Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Ragna menatap setumpuk buku dongeng anak-anak yang bertema kerajaan dan kisah cinta klasik dengan ekspresi bingung. Dengan satu alis terangkat, dia menatap Verio dengan tatapan tak suka.
"Buku apa ini, Pa? Dongeng khayalan?" tanyanya skeptis.
"Itu buku cerita yang sesuai dengan usiamu," jawab Verio santai sambil duduk di sofa, tak menaruh perhatian lebih pada keluhan gadis kecil itu.
Dengan penasaran, Ragna membuka salah satu buku dan mulai membaca. Namun tak lama kemudian, dahinya berkerut dalam. Dengan gerakan penuh kesal, dia menutup buku itu dengan keras.
'Plak'
"Ceritanya membosankan. Pangeran kuda putih? Yang benar saja!" keluhnya tak percaya.
Dia mengambil buku lain, berharap ceritanya lebih baik. Tapi setelah membaca beberapa halaman, Ragna kembali mengomel.
"Ciuman untuk bangun dari tidur panjang? Ini konyol!" serunya sambil menutup buku itu dengan kesal. Tatapannya berpindah ke Verio dengan penuh rasa frustrasi.
"Pa, kenapa Papa membelikan aku buku murahan seperti ini? Aku bukan anak kecil! Apa Papa berharap aku tumbuh jadi wanita bodoh gara-gara dongeng cinta nggak berguna ini?"
Verio yang awalnya hanya setengah mendengarkan, kini memandangnya dengan alis sedikit terangkat. Ragna tampak sangat serius, seolah harga dirinya tercoreng hanya karena dongeng anak-anak.
Di masa lalunya, meski dia adalah putri bangsawan, kehidupan kerajaan jauh dari kata romantis. Konflik berdarah dan pengkhianatan adalah kenyataan yang dia hadapi. Bahkan, dia sendiri menjadi korban dari permainan politik yang kejam.
"Aku pikir buku ini cocok untukmu," kata Verio sambil mengangkat bahu. "Lagipula, kau belum membacanya sampai habis."
"Aku nggak suka buku murahan seperti ini, Papa!" protes Ragna dengan kesal. "Aku lebih suka buku filosofi atau bisnis!"
Verio menatap gadis kecil itu dengan mata menyipit, mencoba memahami logika anak berusia delapan tahun yang berbicara seperti pengusaha berpengalaman.
"Usiamu masih kecil, Nak. Lagipula, kau bahkan belum lancar baca, tulis, dan hitung."
"Aku sudah lancar, Papa!" serunya membela diri.
"Dengan tulisan ceker ayam dan nilai-nilaimu yang anjlok ini?" Verio mengangkat selembar kertas ulangan Ragna, memperlihatkan angka merah besar di sudutnya. Dia menggoyangkan kertas itu, tak lupa wajahnya dipenuhi ekspresi mengejek yang kentara.
"Kau benar-benar mengesankan sekali."
"Papa!" Ragna berteriak kesal, melompat mencoba merebut kertas itu dari tangan Verio, tapi pria itu hanya tertawa kecil sambil memegang kertasnya tinggi-tinggi, di luar jangkauan gadis kecil itu.
Verio masih tertawa kecil sambil mengangkat tinggi kertas ulangan Ragna. Gadis kecil itu melompat-lompat mencoba meraihnya, wajahnya memerah karena kesal namun tampak menggemaskan.
"Papa, kembalikan! Itu bukan untuk dilihat!" protesnya keras.
"Terlambat, Nak. Nilaimu sudah menampar wajah ku ini," balas Verio dengan sarkasme, masih mempertahankan kertas itu di udara. "Apa kau sengaja ingin membuat aku terlihat buruk di depan guru-guru sekolahmu?"
"Aku nggak sengaja, Papa! Soalnya soalnya susah, dan aku nggak paham pertanyaannya!" balas Ragna dengan nada tinggi.
Verio meliriknya dengan mata menyipit, menurunkan kertas itu sedikit. "Kau nggak paham? Bukannya kau bilang tadi kalau kau sudah lancar baca, tulis, dan hitung?"
Ragna terdiam sejenak, mencoba memutar otaknya untuk membalas. Namun, alih-alih menjawab, dia malah merajuk, melipat kedua tangannya sambil memalingkan wajah. "Papa cuma mau cari alasan untuk mengejek aku!"
Verio terkekeh pelan, menurunkan kertas ulangan itu dan meletakkannya di meja. "Ya sudah, kalau begitu mulai sekarang, aku akan jadi gurumu. Siapkan diri untuk belajar setiap malam."
Ragna langsung memutar tubuhnya, menatap Verio dengan kaget. "Papa serius?! Aku nggak mau belajar dengan Papa! Papa pasti bikin aku gila!"
"Sayangnya, kau tidak punya pilihan." Verio bangkit dari sofa, menepuk kepala Ragna dengan pelan. "Sekarang, pergi mandi. Setelah itu kita makan malam, lalu mulai belajar."
Ragna mendengus kesal, menyeret kakinya menuju kamar mandi sambil bergumam pelan, "Papa ini nggak kalah menyebalkan sama guru di sekolah..."
"Aku dengar itu," sahut Verio santai, membuat Ragna menoleh sekilas sebelum menutup pintu kamar mandi dengan wajah cemberut.
Verio hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. Meskipun mengeluh, dia tahu Ragna adalah gadis kecil yang cerdas, hanya saja terlalu keras kepala dan terbiasa melakukan segalanya dengan caranya sendiri.
"Setidaknya, aku tidak pernah bosan sekarang," gumam Verio pada dirinya sendiri sambil membereskan meja, menyiapkan diri untuk "pertempuran" berikutnya dengan gadis kecil yang penuh energi itu.
🐾
Ragna memulai sesi belajarnya di bawah pengawasan Verio. Di masa lalu, ia tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua dalam hal pendidikan. Segala pembelajaran didapat dari guru privat yang selalu diawasi ketat oleh eksekutor, yang akan melaporkan hasil studinya dengan tegas, tanpa sedikit pun memberikan pujian.
Kini, situasinya sangat berbeda. Di bawah bimbingan Verio, Ragna menunjukkan kecerdasannya. Gadis itu hanya butuh dua kali pengulangan untuk memahami cara membaca dan berhitung. Namun, menulis menjadi tantangan tersendiri baginya. Tangannya terasa kaku, mungkin karena tubuhnya yang kecil dan tulisan di dunia ini sangat berbeda dari apa yang ia pelajari di kehidupan sebelumnya.
"Tulisan tanganmu cukup rapi untuk anak yang baru belajar menulis," komentar Verio sambil mengamati hasil kerja Ragna dengan saksama. "Kau benar-benar berusaha keras."
Ragna tersenyum kecil, meski matanya mulai mengantuk. Ia mengucek matanya yang terasa berat, sesekali menguap kecil. "Terima kasih, Papa. Tapi, aku masih... sedikit kesulitan..."
Verio melirik jam dinding, yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia menghela napas, lalu menatap putrinya dengan lembut. "Kerja bagus, Nak. Kau sudah belajar dengan sangat baik hari ini."
Mendengar itu, Ragna tersentak kecil. Dia menatap Verio dengan mata yang hampir terpejam, namun ada binar kehangatan di dalamnya. "Papa memujiku? Wah, terima kasih, Pa..."
Tanpa menunggu balasan, gadis itu tertidur di tempatnya, terlalu lelah untuk melanjutkan. Verio tersenyum kecil, lalu mengangkat tubuh mungil itu dengan hati-hati.
Dia membaringkan Ragna di ranjangnya, memastikan gadis kecil itu nyaman dengan menyelimutinya hingga bahu. Sambil duduk di tepi ranjang, Verio mengamati wajah putri angkatnya yang tertidur pulas, terlihat damai.
Dengan mata setengah terbuka, Ragna bergumam pelan, "Selamat malam, Pa."
"Selamat malam, Nak. Tidurlah," balas Verio dengan lembut, sebelum mematikan lampu kamar dan meninggalkan gadis kecil itu dalam tidurnya yang tenang.
🐾
Waktu bergulir dengan cepat, dan kehidupan Ragna terlihat jauh lebih baik sejak tinggal bersama Verio. Gadis kecil itu kini memancarkan aura ceria, dengan mata hijau yang penuh binar kehidupan. Tubuhnya tidak lagi kurus, melainkan sehat dan berisi, mencerminkan perawatan yang baik.
Ragna juga selalu tampil rapi dengan pakaian yang bagus. Terkadang, Verio bahkan menyuruhnya memakai kostum untuk hiburan semata, seperti hari ini. Namun, keputusan itu malah memicu perdebatan kecil di antara keduanya.
"Papa yakin mau aku pakai kostum ini?" tanya Ragna sambil mengangkat kostum berbentuk tikus lucu yang baru saja diberikan Verio.
"Di sana udaranya dingin. Aku takut kau malah membeku menjadi manusia es kalau tidak pakai ini," jawab Verio santai.
Ragna menatap pria itu dengan kesal. "Papa, kalau udaranya dingin, aku tinggal pakai jaket atau pakaian hangat. Kenapa harus kostum ini?"
"Kostum ini lebih praktis! Hangat, nyaman, dan kau akan terlihat menggemaskan," balas Verio, tetap bersikeras.
"Enggak mau! Aku bukan anak kecil lagi! Aku maunya pakai pakaian biasa yang hangat!"
Verio menghela napas, lalu melipat tangannya dengan tegas. "Kostum saja! Kita akan menginap beberapa hari, dan aku tidak mau dengar keluhanmu soal dingin."
"Kalau begitu, Papa saja yang pakai kostum ini! Aku lebih suka jaket!" sahut Ragna dengan nada tidak kalah keras.
Verio menatapnya tajam, lalu berkata dengan nada pura-pura dingin, "Kalau begitu, tinggal saja di sini sendirian! Aku pergi sendiri!"
Ragna mendelik, menggembungkan pipinya dengan kesal. "Huh, Papa itu selalu menang sendiri!"
Meski mulutnya mengeluh, gadis kecil itu akhirnya menyerah. Dengan berat hati, dia mengambil kostum itu dan memakainya. Melihat Ragna dalam kostum tikus, Verio tidak bisa menahan senyum puasnya.
"Kau terlihat sempurna. Tikus kecil yang lucu," komentar Verio sambil menepuk kepala Ragna.
"Papa jahat!" balas Ragna dengan ekspresi masam. Meski begitu, dalam hati ia tidak bisa menahan senyum kecil. Bersama Verio, setiap momen selalu penuh warna, bahkan di tengah perdebatan seperti ini.
Semangat author...jangan lupa mampir 💜