Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keributan Di Acara Pernikahan
Pernikahanku dengan Monika tinggal menghitung hari. Semua persiapan sudah selesai. mulai dari gaun, catering, hingga dekorasi. Kami memutuskan untuk menggelar acara yang sederhana, hanya melibatkan keluarga dan teman-teman terdekat saja. Meski sederhana, rumah Monika terlihat begitu indah dengan hiasan bunga-bunga putih da pita emas di setiap sudutnya. Bahkan suasana di rumahku juga penuh dengan kesibukan, dengan ibu yang terus memantau segala persiapan terakhir.
Hari yang dinanti pun tiba. Di pagi itu, aku berdiri di depan cermin dengan jas pengantin yang telah kupesan sebulan lalu. Perasaan gugup menguasai diriku. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, tapi tetap saja rasa cemas itu tidak kunjung hilang.
Ibu masuk ke kamar dengan senyum lembutnya. “Alan, kamu kenapa? Kok wajahmu pucat begitu? Kamu sakit?”
“Ibu... aku gugup,” jawabku jujur.
Ibu duduk di sampingku, menatapku dengan mata penuh kasih. “Nak, gugup itu wajar. Menikah adalah langkah besar dalam hidup. Tapi ingat, ibu percaya kamu akan jadi suami yang baik untuk Monika. Cukup jalani semuanya dengan niat tulus, dan insya Allah, semuanya akan berjalan lancar.”
Perkataan ibu memberiku sedikit keberanian. Aku tersenyum, memeluk ibu sebentar, lalu bersiap menuju rumah Monika.
Di ruang tamu rumah Monika, aku duduk di hadapan Pak Penghulu, ditemani ibu dan beberapa saksi pernikahan. Suasana begitu khidmat. Tamu-tamu undangan yang merupakan keluarga dan teman-teman dekat mereka menatapku dengan senyuman, memberikan dukungan moral. Tapi di dalam diriku, perasaan gugup masih tersisa.
Waktu terasa berjalan lambat hingga akhirnya Monika turun dari kamarnya, didampingi oleh ayahnya. Ketika pandanganku bertemu dengannya, aku benar-benar terpesona. Monika mengenakan gaun pengantin putih yang sederhana namun begitu anggun, dengan kerudung yang menutupi sebagian rambutnya. Wajahnya berseri-seri meskipun terlihat sedikit gugup.
Pak Penghulu memulai prosesi akad nikah dengan suara lantang dan jelas. “Alan bin Abdul Rahman, saya nikahkan engkau dengan Monika Cahaya Gunardi binti Bapak Gunardi, dengan mas kawin uang senilai 10 juta rupiah dan seperangkat alat salat, dibayar tunai.”
Aku menarik napas panjang, lalu menjawab dengan mantap, “Saya terima nikahnya Monika Cahaya Gunardi binti Bapak Gunardi dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”
Ruangan menjadi hening sejenak sebelum akhirnya para saksi serempak mengucapkan, “Sah!” Seruan itu diikuti dengan ucapan “Alhamdulillah” dari para tamu.
Namun, kebahagiaan yang baru saja kurasakan tiba-tiba terganggu oleh suara ribut dari luar. Semua orang menoleh, penasaran. Aku mendengar suara perempuan memaksa masuk, diikuti dengan suara satpam yang mencoba menahannya.
“Mas Alan! Mas Alan!”
Jantungku berdebar keras saat aku mengenali suara itu. Aku segera bangkit, diikuti Monika dan ayahnya. Kami keluar ke teras rumah untuk melihat apa yang terjadi. Di sana, aku melihat Salma yang sedang berusaha menerobos masuk, tetapi dihentikan oleh satpam. Wajahnya penuh dengan air mata dan amarah.
Melihatku, Salma langsung berteriak, “Mas, tolong! Jangan menikah dengan wanita licik itu! Aku masih sangat mencintaimu!”
Aku terpaku sejenak, tidak percaya dengan apa yang kulihat dan kudengar. Para tamu mulai berbisik-bisik, sementara Monika menatapku dengan mata penuh pertanyaan. Ayah Monika memandangku, jelas bingung dengan situasi ini.
Aku melangkah maju, mencoba menenangkan situasi. “Salma, tolong hentikan ini. Jangan mempermalukan dirimu sendiri.”
Salma menatapku dengan tatapan penuh kepedihan. “Mas, jangan tinggalkan aku. Aku masih mencintaimu! Mas tahu aku tidak bahagia dengan Afif. Mas tahu itu, kan?”
Aku menggeleng pelan, mencoba tetap tenang meskipun di dalam diriku ada rasa bersalah yang sulit dijelaskan. “Salma, dengarkan aku. Ini sudah berakhir. Sekarang aku sudah resmi menjadi suami Monika. Tolong, jangan ganggu kebahagiaan kami.”
Salma menangis lebih keras, menatapku dengan penuh keputusasaan. “Mas bohong, kan? Ngga mungkin mas menikah dengan dia! Mas bilang mas ngga akan melupakanku!”
“Ini kenyataan, Salma,” jawabku tegas. “Dan kamu harus menerimanya. Aku harap kamu bisa move on dan melanjutkan hidupmu.”
Namun, Salma tidak menerima penjelasanku begitu saja. Dia terus meronta dan berteriak, hingga akhirnya ayah Monika meminta satpam untuk mengeluarkannya dari area rumah. Satpam mencoba menenangkan Salma, tapi dia terus melawan.
“Mas Alan! Jangan tinggalkan aku! Aku mohon!” teriaknya sambil ditarik keluar.
Aku hanya bisa menatap punggung Salma yang semakin menjauh. Suasana menjadi hening sesaat, hanya suara gumaman para tamu yang terdengar. Monika berdiri di sampingku, terlihat sangat terguncang. Aku menatapnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
“Monika, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak tahu ini akan terjadi,” ucapku penuh penyesalan.
Monika tersenyum tipis, meskipun air mata mengalir di pipinya. “Aku percaya padamu, Mas. Tapi jujur saja, aku tidak menyangka masa lalu itu akan menghantui kita sampai sejauh ini.”
Aku mengangguk, menggenggam tangannya dengan lembut. “Aku berjanji, Monika. Aku akan melakukan apa pun untuk menjaga pernikahan kita. Kamu adalah pilihanku, sekarang dan selamanya.”
Monika memandangku sejenak, lalu mengangguk. “Aku percaya, Mas. Semoga kita bisa melalui semua ini bersama.”
Dengan dukungan Monika dan keluarganya, acara pernikahan kami tetap berlanjut meskipun ada insiden yang tidak diinginkan. Namun, aku tahu ini baru permulaan. Bayangan masa lalu mungkin akan terus mencoba mengusik, tetapi aku bertekad untuk melindungi kebahagiaanku bersama Monika.