Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makasih, Ghio.
Samar-samar Rain mendengar suara memanggil namanya. Namun, hanya kegelapan yang disaksikannya.
"Rain!"
Lagi dan lagi Rain mendengar suara. Ia yakin itu suara Asyama. Suaranya terdengar jauh. Hingga beberapa saat Rain merasa tubuhnya dingin.
Perlahan, kesadarannya mulai muncul. Rasa dingin terasa menembus punggungnya.
"Rain! Kamu dimana, sih?"
Suara Asyama semakin jelas. Rain kemudian mendengar suara pintu yang berderit, hingga langkah yang menginjak tangga.
"Astaga, Rain! Ngapain kamu tidur di sini?" Itu suara teriakan Asya.
Saat itu juga mata Rain mulai terbuka. Hal yang dilihatnya pertama adalah daun-daun mangga dan langit dengan cahaya samar.
"Rain! Kenapa kamu tidur di sini?" Asya kembali bertanya seraya mengguncang tubuh Rain.
Rain menatap Asya sebentar. Ia berpikir lama. Sebelumnya ia ada di rooftop, memberi hantu Ghio makan, dan ia terjatuh... Terjatuh?
Rain langsung duduk tegak. Dirabanya bagian-bagian tubuhnya. Ia menatap bagian-bagian yang bisa di lihatnya.
Tidak ada luka.
"Kamu kenapa, sih?" tanya Asya penuh kebingungan.
Rain mengerjap. Segara ia berhenti memegangi tubuhnya.
"Gak kenapa-napa," katanya.
Rain kembali berpikir. Pertanyaan mulai bermunculan di benaknya. Apa kejadian yang dia alami hanya mimpi? Tapi kenapa dia bisa di sini kalau itu benar-benar mimpi?
Rain melirik sekelilingnya. Dimana dia?
"Kamu kenapa, sih? Macam orang linglung tahu, gak?" kata Asya. "Makanya, kalau tidur itu di kamar atau di dalam rumah. Lha, kamu tidur di atap."
"Rooftop."
"Sama aja," omel Asya. "Jadinya kamu kayak orang amnesia gini, kan. Apalagi ini sudah magrib."
Rain tidak peduli dengan ocehan kakaknya. Apa tadi ia benar-benar hampir jatuh? Atau benar-benar hanya mimpi?
"Ini, juga. Kenapa piring bisa sampai di sini? Kamu makan di sini?" tanya Asya.
Rain langsung menatap pring itu. kepalanya miring. Itu piring tempat makanan tadi bukan? Sendoknya juga masih di sana. Hanya saja isinya sudah ludes. Piring itu sudah kosong.
Rain mengambil piring itu.
Sebelum menyentuhnya, Asya sudah lebih dulu menarik tangan Rain. "Ini kenapa merah-merah begini?"
Jantung Rain berdetak cepat. Benar, tangannya merah. Bekas cekalan itu terlihat jelas. Kenapa Rain tidak menyadarinya tadi? Bahkan, ia tiba-tiba merasa pergelangannya itu sakit. Tadi saja ia tidak merasakannya.
Mata Rain membola. Berarti yang terjadi itu memang kenyataan. Bukan mimpi. Buktinya ia masih di sini, tangannya terluka, dan piring sudah kosong.
"Ditanya dari tadi diam aja, aneh. Kamu kenapa sebenarnya? Hah?" tanya Asya penuh selidik.
Rain mengerjap sebentar. Otaknya mulai berpikir mencari alasan. Tidak mungkin kan ia berkata jujur?
"ah.. Itu... Tadi, pas Rain mau ke sini, tangan Rain kejepit pintu. Gitu."
Asya menyipitkan matanya.
"kan, tangan satu lagi megang makanan. Makanya, ini malah kejepit," alibinya.
"Habis makan, aku kekenyangan. Trus langsung tidur. Jadi, gak sempat ngobatin tangan," bohong Rain sambil melemparkan tawa kecil. Ia berharap kakaknya tidak curiga.
Asya mendorong kepala Rain dengan jarinya. "Kamu itu selalu aja ceroboh. Aneh, kerjanya cuma bikin orang khawatir."
Rain tersenyum. "Masa, sih? Lo khawatir sama gue?"
Mata Asya menatap tajam. "lo-gue lagi."
Rain menutup mulut. "Sorry. Hehehe... Spontan," katanya cengengesan.
Asya berdiri, lalu mengambil piring itu. Namun, dengan cepat Rain mengambil Alih.
"Biar Rain aja. Karena ini piring kotor punya aku."
"Tangan kamu sakit."
Rain mengangkat tangannya. "Enggak! Gak sakit, kok. Luka kecil gini, mah, gak ada apa-apanya." Padahal, aslinya Rain merasa pergelangan tangannya berdenyut perih.
"Ayo, turun!" kata Rain seraya mendorong Asya.
Akhirnya, Rain bisa menghela napas lega. Setelah masuk rumah. Ia sempat-sempatnya melirik ke atas. Tapi, ia tidak menemukan sosok itu di sana.
Lantas Rain pergi ke wastafel dan mencuci piring tadi. Di lihatnya piring itu. Hanya tersisa beberapa biji nasi. Tanpa sadar, bibir Rain melengkung ke atas.
"Ngapain gue senyum-senyum?" gumamnya pelan.
"Obati luka kamu! Kakak mau mandi." Asya datang dengan kotok p3k di tangannya.
Rain menyimpan piring yang baru dia cuci, lalu menerima kotak P3k itu. "makasih."
"Eh, dibersihin dulu, gak, sih? kamu mandi dulu sana," kata Asyama sebelum benar-benar masuk ke dalam kamar mandi.
"Rain gak mandi. Dingin," kata Rain seraya berjalan ke meja makan. Ia mulai membersihkan tangannya dengan alkohol.
"Ya, udah. Pake air panas aja."
Rain menggeleng tanpa menatap Asya. kini ia mengoleskan salep ke tangannya yang memar. "Sama aja. Siap mandi malah makin dingin. Lagian, Rain malas masak air. Hehehe..." katanya sambil nyengir kuda.
Asyama berkacak pinggang. Ia mulai kesal dengan adiknya itu. "Kamu lupa kalau kamu habis tidur di atas yang kotor itu?"
Rain tidak menatap Asyama. "Gak kotor-kotor amat. Lagian, aku mandi tadi pagi," jawabnya sambil membalut luka dengan perban.
Kali ini Rain menatap Asya. "Gak mandi juga, Rain tetap cantik," katanya sambil menaik-turunkan alis.
"Cantik dari Hongkong. Percuma cantik kalau malas mandi. Pantas kamu masih jomblo, orang modelan kamu kayak gini." Asya mulai mengomel panjang. "Lihat gaya kamu, gaya macam cowok. Lihat juga rambut kamu, dibiarin panjang sekali-kali, kenapa? Sesekali dandan. Biar kamu kelihatan kayak cewek."
Rain tertawa. Ia tidak tersinggung sama sekali. Toh, yang dikatakan Asya itu benar. Tapi, mau bagaimana lagi? Ia suka dengan gayanya. Selain karena tidak meribetkan hidup, Rain sebenarnya tidak pandai berdandan.
Rain sangat berbeda dengan Asyama. Asya adalah tipe gadis ramah, pandai bergaul, feminim, peduli, dan pintar berdandan. Dan Rain adalah sebaliknya. Ia tidak pandai berdandan, tak pandai beramah-tamah, Rain jauh dari kata feminim. Rain sadar ia sedikit pemalas. Tapi, Rain punya stok kesabaran yang tebal. Itu sebabnya, ia masuk Seni Rupa. Kalau tidak, satu pun lukisannya tidak akan siap.
"Mandilah, sana. Keburu malam. Gak sehat mandi malam-malam," ujar Rain tanpa menoleh.
Asyama menatap jengah ke arah Rain. Ia benar-benar sudah kesal melihat adiknya itu. Susah diberi nasehat.
Dengan kesal, Asya akhirnya masuk ke dalam kamar mandi.
Melihat itu, Rain langsung berdiri. Ia memastikan Asya benar-benar tidak keluar lagi. Kemudian ia menatap sekelilingnya. Matanya menelisik setiap sudut ruangan itu. Namun ia tidak menemukan nya.
Rain berjalan ke belakang rumah. Ia menatap ke atas sebentar. Tetap saja ia tidak menemukan sosok itu.
Akhirnya Rain berjalan masuk ke dalam kamar. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Matanya merawang ke langit-langit kamar itu.
Rain diam beberapa saat, hingga ia mulai mengakat lengan kanannya. Diperhatikannya pergelangan tangan yang diperban itu.
Rain kembali mengingat kejadian tadi. Bagaimana nyatanya tangan itu memegang pergelangan tangan Rain. Dia menolong Rain.
Astaga, apakah ini mimpi? Tapi terasa begitu nyata.
Bibir Rain seketika melengkung indah ke atas. Ia tidak menyangka hantu bisa melakukan itu. Dan lagi, Rain baru tahu kalau hantu ternyata bisa lapar.
Rain masih ingat wajah lapar sosok itu ketika melihat tudung saji. Tapi, dia kan hantu. Dia bisa menembus apa saja. Kenapa dia tidak mengambil makanan itu saja?
Rain terduduk. Dahinya berkerut. Kalau dipikir-pikir, hal itu bukanlah hal sulit. Kenapa dia tidak langsung mengambil saja? Apa dia memang tidak bisa mengambilnya?
Kalau tidak bisa. Lalu kenapa makanan yang ia berikan itu bisa habis? Apa mungkin kucing yang menghabiskan?
Rain menggeleng. Tidak mungkin. Kucing tak mungkin makan serapi itu. Bahkan, tidak ada makanan yang terjatuh di rooftop.
Rain mulai bingung.
Rain bangkit dari kasur. Ia mengambil foto yang sempat disimpannya. Ia kembali merebahkan diri di kasur sambil memandang foto itu.
Senyum kecil terbesit di bibirnya. Rain tidak menduga, kenapa ada hantu setampan ini?
Yah, tampan, tapi menyeramkan. Rain masih ingat dengan tatapan dinginnya. Tatapan yang seolah menusuk tubuhnya. Rain sangat-sangat takut melihat itu. Tapi ketika memandang fotonya seperti ini, entah kemana hilangnya rasa takut itu.
Kini Rain percaya dengan ucapan orang-orang itu. Patas saja kontrakan ini disebut ada penghuni. Ternyata memang ada.
Yah, dia memang mengganggu. Hampir setiap hari Rain melihatnya dalam rumah ini. Tapi, Rain sama sekali tidak berani melihatnya. Baru dua kali saja ia melihat secara langsung mata sosok itu. Dan Rain benar-benar takut.
Walaupun begitu, Rain bersyukur. Kalau bukan karenanya, Rain sudah jatuh tak berdaya di bawah.
"Makasih, Ghio."
Saat itu juga selintas angin menerpa tubuh Rain, menerbangkan rambut pendeknya. Hawa terasa dingin menusuk tubuhnya.
Jantung Rain berdetak cepat tiba-tiba. Dengan sudah payah ia menelan salivanya.
"Mampus," gumamnya.
Detik kemudian, Rain tergesa masuk kedalam selimut. Mengurung dirinya dalam gulungan selimut itu.
Terlihat pantulan sosok pria dalam kaca lemari Rain. Sosok itu menatap lurus ke arah Rain tanpa ekspresi.
"Ghio?"
Mata Rain membola ketika mendengar suara berat itu. Lantas, ia segera menutup kedua telinganya, masih dalam gulungan selimut.
Cklekk
"Rain, kotak p- lho, udah tidur?" Asya menatap Rain dengan dahi berkerut. "Gak biasanya dia tidur kayak kepompong begini."
Asya mengedikkan bahu sekilas, lalu menyimpan kotak obat yang ditinggalkan Rain di meja. Asya kemudian keluar kamar sambil memegang perutnya. Ia lapar.