Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Perhatian Alvano
Saat sinar matahari mulai menerangi ruangan, Aqila perlahan membuka matanya. Suasana tenang menyelimuti kamar tamu yang sederhana namun nyaman itu. Ia memandang sekeliling, menyadari dirinya sendirian di ruangan tersebut. Dengan hati-hati, ia mencoba bangkit, meski tubuhnya masih terasa sakit akibat luka-luka kemarin.
Namun sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, pintu kamar tiba-tiba terbuka perlahan. Sosok seorang wanita masuk dengan senampan makanan di tangannya. Itu adalah Ratna, mama Alvano. Ia tersenyum hangat saat melihat Aqila sudah terbangun.
“Kamu sudah bangun, Nak?” tanya Ratna lembut, suaranya menenangkan seperti seorang ibu kepada anaknya.
Aqila hanya mengangguk pelan, masih canggung dan bingung dengan keadaan ini. Tak lama kemudian, Dimas dan Alvano masuk menyusul. Alvano berdiri di dekat pintu, sedangkan Dimas menghampiri istrinya, mengamati Aqila dengan pandangan penuh perhatian.
Ratna meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur dan duduk di pinggir ranjang. “Kamu pasti lapar. Ayo makan dulu,” ujarnya sambil mengangkat semangkuk bubur hangat. Ia menyuapi Aqila dengan lembut, namun Aqila terlihat malu-malu.
“Terima kasih, Tante, tapi aku bisa makan sendiri,” kata Aqila pelan.
Ratna tersenyum lembut. “Tidak apa-apa, Nak. Anggap saja aku ibumu, ya. Kamu butuh tenaga agar cepat sembuh.”
Aqila akhirnya menyerah, menerima suapan demi suapan meski rasa canggung masih menyelimutinya. Setelah selesai makan, Dimas yang sejak tadi diam akhirnya membuka suara.
“Siapa namamu, Nak?” tanyanya dengan nada lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Aqila perlahan membuka mulutnya, masih ragu untuk bicara. “Nama saya... Aqila, Pak,” katanya pelan sambil menundukkan kepala.
Dimas mengangguk singkat, menunggu Aqila melanjutkan. Ratna duduk di samping Aqila, menggenggam tangannya dengan lembut untuk memberikan keberanian. Setelah menghela napas, Aqila akhirnya berkata, “Nama lengkap saya... Aqila Safira Wijaya.”
Dimas mendadak tertegun. Matanya menyipit, seperti sedang mencoba mengingat sesuatu. “Aqila Safira Wijaya?” gumamnya perlahan. Nama itu terasa tidak asing di telinganya, seolah ia pernah mendengarnya di masa lalu.
“Aqila...” ulangnya lagi, lalu menoleh ke Ratna. “Aku pernah mendengar nama ini. Dulu, aku yang menyarankan nama Aqila untuk anak sahabatku.”
Ratna menatap suaminya dengan penuh tanya. “Sahabatmu yang mana, Mas?”
Dimas menoleh kembali ke Aqila. “Siapa ayahmu, Nak?” tanyanya, suaranya terdengar serius namun lembut.
Aqila terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan, “Ayah saya... Hendra Wijaya.”
Dimas langsung terdiam. Mata laki-laki itu melebar, tubuhnya kaku seolah mendengar kabar yang tak diduga-duga. “Hendra... Hendra Wijaya? Sahabatku Hendra?”
Aqila mengangguk perlahan. Melihat itu, Dimas langsung memejamkan matanya, berusaha menahan emosi. “Hendra adalah sahabat baikku, Nak. Kami pernah sangat dekat... Tapi sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Selama ini aku mencarimu, Hendra...”
Alvano dan Ratna saling pandang, melihat Dimas tenggelam dalam pikirannya.
Dimas mengusap wajahnya, lalu mulai berbicara lagi, suaranya berat oleh emosi. “Nak, dulu aku dan keluargaku pindah ke luar negri saat ibumu mengandung kamu. Aku dan Hendra sempat berjanji untuk bertemu lagi, tapi setelah bisnis kami berkembang dan kami kembali ke sini, aku tak pernah berhasil menemukan Hendra.”
Ratna menepuk bahu suaminya dengan lembut, sementara Dimas melanjutkan, “Aku tidak tahu kenapa dia seperti menghilang begitu saja. Aku sudah mencarinya ke mana-mana... Dan sekarang kamu di sini, Aqila. Tapi kenapa... kenapa Hendra tidak bersamamu?”
Aqila menunduk dalam-dalam, menahan tangis. “papa sudah meninggal, Pak... Sudah lama...”
Dimas terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia menundukkan kepala, merasakan duka yang mendalam. “Hendra... Sahabatku...” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Ia menyesal tidak bisa menemui sahabat lamanya untuk terakhir kalinya.
Ratna menatap Aqila dengan penuh empati. “Nak, jadi selama ini kamu hidup tanpa ayah? Dan ibu kandungmu?”
Aqila hanya mengangguk sambil terisak. “ Mama juga sudah nggak ada tante. Mama meninggal saat aku kecil. Aku tinggal bersama papa,mama dan kakak tiri. Tapi hidupku, tidak mudah, Tante.”
Mata Aqila mulai berkaca-kaca. Ia mencoba menahan tangisnya, namun rasa sakit yang tertimbun di hatinya tidak mampu lagi ia bendung. Air matanya mulai mengalir. Dengan suara bergetar, ia menceritakan semuanya tentang bagaimana ia diperlakukan dengan buruk oleh ibu tiri dan saudara tirinya, bagaimana ia diusir dari rumah setelah dipukuli, dan bagaimana ia tidak memiliki tempat untuk pergi.
“Aku... aku nggak punya siapa-siapa lagi sekarang,” katanya sambil terisak. “Papa dan Mama sudah meninggal. Dan sekarang... rumah yang seharusnya jadi tempatku berlindung malah mengusirku...”
Ratna yang mendengar itu merasa hatinya remuk. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seorang gadis muda harus menanggung penderitaan sebesar itu. Tanpa ragu, ia meraih tangan Aqila dan menggenggamnya erat. “Nak, kamu nggak sendirian lagi. Kami akan membantumu.”
Dimas menghela napas panjang, menenangkan dirinya. Ia mengangkat pandangannya ke Aqila, menatapnya dengan penuh rasa iba dan tekad. “Nak, mulai sekarang, anggap kami keluargamu. Hendra adalah sahabat terbaikku, dan aku tidak akan membiarkan anaknya menderita.”
Alvano yg mendengar cerita aqila barusan tertegun, rasa iba muncul di hatinya. ia yang sejak tadi diam, akhirnya berkata dengan nada tegas, “Iya, Aqila. Kamu tidak perlu takut lagi. Kamu aman di sini.”
Aqila menatap mereka bertiga dengan air mata yang terus mengalir. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa ada orang yang benar-benar peduli dan menganggapnya berharga.
🌸🌸🌸🌸🌸
Setelah selesai makan disuapi Ratna, Aqila merasa tubuhnya begitu lelah. Makanan hangat dan perhatian tulus yang diberikan membuatnya perlahan terlelap kembali. Ratna membenarkan selimutnya dengan hati-hati sebelum meninggalkan kamar bersama Dimas.
"Kasihan anak itu. Bebannya terlalu berat untuk usia semuda itu," ujar Ratna dengan nada sendu.
"Semoga dia bisa menemukan sedikit ketenangan di sini," balas Dimas, menatap istrinya penuh pemahaman sebelum pamit untuk pergi bekerja.
Hari itu, Ratna juga harus keluar untuk bertemu teman-temannya. Rumah besar itu jadi terasa sepi, dengan hanya Aqila dan Alvano yang tinggal.
Ketika matahari sudah sedikit condong, Aqila terbangun. Tubuhnya terasa lebih baik meski masih lemah. Ia menatap sekeliling kamar yang rapi, lalu matanya tertuju pada meja kecil di sudut ruangan. Di atasnya, ada setumpuk pakaian bersih, handuk, dan sebuah kertas kecil.
Aqila meraih kertas itu dengan penasaran dan membacanya:
"Nak, ini semua perlengkapan yang kamu butuhkan sudah Tante siapkan. Tante ada urusan, jadi nggak bisa nemenin kamu, tapi kalau kamu butuh apa-apa, minta bantuan Vano ya. Dia ada di rumah."
Pesan itu membuat hatinya terasa hangat. Seseorang benar benar memperhatikan kebutuhannya. "Terima kasih, Tante..." gumamnya lirih sambil memeluk handuk dan pakaian yang sudah disiapkan.
Di dalam kamar mandi, Aqila merasa lebih lega. Ia membasuh tubuhnya yang terasa lengket dan kotor. Air hangat yang mengalir membuat rasa lelahnya sedikit berkurang, meskipun ia sedikit merasa perih karna air hangat itu menyentuh badannya yang penuh luka.
Setelah selesai, Aqila mengenakan pakaian bersih yang telah disiapkan. Namun, saat keluar dari kamar mandi, langkahnya tiba-tiba goyah. Lantai licin membuatnya terpeleset.
"Aaaahhh.." teriaknya, membuat suara nyaring yang menggema ke seluruh rumah.
Teriakan itu sampai ke telinga Alvano yang sedang duduk di ruang tamu sambil menyelesaikan pekerjaan kantornya. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari ke arah kamar Aqila.
"Aqila?" panggilnya sambil membuka pintu dengan cepat.
Pemandangan di depannya membuatnya panik. Aqila terduduk di lantai, memegangi kakinya yang terasa sakit akibat terpeleset. Alvano bergegas menghampirinya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan nada cemas.
Aqila mengangkat wajahnya perlahan, merasa malu. "A-aku terpeleset…" jawabnya dengan suara pelan, wajahnya memerah.
"Sini, aku bantu berdiri." Alvano mengulurkan tangannya, dan Aqila ragu-ragu sebelum akhirnya menerima bantuan itu. Saat Alvano mencoba membantunya bangkit, langkah Aqila kembali goyah, dan tubuhnya hampir terjatuh lagi.
Refleks, Alvano menangkapnya dengan kedua tangan. Kini mereka berdiri sangat dekat. Wajah Aqila yang masih basah karena rambutnya yang setengah kering terlihat memerah, entah karena malu atau lelah.
"Hati-hati dong," ujar Alvano, suaranya sedikit lebih pelan dari biasanya. Ada nada lembut di sana, seolah ia tidak ingin menegur Aqila terlalu keras.
Aqila menunduk, menghindari tatapan Alvano. "M-maaf…" bisiknya hampir tak terdengar.
Mereka berdua sama-sama terdiam beberapa saat. Alvano tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Aqila yang tampak polos namun menyiratkan kesedihan yang dalam. Rambut basahnya yang menjuntai membuat gadis itu terlihat sangat berbeda dari sebelumnya.
"Kamu… cantik," gumam Alvano tanpa sadar.
"Apa?" Aqila mengangkat wajahnya, memandang Alvano dengan bingung.
Alvano tersadar dari lamunannya dan mengalihkan pandangan. "Enggak… nggak apa-apa. Sini, aku bantu kamu duduk di tempat tidur."
Ia membimbing Aqila kembali ke tempat tidurnya dengan hati-hati.
Setelah insiden di kamar mandi, Aqila memilih duduk di tepi ranjang sambil meremas-remas pergelangan kakinya yang sedikit terasa nyeri. Alvano, yang masih berdiri di dekatnya, merasa tak nyaman membiarkan Aqila dalam keadaan seperti itu.
“Apa kakimu sakit? Aku bisa carikan es untuk mengompresnya,” tanya Alvano, suaranya terdengar ragu.
Aqila menoleh perlahan, wajahnya memerah. “Tidak perlu, Tuan Alvano.aku baik-baik saja,” jawabnya dengan sopan.
Alvano mendekat dan berjongkok di hadapan Aqila, membuat jarak mereka semakin dekat. “Berhenti memanggilku ‘Tuan’. Panggil saja Vano. Aku tidak nyaman dipanggil begitu.”
Aqila mengangguk pelan. “Baik, Kak Vano.”
Senyuman tipis muncul di wajah Alvano. “Kak Vano? Yah, itu lebih baik daripada Tuan.”
Aqila tersenyum kecil, tapi senyumnya tak mampu menyembunyikan canggung yang masih terasa. Alvano memperhatikan Aqila dengan saksama, matanya menangkap jejak kesedihan yang tak mampu disembunyikan gadis itu. Namun, dia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.
“Aku akan tetap mengambil es. Tunggu sebentar, ya,” kata Alvano, lalu berjalan keluar dari kamar. Tak lama, dia kembali membawa sebungkus kecil es batu yang sudah dibungkus kain.
“Letakkan ini di kakimu. Mungkin tidak terlalu parah, tapi ini bisa mengurangi rasa sakitnya,” katanya seraya menyerahkan kain berisi es itu.
Aqila ragu-ragu menerimanya. “Terima kasih, Kak Vano. Tapi… kamu tidak perlu repot-repot.”
“Bukan repot,” jawab Alvano sambil duduk di kursi dekat ranjang. “Anggap saja ini balasan karena aku hampir menabrakmu kemarin.”
Aqila tersenyum kecil lagi, meskipun matanya masih menyiratkan rasa malu. Suasana canggung kembali memenuhi ruangan. Untuk mengusir keheningan, Alvano mencoba mengobrol.
“Jadi… bagaimana rasanya tinggal di sini? Apakah kamu sudah merasa lebih nyaman?” tanyanya.
Aqila menatapnya, lalu menjawab pelan, “Aku sangat bersyukur. Tante Ratna dan Om Dimas sangat baik. Begitu juga dengan Kak Vano… Aku tidak tahu bagaimana aku harus membalas kebaikan kalian.”
“Kamu tidak perlu memikirkan itu sekarang,” balas Alvano cepat. “Yang penting, kamu fokus memulihkan diri dulu.”
Aqila mengangguk, tapi pandangannya sedikit menunduk. “Aku hanya merasa… seperti beban. Selama ini aku selalu dianggap seperti itu. Dan sekarang, aku ada di sini, merepotkan kalian.”
Alvano mengerutkan kening. “Hei,” katanya dengan nada lembut namun tegas. “Jangan pernah berpikir seperti itu. Kamu tidak merepotkan siapa pun di sini.”
Aqila mengangkat wajahnya perlahan. Tatapan tulus dari mata Alvano membuatnya merasa sedikit tenang. “Terima kasih, Kak Vano.”
Mereka saling terdiam, tapi dalam keheningan itu, ada perasaan baru yang mulai tumbuh. Alvano, yang sebelumnya hanya merasa simpati pada Aqila, kini mulai melihat gadis itu dengan cara yang berbeda. Sementara itu, Aqila merasa canggung, tapi juga terharu atas perhatian yang diterimanya.
Setelah melihat keadaan aqila yang baik baik saja, ia segera beranjak dari kursi dan dan pergi keluar. Sebelum itu ia sempat mengobrol dengan Aqila.
"Yaudah, karna kamu sudah baikan. Aku mau keluar dulu. Nanti kalau butuh apa apa, panggil aja ya.. "
"Iya kk Vano, sekali lagi Terima kasih.. "
Alvano mengangguk dan tersenyum kecil lalu melangkah keluar dari kamar, tapi perasaan aneh itu terus menghantui pikirannya. "Kenapa aku merasa ingin terus melindungi dia?" gumamnya sambil kembali ke pekerjaannya.
*********
like, vote and komennya jangan lupa readersss😊
Bantu follow akun ini dan bantu promosiin cerita baru aku ini yaaa... 😁