Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Rumah Runtuh
Hari itu terasa seperti hari biasa di sekolah SMA Ganesha. Alastar sedang duduk di kursi taman dekat lapangan basket bersama timnya, masih mengenakan seragam olahraga seusai kelas Pendidikan Jasmani. Suara tawa dan obrolan santai mengisi udara, tetapi ketenangan itu seketika buyar ketika Falleo datang tergesa-gesa.
“Star, lo udah tahu?” Falleo berbicara dengan suara rendah tapi tegas, jelas berusaha menahan nada khawatirnya.
Ia datang bersama Faldo, Barram, dan Alarick.
“Tahu apa?” Alastar mengernyit, memandang Falleo.
“Bokap lo ada di kantor kepala sekolah sekarang.”
Dunia Alastar terasa berhenti sejenak. Ia menatap Falleo dengan tatapan tajam, memastikan ia tidak salah dengar.
"Lo serius?" tanyanya, suaranya bergetar.
Falleo mengangguk. "Gue denger dari anak OSIS. Mereka lihat dia datang, langsung menuju ruang kepala sekolah."
Alastar menggertakkan giginya, lalu berdiri dengan gerakan cepat. Ia merapikan kerah seragamnya, matanya tajam memandang ke arah gedung utama sekolah. “Gue nggak bakal biarin dia bikin drama di sini.”
Tanpa menunggu jawaban dari teman-temannya, Alastar berjalan cepat menuju kantor kepala sekolah. Timnya hanya bisa saling berpandangan.
Barram mengerutkan kening, memecah keheningan. “Gue nggak ngerti lagi, deh. Om Chairil itu makin lama makin nggak waras aja,” ujarnya sambil menggelengkan kepala, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Falleo yang duduk di kursi panjang tempat Alastar duduk tadi, menepuk-nepuk kursi dengan kesal. “Iya, Bar. Gue juga nggak habis pikir. Anak SMA, loh, jadi urusan keluarga dipermasalahin begitu. Kayak nggak ada masalah lain di dunia ini.”
Faldo yang duduk di samping Falleo, sambil memegang segelas es teh, tertawa sinis. “Mungkin Om Chairil nyangka kalau dia bisa langsung mendidik Alastar pake remote control,” ledek Faldo dengan gaya khasnya yang suka mengolok-olok. "Tinggal pencet tombol 'kemauan keras', selesai!"
“Dia bukan robot,” Alarick menyahut dengan tegas, “kita harus bantu dia. Kita temen-temennya, dan kita nggak akan biarin dia jatuh begitu aja.”
Faldo mengambil napas panjang. “Berarti kita emang bener-bener harus siap buat ikut campur. Apalagi kalau Alastar udah nggak bisa ngadepin bokapnya lagi. Om Chairil, padahal udah bau tanah, seharusnya tobat."
Alarick, Barram, dan Falleo sejenak tertawa kecil mendengar lelucon Faldo.
“Gue cuma nggak ngerti kenapa om Chairil bisa sesulit itu, ya?” Barram bertanya lagi dengan nada frustrasi, mengalihkan pikirannya dari lelucon Faldo.
Falleo menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke meja. “Karena dia nggak bisa terima kenyataan, Bar. Kalo Alastar udah punya hidupnya sendiri. Kalo dia nggak bisa kontrol itu, dia marah. Semua kayak... kontrol yang hilang.”
“Emang sih, nggak mudah. Gue cuma khawatir aja kalo dia makin tertekan, malah makin jauh dari kita,” jawab Barram dengan penuh keprihatinan. “Lo tahu kan, Alastar kalau udah kayak gitu, pasti ngunci diri sendiri.”
****
Di ruang kepala sekolah, suasana tegang menyelimuti udara. Ayah Alastar, Pak Chairil, berdiri dengan sikap tegas. Wajahnya yang keras dan penuh wibawa tampak tidak menunjukkan niat mundur sedikit pun.
“Anak itu sudah terlalu bebas,” katanya dengan nada suara yang terdengar seperti teguran.
Kepala sekolah mencoba menenangkan situasi. “Pak Chairil, saya mengerti kekhawatiran Anda. Tapi mungkin ada cara lain untuk—”
Namun, ayah Alastar tidak mau mendengar. Dengan sikap arogan, ia menyatakan keinginannya. "Anak saya harus pulang hari ini. Dia sudah terlalu lama melupakan tanggung jawabnya di rumah."
Kepala sekolah menghela napas, mencoba memahami situasi. "Pak Chairil, saya menghargai keinginan Anda. Tapi Alastar juga punya kewajiban sebagai siswa di sini."
Saat itu juga, pintu ruang kepala sekolah terbuka dengan keras. Alastar masuk dengan tatapan tajam, tanpa peduli pandangan para kepala sekolah yang kaget melihatnya.
"Ayah," panggilnya datar, mencoba mengendalikan emosinya.
Ayahnya menoleh, tatapannya dingin. "Akhirnya kamu muncul."
“Ngapain ayah di sini?” tanyanya dingin, tapi nadanya penuh tantangan.
"Aku datang untuk membawamu pulang. Kamu pikir bisa kabur dari rumah selamanya?"
Suara ayahnya keras dan menusuk. Kepala sekolah mencoba menenangkan keduanya, tetapi Alastar tidak bisa lagi menahan emosinya.
"Kenapa sekarang? Setelah sekian lama ayah nggak peduli, kenapa baru sekarang datang dan pura-pura peduli?"
Tatapan ayahnya mengeras. "Jaga bicaramu, Narendra. Aku tetap ayahmu."
Alastar menatapnya dengan mata penuh amarah. "Ayah cuma peduli sama nama baik, bukan sama aku. Ayah nggak pernah tahu apa yang aku rasain, apa yang aku butuhin."
Ruangan itu hening sejenak. Kepala sekolah akhirnya angkat bicara, mencoba menyelamatkan situasi. "Pak Chairil, mungkin lebih baik jika Anda dan Alastar membicarakan ini di luar sekolah."
Ayah Alastar mengangguk kaku. Ia meraih lengan Alastar dengan kasar, menariknya keluar dari ruangan itu.
****
Kayana berjalan cepat menuju kantin, langkahnya tegas namun penuh kecemasan. Ia baru saja mendengar desas-desus bahwa ayah Alastar datang ke sekolah dan membawa anak itu pergi sebelum jam pulang. Tapi ia tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi. Napasnya sedikit terengah saat pandangannya tertuju pada meja di pojok kantin. Barram, Falleo, Alarick, dan Faldo sedang duduk di sana, asyik berbincang.
Kayana langsung menghampiri mereka, tanpa basa-basi.
"Kalian tahu Alastar di mana? Gue nggak lihat dia sejak tadi," tanya Kayana cepat, suaranya menunjukkan kecemasan yang tak bisa disembunyikan.
Faldo menatapnya sebentar, lalu mengangkat bahu. "Kayaknya dia masih sama Ayahnya di ruang kepala sekolah," ujar Faldo santai sambil menyeruput minumannya.
"Ayahnya?" Kayana mengernyit. "Serius? Kalian tahu dari mana?"
Falleo menambahkan, "Anak OSIS, katanya kepala sekolah manggil Alastar ke ruangannya. Tapi kayaknya, Alastar udah di bawa pergi sama ayahnya."
Kayana menghela napas berat. "Kenapa kalian nggak mencoba cegah Alastar di bawa pergi?! Teman macam apa kalian ini?!" Nada suaranya meninggi.
Alarick menatapnya datar. "Tenang dulu, Kay. Kalau ada apa-apa, pasti Alastar bakal kasih kabar."
Kayana menggeleng, tak puas dengan jawaban itu. Lalu memutar tubuhnya, meninggalkan meja itu. Dalam hati, ia berdoa agar semuanya baik-baik saja.
****
Perjalanan pulang ke rumah ayahnya diisi dengan keheningan yang tegang. Ketika mereka sampai di rumah, situasi memuncak.
Begitu pintu tertutup, Alastar langsung berbicara, suaranya penuh amarah. "Jadi ini? Ini cara ayah mau menyelesaikan semuanya? Paksa aku pulang dan pura-pura semuanya baik-baik aja?"
Ayahnya berbalik, matanya menyala penuh kemarahan. "Kamu pikir hidup ini cuma tentang kamu, hah? Kamu pikir kamu bisa kabur dari tanggung jawabmu?"
"Tanggung jawab apa? Jadi anak yang selalu nurut? Yang selalu diam meskipun dihancurkan sama orang tua sendiri?" Alastar membentak balik, suaranya pecah.
Tamparan keras mendarat di pipi Alastar. Ruangan itu menjadi sunyi. Alastar tidak mengelus pipinya, tidak menangis. Ia hanya menatap ayahnya dengan mata merah, penuh dendam dan luka.
"Tamparan itu nggak akan mengubah apa-apa, Ayah," ucapnya pelan, tetapi tajam.
Ayahnya menatapnya dengan ekspresi campuran antara marah dan terluka. "Kamu nggak tahu apa-apa tentang perjuanganku untuk keluarga ini."
"Dan ayah nggak tahu apa-apa tentang perjuanganku untuk bertahan hidup di rumah ini," balas Alastar.
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan menyakitkan. Untuk pertama kalinya, ayahnya tidak memiliki jawaban.
Alastar menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. "Aku nggak minta banyak dari ayah. Aku cuma mau sedikit pengertian, sedikit kehangatan. Tapi ayah nggak pernah bisa kasih itu."
Dengan langkah pelan, Alastar berjalan menuju pintu. "Kalau ayah nggak bisa mengerti aku, jangan paksa aku untuk tinggal di sini."
Langkah Alastar terhenti hanya beberapa inci dari pintu. Mata yang penuh kebencian menatap ke arah dua sosok pria besar yang berdiri tegak, seolah menunggu perintah. Mereka adalah bodyguard ayahnya, sosok yang selalu hadir di balik layar, menjalankan segala sesuatu sesuai dengan kehendak sang ayah. Tubuh Alastar tiba-tiba terasa kaku, meskipun darahnya mendidih, tubuhnya tak dapat bergerak lebih jauh.
Dengan gerakan yang cepat, dua bodyguard tersebut maju, masing-masing memegang lengan Alastar, mencoba membawanya kembali ke dalam rumah. Alastar mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan, berusaha melepaskan diri dari cengkraman mereka, namun tubuhnya terasa lebih lemah dibandingkan dua pria besar tersebut.
"LEPASIN GUE!" teriaknya, tubuhnya melawan meski sudah mulai kelelahan. "Ini nggak adil, Ayah! Ini bukan cara mu buat aku ngerti!"
Namun, tubuhnya tetap tertahan oleh cengkraman kuat kedua pria itu, dan ia pun dipaksa mundur menuju kamar. Meskipun Alastar terus berteriak dan memberontak, tubuhnya yang penuh luka batin itu tak bisa berbuat banyak. Badannya dibawa ke dalam kamar dengan paksa. Pintu kamar ditutup dengan keras, dan suara kunci diputar dengan tegas dari luar.
Alastar terengah-engah, tubuhnya terjatuh di depan pintu yang kini terkunci rapat. Tubuhnya masih gemetar karena adrenalin yang meluap, tetapi ia tak bisa berhenti dari perasaan hancur yang melingkupi dirinya.
“ROBOT RAKITAN MU INI UDAH LELAH, AYAH!" teriaknya dengan suara serak, memukul lantai dengan tinjunya. "Sudah lelah diatur, sudah lelah diperintah! Ayah nggak ngerti apa-apa tentang aku! Aku bukan mesin!"
Tangis yang sejak tadi tertahan akhirnya pecah, suara itu bergema dalam kamar yang sunyi. Ia tahu ayahnya tak akan pernah mengerti. Baginya, hidup ini hanya tentang keberhasilan, tentang pencapaian yang harus dipenuhi, tanpa melihat seperti apa anaknya di dalamnya.
Di luar kamar, suara ayahnya terdengar, namun kali ini lebih rendah, seakan ada penyesalan dalam suaranya. "Kamu terlalu keras kepala, Narendra. Kamu tidak tahu betapa beratnya jadi orang tua."
Namun, bagi Alastar, itu bukan alasan. Ia merasa seperti boneka yang hanya bergerak sesuai kehendak ayahnya. Tiap kata yang diucapkan ayahnya seolah menambah beban di pundaknya. Setiap keputusan yang dibuat tanpa melibatkan perasaannya, seakan menjadikannya lebih kecil. Ia ingin berteriak, ingin menghancurkan segalanya, tetapi apa yang bisa dia lakukan? Semua itu sudah terlalu terlambat.
Sambil duduk di lantai, ia mengusap air matanya. Kepalanya terasa berat, dan hati yang kosong semakin dipenuhi oleh kesedihan. "Kenapa harus kayak gini, Ayah?" gumamnya, bibirnya bergetar. "Kenapa nggak pernah ada sedikit saja kasih sayang?"
Ia memandang sekeliling kamar dengan pandangan kosong. Kamar yang seharusnya menjadi tempat berlindung baginya, kini malah terasa seperti penjara. Kamar itu penuh dengan barang-barang mahal, barang-barang yang tidak pernah benar-benar membuatnya bahagia. Semua itu hanya sekadar pelengkap, bukan tempat yang bisa memberinya kenyamanan.
Ia menundukkan kepala, tak tahu lagi harus bagaimana. Dulu, ia bermimpi untuk bisa hidup mandiri, bebas dari kontrol ayahnya, tetapi sekarang semuanya terasa jauh lebih rumit daripada itu. Setiap kali ia berusaha mengambil langkah sendiri, ada saja yang menghalangi. Ayahnya, dengan segala kemauannya, selalu siap mengingatkannya, mengendalikan setiap langkah yang ia ambil.
"Sudah cukup!" serunya pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. "Aku nggak bisa terus begini."
Namun, perasaan terperangkap dan kehilangan arah itu tak kunjung hilang. Alastar tahu, apapun yang ia lakukan, tak ada cara untuk benar-benar keluar dari bayang-bayang ayahnya. Rumah ini, tempat yang dulu ia anggap sebagai rumahnya, kini terasa seperti penjara besar yang mengekang kebebasannya.
Ia melirik jam di dinding, waktu terasa berjalan lambat. Perasaannya semakin tenggelam dalam kegelapan, bahkan untuk dirinya sendiri pun ia tak bisa melarikan diri.
Di luar kamar, ayahnya berdiri di dekat pintu, mendengarkan setiap isakan yang datang dari dalam. Hatinya bergejolak, tetapi ia tak bisa mengungkapkan semua yang ia rasakan. Ia tahu bahwa hubungan mereka sudah terlalu jauh terpisah. Tapi, seakan tak bisa melepaskan diri dari kebiasaan lama, ia tetap menganggap bahwa segala hal yang ia lakukan adalah demi kebaikan Alastar.
Namun, di dalam hati, ayahnya juga merasakan kepedihan yang sama. Ia merasa gagal sebagai seorang ayah, tapi ia juga tak tahu cara yang lebih baik untuk menghadapinya.
Tentu saja, ia tak bisa mengungkapkan semua itu kepada Alastar. Ia hanya bisa menunggu, berharap suatu saat nanti, anaknya akan mengerti meskipun itu mungkin takkan pernah terjadi.