Celia Carlisha Rory, seorang model sukses yang lelah dengan gemerlap dunia mode, memutuskan untuk mencari ketenangan di Bali. Di sana, ia bertemu dengan Adhitama Elvan Syahreza, seorang DJ dengan sikap dingin dan misterius yang baru saja pindah ke Bali. Pertemuan mereka di bandara menjadi awal dari serangkaian kebetulan yang terus mempertemukan mereka.
Celia yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, berusaha mendekati Elvan yang cenderung pendiam dan tertutup. Di sisi lain, Elvan, yang tampaknya tidak terpengaruh oleh pesona Celia, justru merasa tertarik pada kesederhanaan dan kehangatan gadis itu.
Dengan latar keindahan alam Bali, cerita ini menggambarkan perjalanan dua hati yang berbeda menemukan titik temu di tengah ketenangan pulau dewata. Di balik perbedaan mereka, tumbuh benih-benih perasaan yang perlahan mengubah hidup keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yanahn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Baru
Keesokan harinya, Celia bangun dengan perasaan campur aduk. Hari ini dia harus bekerja kembali, meski workshop pertamanya berjalan sukses, tapi ia tahu ini baru permulaan.
Matahari pagi mulai mengintip dari balik tirai, memantulkan cahaya lembut ke dinding kamarnya. Celia merenggangkan tubuhnya sambil melihat ponsel di meja samping tempat tidur. Dia mengecek notifikasi yang masuk, ada banyak pesan dari peserta workshop, komentar dari pengikutnya di media sosial, hingga beberapa tawaran kolaborasi kecil.
Elvan mengetuk pintu pelan sebelum masuk dengan secangkir kopi di tangan. “Good morning, dear,” sapa Elvan dengan senyum jahilnya.
"Morning," Celia tersenyum dan duduk bersandar di tempat tidur. Elvan mendekat, lalu duduk di ujung tempat tidur sambil menyerahkan kopi ke Celia. Celia menyeruput kopinya, mencoba menikmati aroma khas yang menenangkan.
"Gimana? Yakin mau mulai kerja hari ini?" tanya Elvan.
Celia mengangguk, lalu menghubungi Lily untuk datang ke vila.
Setelah sarapan, Celia, Elvan, dan Lily berkumpul di ruang tamu. Kali ini mereka serius berdiskusi tentang langkah berikutnya. Lily duduk bersila di lantai dengan laptop terbuka, sementara Elvan membawa papan tulis kecil yang sudah penuh coretan ide.
“Jadi, aku pikir kita nggak cuma berhenti di workshop. Kita bisa bikin konten berkelanjutan di media sosial. Gimana kalau kamu bikin vlog atau seri video pendek tentang kehidupan di dunia modeling?” usul Lily dengan semangat.
Celia mengerutkan dahinya. “Vlog? Ada ide lain nggak?" tanya Celia.
Elvan menyahut sambil menunjuk papan tulisnya. “Kalau nggak vlog, mungkin kamu bisa bikin seri Q&A. Jawab pertanyaan dari pengikut kamu. Itu lebih santai, dan kamu nggak perlu terlalu formal.”
Celia diam, ia berpikir sebentar. “Oke, itu kedengarannya lebih masuk akal. Tapi siapa yang bakal edit semua videonya?”
Elvan mengangkat tangannya. “Siapa lagi kalau bukan aku, editor favoritmu!” ucap Elvan sambil mengedipkan matanya.
Lily memutar bola matanya, ia merasa jengah dengan tingkah Elvan. Sementara Celia hanya tertawa kecil.
Seminggu kemudian, video pertama Celia dari seri Q&A dirilis. Dalam video itu, ia menjawab beberapa pertanyaan sederhana, seperti “Bagaimana memulai karir di dunia modeling?” atau “Apa tantangan terbesar jadi model?” Videonya dibuat dengan latar pantai Bali yang indah, memberi kesan santai dan autentik.
Tak disangka, video itu mendapat sambutan hangat. Banyak komentar positif dari pengikutnya, bahkan beberapa profesional di industri mulai memperhatikan langkah barunya. Salah satu komentar yang mencuri perhatian Celia adalah dari seorang fotografer terkenal, “Saya suka dengan video Anda. Dunia modeling memang butuh lebih banyak orang seperti Anda, yang jujur dan terbuka.”
Celia membaca komentar itu berkali-kali, ia tak percaya. Ia merasa dihargai dengan cara yang berbeda, sesuatu yang lebih tulus dibandingkan pujian tentang penampilannya dulu.
Malam harinya, Elvan mengajak Celia jalan-jalan ke pantai. Mereka membawa minuman dingin dan duduk di atas pasir yang masih hangat. Langit malam penuh bintang, dengan suara ombak menjadi latar belakang yang menenangkan.
“Van, kamu tahu nggak? Aku mulai merasa nyaman dengan apa yang aku lakuin sekarang,” ucap Celia sambil menatap laut.
“Bagus dong. Berarti kamu udah nemuin jalan kamu sendiri,” balas Elvan sambil menyeruput minumannya.
Celia menoleh ke arah Elvan, “Tapi aku takut kalau ini cuma sementara."
Elvan menatapnya dalam-dalam. “Celia, nggak ada yang perlu di takuti. Yang penting, kamu tahu siapa yang bakal selalu ada buat kamu."
Celia tersenyum kecil. “Kamu selalu ngomong kayak gitu. Klise tapi kena.”
Elvan terkekeh. “Karena aku tahu kamu cuma butuh aku. Kamu bisa, sayang. Kamu cuma perlu percaya sama diri kamu sendiri.”
Tanpa sadar, Celia menyandarkan kepalanya di bahu Elvan. Mereka duduk dalam diam, menikmati momen itu.
Hari-hari berikutnya, Celia semakin sibuk dengan proyek barunya. Lily membantu mengatur jadwal, sementara Elvan terus memberi dukungan teknis. Mereka bertiga membentuk tim yang solid, saling melengkapi.
Di tengah kesibukan, Celia menerima pesan dari seorang peserta workshop sebelumnya, Anya. Pesannya cukup panjang, tapi isinya sederhana. Rasa terima kasih atas inspirasi dan motivasi yang Celia berikan. Anya bercerita bagaimana ia mulai bangkit dari keraguannya, mencoba langkah-langkah kecil untuk mencapai mimpinya.
Celia merasa hatinya hangat membaca pesan itu. Ia menyadari, apa yang ia lakukan sekarang bukan hanya untuk dirinya sendiri. Ada banyak orang yang terinspirasi oleh perjalanannya, dan itu memberi Celia dorongan untuk terus maju.
Sore itu, saat hujan turun dengan deras, Celia duduk di depan jendela sambil menyesap teh hangat. Hujan membawa aroma nostalgia, mengingatkannya pada semua hal yang sudah ia lewati.
Elvan datang membawa selimut tebal, lalu duduk di sampingnya. “Apa yang kamu pikirkan?” tanya Elvan sambil menyelimuti bahu Celia.
“Banyak,” jawab Celia singkat.
Elvan menatap lekat wajah Celia,“Jangan terlalu keras sama diri kamu sendiri. Kadang, kita cuma perlu nikmatin prosesnya," ucap Elvan sambil mengusap rambut Celia.
Celia mengangguk pelan. Ia tahu, apapun yang terjadi, ia tidak sendiri.
Beberapa minggu setelah proyek video Q&A Celia berjalan dengan lancar, Elvan kembali disibukkan oleh pekerjaannya sebagai DJ. Meskipun ia selalu meluangkan waktu untuk membantu Celia, pekerjaannya di dunia musik tetap menjadi prioritas yang tidak bisa ia abaikan.
Elvan mengajak Celia menghadiri salah satu acara DJ-nya di sebuah beach club terkenal di Bali. Celia awalnya ragu, tetapi Elvan berhasil meyakinkannya. “Please, datang sebentar aja. Aku cuma mau kamu lihat apa yang aku lakuin di sana,” ucap Elvan dengan puppy eyes-nya.
Celia akhirnya datang, beach club dipenuhi cahaya neon dan dentuman musik elektronik. Suasana ramai, dengan orang-orang menari di bawah lampu warna-warni yang bergerak mengikuti irama. Celia berdiri di dekat area VIP, melihat Elvan di atas panggung. Elvan mengenakan headphone di telinganya, sementara tangannya sibuk mengatur turntable. Wajahnya tampak fokus, tetapi senyum kecil terlihat setiap kali ia berhasil membuat kerumunan bersorak.
Celia terpesona. Ini pertama kalinya ia melihat Elvan dalam elemen yang sepenuhnya berbeda. “Dia kelihatan beda banget, ya,” gumam Celia pada dirinya sendiri.
Lily, yang ikut menemani Celia malam itu, mengangguk. “Iya. Kalau di rumah, dia kayak cowok nggak jelas. Tapi kalau udah di panggung, beuh, pesonanya awur-awuran. Lihat tuh, banyak cewek-cewek yang teriak-teriak," ujar Lily sambil menunjuk ke arah kerumunan wanita berpakaian seksi.
Celia tersenyum kecut, ia merasa bangga pada Elvan. Tapi di sisi lain, ia merasa kesal melihat Elvan di gandrungi para wanita yang hadir di club.
Setelah acara selesai, Elvan menghampiri Celia dengan wajah berseri-seri. “Gimana? Seru nggak?” tanya Elvan sambil menyeka keringat dengan handuk kecil.
Celia mengangguk, lalu mengambil alih handuk dari tangan Elvan, membantu Elvan mengelap keringatnya. Ia mencoba menutupi perasaan campur aduknya. “Seru banget. Kamu keren. Aku nggak nyangka kamu bisa nge-handle crowd sebesar itu," ucap Celia sambil tersenyum, sesekali ia melirik ke arah kerumunan wanita yang menatapnya dengan tatapan sinis.