoba menyembunyikan rasa canggungnya. "Ah, itu... aku nggak sengaja. Maaf," katanya cepat, suaranya sedikit gemetar.
Ziel mengangkat satu alisnya, menghela napas panjang seolah menahan tawa kecil. "Sudahlah, aku tahu kau kaget. Tapi aku juga nggak mau kejadian tadi pagi bikin kau salah paham atau ketakutan lagi padaku."
Ziel duduk lebih tegak, wajahnya berubah serius. Setelah menghela napas panjang, ia berkata pelan namun tegas, "Dara, aku harus jujur sama kamu." Ia berhenti sejenak, menatap mata Dara dengan dalam, mencoba mencari keberanian untuk melanjutkan. "Sebenarnya, aku menjadikanmu asistenku bukan hanya karena potensimu, meskipun itu juga benar. Tapi ada alasan lain... aromamu."
Dara menatap Ziel dengan bingung, tapi tidak memotong perkataannya. Ziel melanjutkan, "Aroma tubuhmu itu... menenangkan untukku." Ia mengusap wajahnya sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah, "Aku selalu merasa pusing, mual, bahkan muntah saat mencium aroma tubuh orang lain. Satu-satunya pengecualian hanya aroma tubuh keluargaku... dan kamu."
Ia menunduk sejenak sebelum menatap Dara lagi. "Setiap bangun pagi, aku merasa mual dan sering muntah. Tapi, setelah mencium aroma tubuhmu, aku merasa jauh lebih baik. Rasa mual itu hilang, tubuhku lebih tenang."
Ziel tersenyum getir, melanjutkan, "Perutku langsung mual saat mencium aroma makanan, apalagi saat memakannya. Aku benar-benar tidak bisa makan apapun, kecuali biskuit yang rasanya tidak terlalu membuatku mual. Bahkan, aku tetap merasa mual saat makan bersama keluargaku. Tapi anehnya, saat aku bersamamu, aku bisa makan apapun tanpa merasa mual."
Ziel menarik napas dalam, menatap Dara penuh harap, meskipun terselip rasa malu di matanya. "Aku tahu ini terdengar konyol. Bahkan aku sendiri merasa sulit percaya pada kenyataan ini. Tapi inilah yang sebenarnya terjadi. Dan kau adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku merasa lebih baik. Aku bisa menoleransi bau apapun saat bersamamu."
Dara tertegun mendengar pengakuan Ziel. Matanya membesar, pikirannya mulai berkecamuk. Ziel melanjutkan, "Itulah alasan aku memintamu tinggal di apartemen ini. Bukan untuk menyusahkanmu, tapi untuk... membantuku. Aku menderita penyakit aneh ini. Aku tidak tahu apa penyebab pastinya, tapi hanya berada di dekatmu yang bisa membuat gejala-gejala itu mereda. Aku bahkan takut membayangkan bagaimana jika kau menjauh dariku."
Dara menatap Ziel dengan campuran keterkejutan dan kebingungan. Ia mencoba mencerna pengakuan Ziel, tapi pikirannya malah berputar ke arah lain. Aroma tubuhnya? Penyakit aneh? Rasa takut yang selama ini ia tekan mulai merayap kembali. Apakah ini ada hubungannya dengan malam itu?
Dalam hatinya, Dara bertanya-tanya, Jika Ziel adalah pria malam itu, mungkinkah dia mengalami kehamilan simpatik? Couvade syndrome? Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya.
Sementara itu, Ziel yang melihat Dara hanya diam langsung salah paham dengan ekspresi Dara. "Aku tahu ini terdengar aneh. Aku tahu kau mungkin berpikir aku gila. Tapi aku hanya ingin kau tahu kebenarannya," ucap Ziel, suaranya mulai terdengar getir. "Aku tidak mau kau salah paham. Dan... aku benar-benar butuh kau di sini."
Dara menelan ludah, pandangannya menatap Ziel dengan campuran rasa bingung, takut, dan kasihan. Ia mencoba berbicara, namun tak ada kata yang keluar. Ziel menunduk, seolah merasa bersalah sudah membebani Dara dengan pengakuannya.
Akhirnya Dara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Aku... aku tidak tahu harus bilang apa," ucapnya pelan, jujur. "Tapi aku akan tetap di sini, setidaknya sampai kau merasa lebih baik."
Mendengar itu, Ziel mendongak dan tersenyum lemah. "Terima kasih, Dara."
Namun di dalam hatinya, Dara terus bertanya-tanya. "Jika benar Ziel adalah pria malam itu, apa yang sebenarnya terjadi pada kami berdua?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
makasih kak semoga selalu sehat , rejeki lancar , berkah barokah . aamiin 🤲
maaf kak kalau aku bacanya kadang sampai 4 bab atau mungkin lebih baru bisa baca , bukan niat numpuk bab tapi karena emang lagi repot bahkan gak sempat buka HP . 🙏🙏🙏
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
kakek neneknya belum dikasih tahu ya , kok belum datang .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
makasih buat Novel Ziel dan Dara kk Thor🙏
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍