Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 5 (menyusuri harmoni dalam kebersamaan)
Setelah seharian penuh petualangan, Sasa dan Algar terlelap dalam pelukan malam yang hangat. Suara lembut arus air kolam renang dan bintang-bintang yang berkilauan di langit menemani mereka. Namun, semua momen indah itu harus berakhir ketika jam menunjukkan pukul lima pagi.
Algar yang pertama terbangun, menyadari betapa nyenyak nya tidur Sasa di sampingnya. Ia memandang Sasa sejenak, merasakan kedamaian yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. “Sasa, gue pamit ya,” ucapnya pelan sambil mengusap lembut rambut Sasa. Namun, gadis itu hanya mendengkur manis, tak menyadari kehadiran Algar.
Setelah berpamitan, Algar melangkah keluar dengan hati-hati. Di perjalanan pulang, wajah Sasa terus terbayang dalam benaknya. Senyumannya, tawa cerianya, bahkan cara Sasa mengedipkan mata saat tertawa—semua hal itu membuatnya tersenyum. Namun, saat bayangan itu mulai menjelma menjadi perasaan yang lebih dalam, ia cepat-cepat menepisnya. “Jangan terlalu jauh, Al,” bisiknya pada diri sendiri, berusaha menenangkan pikiran yang berkelana.
Sementara itu, Sasa yang tiba terbangun lalu berdiri tanpa menghiraukan sekitar dan pergi menuju kamar nya dan berbaring di ranjang.
Sasa yang masih terbaring di ranjangnya melanjutkan tidur. Keletihan dari kegiatan semalam membuatnya tidak ingin diganggu. Namun, tidur nyenyaknya terputus ketika jam menunjukkan pukul tujuh. Suara dering ponselnya menggema di kamar, membuatnya terbangun dengan mata sedikit berat.
“Hallo, ma,” sapa Sasa, mengusap matanya yang masih mengantuk.
“Sayang, semalam kamu bareng siapa? Mama baru saja bangun,” suara lembut mamanya terdengar dari seberang.
“Bareng teman,” jawab Sasa santai, berusaha menyembunyikan perasaannya yang campur aduk.
“Mama lega kalau kamu bersama Clara dan Andin. Jaga diri ya, nak!” jawab mamanya, yang langsung membuat Sasa merasa tenang. Tanpa menyadari bahwa jawabannya itu mengandung lebih banyak makna.
Setelah menutup telepon, Sasa melanjutkan tidur lagi, namun tidak lama setelah itu, suara ketukan lembut terdengar di pintu. "Non,bangun . Ini Bibik," suara lembut bibik membuat Sasa terbangun lagi.
Bibik sudah menjadi bagian dari keluarga mereka selama bertahun-tahun, bahkan memiliki kunci rumah. Ia memasuki kamar Sasa dengan senyum hangat, “Sudah jam tujuh, kamu harus bangun. Sarapan menunggu.”
“Okay, bik. Iya, iya. Gue bangun,” Sasa menggerutu pelan, lalu bangkit dari ranjang. Ia merapikan rambutnya dan berjalan ke dapur, di mana aroma nasi goreng dan telur mata sapi menggoda seleranya.
Setelah sarapan, Sasa merasa bosan dan merindukan kebersamaan dengan Algar. Dengan cepat, ia mengirim pesan ke ponselnya, mengundang Algar untuk pergi ke Beskem, tempat mereka biasa bermain musik. Tak lama, ponselnya berbunyi—Algar setuju untuk datang.
Saat Algar tiba, Sasa menyambutnya dengan senyuman lebar. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya antusias.
Setelah perjalanan singkat, mereka tiba di Beskem. Suasana di sana dipenuhi semangat anak-anak yang sedang bercanda, suara tawa, dan musik yang mengalun dari sudut ruangan. Dinding-dinding ruangan dihiasi poster band-band terkenal dan alat musik yang berserakan di lantai. Anak-anak lain sudah menunggu, siap untuk bermain musik dan bercanda. Sasa mengambil biola dan Algar meraih gitarnya. Suara alunan musik menggema di udara, melengkapi suasana yang ceria.
Sore pun tiba, dan Algar menyadari bahwa sudah saatnya mereka pulang. “Sa, kita pulang yuk. Jangan sampai malam lagi. Biar mama lo nggak khawatir,” katanya, mengemasi alat musik mereka.
“Ya, ya. Gue setuju. Tapi, sebelum itu, kita harus berhenti di taman. Gue mau beli es krim!” seru Sasa, matanya berbinar penuh semangat.
Sesampainya di taman, mereka disambut oleh suasana yang penuh warna. Pepohonan rindang berjejer rapi di sepanjang jalan setapak, daunnya bergetar lembut ditiup angin. Taman itu dihiasi dengan bunga-bunga cerah yang mekar, menebarkan aroma manis dan segar di udara. Di tengah taman, ada sebuah kolam kecil yang dikelilingi batu-batu berwarna-warni, di mana anak-anak bermain dengan gelembung sabun, menciptakan momen magis saat sinar matahari memantulkan kilau di permukaan air.
Sasa dan Algar berjalan menuju gerai es krim yang terletak di sudut taman, aroma manis es krim menggoda selera mereka. Sasa memilih rasa strawberry, sementara Algar memilih cokelat. “Kita harus coba kombinasi ini, Al!” seru Sasa sambil menyeruput es krimnya. Mereka berjalan santai di sepanjang jalan setapak, berbagi cerita dan tawa.
Setelah membeli es krim, mereka duduk di bangku taman yang nyaman, menikmati momen bersama. Di sekeliling mereka, anak-anak berlari-lari, bermain gelembung sabun yang berkilau di bawah sinar matahari. Sasa mengambil satu sendok es krim, kemudian mulai bercerita. “Al, lo tahu kan orang tua gue pengen banget gue jadi dokter? Tapi...,” Sasa menghela napas, ragu untuk melanjutkan.
“Tapi?” Algar mendorong, ingin tahu lebih banyak.
“Tapi Lo tau kan gue pengen jadi bos muda dan yang sukses di dunia musik. Itu impian gue. Bukan jadi dokter,” ujarnya, suara penuh keraguan namun ditunjang dengan semangat yang berapi-api.
Algar menatap Sasa, memahami betapa pentingnya impian itu baginya. “Lo harus kejar impian lo, Sa. Nggak ada yang lebih penting daripada bahagia dengan apa yang lo lakukan. Lagian, musik itu bagian dari diri lo.”
Sasa tersenyum lebar, merasa disemangati oleh kata-kata Algar. “Makasih, Al. Beruntung ada lo di sini.”
Malam mulai menutup, dan mereka berdua mulai bermain gelembung sabun yang mengapung di udara. Gelak tawa Sasa dan Algar mengisi malam, seolah semua beban hidup mereka menguap bersama gelembung-gelembung itu. Dalam kebersamaan, keduanya merasa seolah waktu berhenti—hanya ada mereka berdua, bermain dan bercanda, menelusuri setiap detik yang penuh makna.
Di bawah cahaya bulan yang lembut, mereka tahu bahwa malam itu adalah awal dari banyak petualangan yang akan datang, menjalin cerita yang tak akan pernah terlupakan. Saat mereka pulang, ada harapan baru yang mengisi hati masing-masing, membawa mereka pada perjalanan yang lebih indah di hari-hari mendatang.
Tq All, jangan lupa dukung.
LIKE
KOMENT
VOTE
HADIAH
FAVORIT
#Typo bertebaran
...
..
.
.
.