Naidim, Widy dan Grady adalah teman dekat sejak berada di bangku SMP dan SMA. Mereka memiliki banyak kesamaan dan selalu ada satu sama lain. Namun, saat memilih jurusan kuliah, mereka mengambil jalan yang berbeda. Widy memilih jurusan teknik, sedangkan Naidim lebih tertarik pada bidang pendidikan keolahragaan. Perbedaan minat dan lingkungan membuat hubungan mereka renggang. Widy yang selama ini diam-diam menyukai Naidim merasa sangat kehilangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widyel Edles, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiket Keluar Kelas:Batal
Di awal semester delapan ini, sekolah memberlakukan program baru yang mengharuskan sepuluh siswa berprestasi terbaik dari setiap kelas untuk mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang intensif. Program ini mewajibkan mereka untuk bergabung dengan klub-klub belajar seperti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Sosial, dan Sastra.Tujuannya adalah untuk memberikan stimulasi intelektual yang lebih menantang dan mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan akademik di masa depan.
Seluruh siswa tampak antusias mengikuti program sekolah yang telah dipersiapkan dengan baik. Kehadiran mereka menjadi bukti kesuksesan program tersebut. Namun, di antara kerumunan siswa yang bersemangat, sosok Widy justru tampak absen. Perilakunya yang berbeda dari biasanya ini menimbulkan tanda tanya.
Widy dan teman- teman perempuannya masih berada di ruangan kelas sementara Naidim dan Grady pulang keasrama untuk makan siang sebelum lanjut mengikuti program belajar tambahan yang disediakan oleh sekolah. Hari ini, ia seharusnya mereka sudah berada di ruang klub IPA. Namun, kakinya terasa berat untuk melangkah. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir perasaan gelisah yang tiba-tiba menyerangnya.
"Kenapa, sih? Semua anak senang dengan klub ini," gumamnya pada diri sendiri. Ia tahu, teman-temannya antusias sekali dengan program baru tersebut. Mereka bersemangat membahas materi tambahan yang akan dipelajari, dan peluang untuk memperdalam minat masing-masing.
Kali ini, suasana di antara Widy dan teman-temannya berbeda dari biasanya. Mereka merasa tidak terlalu tertarik dengan materi yang akan dibahas di klub IPA. Bukan hanya itu, mereka juga merasa bahwa cara guru menyampaikan materi kurang menarik. Akhirnya, dengan kompak, mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu di kelas dengan kegiatan yang lebih menyenangkan, seperti bermain TikTok, membuat tren baru, dan berbagi cerita seru satu sama lain
"Wah, seru banget ngobrolnya tadi ya!
Pas lagi asyik-asyiknya bahas topik hangat di tiktok, tiba-tiba hp Widy bunyi. Ternyata notif WhatsApp dari Naidim.
"Wid, kamu pulang ya? Kamu nggak les?"dia nanya. Widy langsung ketawa, "Nggak, Dim. Tadi tiba-tiba orangtuaku nelpon, katanya ada urusan mendadak di rumah. Jadi, ya udah, aku langsung cabut deh. Lagian, kan, seru juga kalau bisa ngumpul sama keluarga."
Mereka tetap melanjutkan obrolan dan sampai pada suatu waktu mereka merasa bosan sekali.Bermain ponsel sudah bosan,kalau cerita apalagi yang mau diceritakan.
Muncul ide menarik dari salah satu teman Widy
"gimana kalau kita pulang aja?"
"Wah, ide yang menarik tuh! Tapi, kalau kita pulang sekarang, gimana ya? Kegiatan belajar kan belum selesai. Terus, kalau ketahuan guru atau kepala sekolah, pasti kita kena omel panjang lebar."
"kalau ketauan guru gimana,nanti kita dimarahi kepala sekolah loh,lagian mereka itu lagi belajar di lantai bawah dekat tangga,kalau kita turun dari tangga ya otomatis ketauan lah"
"Iya, benar banget. Apalagi, guru dan teman-teman lagi fokus belajar di lantai bawah, dekat tangga pula. Kalau kita nekat turun, pasti langsung ketahuan. Bisa-bisa kita jadi pusat perhatian dan dapat teguran keras dari kepala sekolah."
Dengan tatapan penuh keyakinan, mereka saling meyakinkan satu sama lain bahwa aksi mereka kali ini pasti akan berjalan mulus tanpa diketahui siapa pun. Setelah mencapai kesepakatan, mereka pun mulai menjalankan rencana pelariannya dengan hati-hati. Satu per satu, mereka bergantian menjaga pintu kelas, mata mereka terus mengawasi setiap sudut koridor agar tidak ada guru yang curiga. Ketika suasana sudah benar-benar sunyi senyap, mereka pun memberanikan diri untuk keluar dari kelas dan mengintip ke arah tangga dengan jantung berdebar kencang.
"Aduh, gimana nih? Suara langkah kita kayak kuda nil lagi jalan-jalan," canda Sara sambil nyengir.
Widy memutar bola matanya, "Bentar lagi kita disuruh nyanyi lagu nasional sama Pak Guru deh kalau kayak gini. Udah ah, serius dikit. Kita jalan pelan-pelan aja, terus pura-pura jadi tikus yang lagi cari keju. Nunduk, merayap, gitu."
"Tapi, kalau ketahuan gimana? Kita disuruh ngepel lapangan kali ya?" sahut Dina sambil tertawa kecil.
"Ah, palingan cuma disuruh balik ke kelas aja. Nanti kita bilang lagi mau ke toilet. Gampang lah," jawab Widy santai.
Dengan langkah perlahan dan hati-hati, mereka menuruni anak tangga yang berderit pelan. Gelapnya suasana seolah menjadi sekutu mereka, namun detak jantung yang bergemuruh tak dapat disembunyikan. Sesampainya di lantai bawah, mereka merayap jongkok di sepanjang koridor, bayangan mereka menari-nari di dinding. Namun, sebelum mereka sempat mencapai tujuan, suara serak seorang guru memecah keheningan malam, "Eyyyyy..."
"Aduh, ketahuan!" bisik salah seorang teman dengan suara panik, matanya membulat sempurna. Mereka sontak membeku di tempat, jantung berdebar kencang seolah hendak keluar dari rongga dada. Namun, harapan mereka pupus seketika ketika suara langkah kaki itu semakin jelas terdengar, mendekat dengan pasti ke tempat persembunyian mereka yang semakin terasa sempit dan pengap.
"Siapa itu?" terdengar suara Pak Dandy, guru IPA yang terkenal tegas.
Widy dan teman-temannya saling pandang dengan wajah pucat pasi. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa bersembunyi lebih lama lagi. Dengan berat hati, mereka pun bangkit dan berjalan menuju ruangan tempat Pak Dandy mengajar.
Ruangan itu berubah menjadi arena interogasi yang mencekam. Widy dan temannya diajak berhadapan dengan Pak Guru layaknya tersangka kriminal yang tengah diperiksa intensif oleh polisi. Tatapan tajam Guru tersebut dan nada suaranya yang meninggi menciptakan atmosfer intimidasi yang kuat. Akhirnya, di bawah tekanan yang begitu besar, mereka dipaksa mengakui kesalahan mereka dan memohon ampun agar tidak dilaporkan ke guru BK. Satu per satu, dengan wajah pucat pasi, mereka melontarkan kata-kata penyesalan dan berjanji akan memperbaiki perilaku.
Ruangan itu terasa sempit dan pengap bagi Widy. Setiap sudut ruangan seakan menjadi saksi bisu atas kebohongannya. Ia teringat jelas bagaimana ia dengan mudahnya mengucapkan kata-kata bohong itu, tanpa berpikir panjang tentang akibatnya. Kini, penyesalan yang mendalam menyelimuti hatinya.
Setelah meminta maaf kami disuruh duduk dan mencatat materi yang sudah tertera di PPT yang sudah dijelaskan pada teman teman yang lain.
Tidak berhenti disitu saja, ternyata kami masih diomeli dengan kata kata yang sedikit menyinggung perasaan.
"Makanya siapa suruh mau bolos les,jadi gini kan andai aja gak bolos kek teman-teman yang lain pasti kalian sudah ngerti materi ini.Iyakan Naidim?"
"Iya pak"ucap Naidim.
"Naidim, terima kasih atas tanggapannya. Saya ingin kalian semua memahami bahwa keputusan untuk bolos les memiliki konsekuensi. Selain ketinggalan materi, hal ini juga bisa mengganggu konsentrasi belajar kalian dan teman-teman yang lain. Ke depannya, saya harap kalian bisa lebih bertanggung jawab dengan waktu dan komitmen kalian terhadap pembelajaran. Mari kita jadikan kejadian ini sebagai pelajaran berharga agar tidak terulang kembali."
Widy meringkuk di bangkunya, berusaha menghilang dari pandangan Naidim dan Grady. Kedua temannya itu terus saja menggodanya dengan nada mengejek yang terdengar jelas di seluruh kelas. "Kenapa sih harus bolos segala, kan ada kita juga di sini," kata Grady sambil tertawa kecil. Naidim ikut-ikutan, "Iya, jangan gitulah, kasihan juga kamu nanti jadi diomongin guru-guru. Lain kali jangan diulang lagi ya, Wid." Widy merasakan air matanya berkumpul di pelupuk mata. Ia sangat menyesal telah melakukan kesalahan dan sekarang harus menghadapi ejekan teman-temannya
Widy hanya bisa mengangguk paham. Perhatian kecil mereka, seperti tawaran untuk meminjamkan buku catatan atau sekadar senyuman hangat di tengah pelajaran, ternyata sangat berarti baginya. Ia menyadari bahwa tindakan-tindakan sederhana itu menunjukkan bahwa ia tidak sendirian dan ada teman-teman yang peduli padanya. Namun, di balik rasa terima kasihnya, Widy juga merasa sedikit khawatir. Ia takut jika perhatian itu nantinya akan menjadi bahan pembicaraan teman-teman lainnya, terutama guru.
"Udah gak usah sedih kayak gitu dong,dijadikan pembelajaran aja, pokoknya lain kali harus ikut les terus ya"ucap Naidim sambil mengacak-acak rambut pendek Widy.
Widy mendongak, menatap Naidim dengan mata berkaca-kaca. Tangannya terulur, membenarkan sedikit rambutnya yang acak-acakan. "Iya, Dim. Makasih ya udah ngingetin. Aku janji bakal lebih semangat belajarnya."
Naidim tersenyum lebar, mengacak-acak rambut Widy sekali lagi. "Nah, gitu dong! Kamu kan pinter, pasti bisa kok dapet nilai bagus. Aku selalu percaya sama kamu."
Sejak hari itu, Widy benar-benar berubah. Ia semakin rajin belajar, mengikuti les tambahan, dan aktif bertanya pada guru. Naidim pun selalu ada di sisinya, memberikan semangat dan dukungan.
jika berkenan mampir juga dikarya baruku trimakasih😊