Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehormatan Seorang Wanita Penghibur
Bab 5
"Ya, gak papa jadi yang ke-dua," sahut Elara, santai.
"Gila kamu. Berarti kamu jadi pelakor kalo gitu."
"Yang penting aku gak jahat sama istrinya. Kalau Tuan Zayden mau tiap hari sama istrinya juga gak papa. Dia cuma sesekali berkunjung ke tempatku, gak papa. Yang penting, hak ku sebagai istri tidak berkurang."
"Bener-bener kamu ya, udah senekat itu."
"Kita lihat aja nanti. Feeling aku, Tuan Zayden bukan yang mau main-main. Kalau hanya main-main, dia bisa hanya membeliku "
Leni agak khawatir dengan keputusan yang diambil Elara. Meski dia tahu benar, bahwa Elara bisa menjaga diri dan mawas diri dari hal-hal yang bisa mencelakainya. Elara adalah seorang gadis yang penuh perhitungan, nekat dan berani.
***
Pulang sekolah, Elara merasa lelah setelah seharian berusaha mengabaikan gosip-gosip yang terus mengelilinginya. Meski, dengan traktiran bisa membuat sedikit mereda, Elara tahu, itu hanya sementara. Di mana-mana manusia tak ingin rugi. Ada yang gratisan pasti pada mau, pada manis. Nanti juga kembali ke setelan awal. Baik di depan, buruk di belakang.
Tatapan yang penuh cibiran dari teman-temannya di sekolah masih melekat di benaknya. Namun, saat tiba di gerbang sekolah dan melihat mobil mewah yang menunggunya, perasaan lega sedikit menyelusup. Pak Sobri, sopir setia yang bekerja untuk Zayden, sudah berdiri di samping pintu mobil, siap membukakan pintu untuknya. Sejenak, Elara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya dari hari yang penuh tekanan. Ia tahu, hari ini belum berakhir. Setelah sekolah, dia masih harus menemui Zayden di kantornya.
Elara naik ke mobil dengan cepat, membiarkan perasaan risau dan lelahnya terkunci di dalam. Pak Sobri mengangguk sopan, tidak banyak bicara seperti biasanya, hanya mengucapkan salam singkat sebelum mengemudikan mobil menuju kantor Zayden. Di dalam mobil, Elara hanya bisa termenung sambil menatap jalanan yang mulai ramai oleh aktivitas sore hari. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya suara deru mesin yang menemani pikirannya.
Setelah beberapa waktu, mereka tiba di depan gedung megah yang menjulang tinggi. Elara memandang kantor Zayden dengan sedikit rasa takjub, meskipun sudah tahu sedikit banyak tentang kantor itu, dari media.
Namun, sensasi melihat secara langsung, tentu berbeda. Gedung itu tampak sangat elegan dan modern, dengan kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya matahari sore. Elara tidak pernah merasa nyaman di tempat seperti ini, terlalu asing baginya—terlalu formal dan teratur, kontras dengan kehidupannya yang penuh kekacauan dan ketidakpastian.
Begitu masuk ke dalam lobi, perhatian beberapa karyawan segera tertuju padanya. Mereka melirik ke arahnya dengan tatapan penuh tanya, seolah bertanya dalam hati, “Siapa gadis berseragam OSIS ini? Apa yang dia lakukan di sini? Magang? Kenapa masih mengenakan seragam sekolah?”
Elara menundukkan kepalanya, berusaha mengabaikan tatapan-tatapan aneh itu. Dia tahu bahwa kehadirannya di kantor Zayden pasti mengundang pertanyaan, terutama karena seragam sekolahnya yang mencolok di antara jas dan pakaian formal para karyawan.
Dengan langkah cepat, ia menuju lift, Pak Sobri yang setia mengantarnya hingga ke lantai atas, di mana kantor pribadi Zayden berada. Setibanya di sana, pintu ruangan Zayden sudah terbuka sedikit, menandakan bahwa ia tengah menunggu kedatangan Elara.
Ketika Elara masuk ke dalam ruangan, hal pertama yang ia lihat adalah Zayden yang duduk di balik meja kerjanya, mengenakan setelan mahal yang rapi. Namun, yang mengejutkan Elara, begitu ia mendekat, Zayden tiba-tiba menutup hidungnya dengan ekspresi jijik yang tak berusaha ia sembunyikan.
Seketika, Elara merasa tersinggung. Apakah dia benar-benar bau? Apakah Zayden merasa jijik karena baunya? Amarah yang selama ini ia pendam dari segala komentar dan gosip tentang dirinya seakan meledak.
"Kenapa menutup hidung begitu?" tanya Elara dengan nada tajam. "Apakah aku sebau itu?"
Zayden meliriknya sekilas sebelum dengan tenang menjawab, “Aku tidak suka aroma anak sekolahan. Bau matahari dan asam itu menggangguku. Sebaiknya kamu berganti pakaian dulu sebelum kita bicara.”
Perkataan Zayden membuat darah Elara mendidih. Bagaimana bisa dia disamakan dengan anak sekolah biasa? Elara merasa direndahkan. "Aku berbeda, Tuan Zayden," katanya dengan suara yang bergetar oleh emosi. "Jangan samakan aku dengan anak sekolahan lainnya."
Namun, Zayden tidak terpengaruh. Dia menatap Elara dengan datar, lalu memajukan kedua tangannya, seolah meminta Elara untuk tenang.
“Dengar,” katanya dengan nada lebih pelan. “Aku hanya bilang, sebaiknya kamu ganti pakaian. Bahkan kalau perlu, mandi. Di ruangan ini ada kamar istirahat yang lengkap. Pergilah, dan aku tunggu di sini.”
Elara ingin membantah, tapi ia bisa merasakan tatapan Zayden yang serius. Ruangan itu memang ber-AC, namun Zayden, dengan segala ketelitian dan obsesinya pada kesempurnaan, masih bisa mencium aroma yang menurutnya tidak menyenangkan dari seragam sekolah Elara. Mau tak mau, Elara tahu bahwa ia harus menurut.
Dengan perasaan kesal, ia mengikuti arahan Zayden menuju ruangan yang ditunjukkan, sebuah kamar istirahat yang terletak di dalam kantor Zayden. Kamarnya sangat rapi dan mewah, seperti kamar pribadi yang lengkap dengan fasilitas modern. Di sudutnya ada lemari pakaian, dan di seberang ruangan terdapat kamar mandi yang luas dan bersih.
Begitu masuk, Elara segera berbalik dan memandang Zayden dengan tatapan penuh tuntutan. "Kenapa Anda masih di sini? Keluar!" katanya dengan nada tegas.
Namun, alih-alih menurut, Zayden malah tersenyum kecil, penuh tantangan. “Kenapa harus malu, Elara? Toh, sebentar lagi kita akan menjadi suami istri. Kamu bisa melakukan apa pun di depanku, seperti yang biasa kamu lakukan di depan laki-laki lain.”
Elara terkejut mendengar kata-kata Zayden yang tajam dan menuduh. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara rendah, penuh kemarahan.
Zayden berdiri dari tempat duduknya, mendekati Elara dengan langkah tenang.
“Jangan berpura-pura polos. Bukankah kamu terbiasa dijamah oleh laki-laki hidung belang? Mengapa sekarang kamu harus malu di depanku? Kamu bisa berganti pakaian di sini, di depan mataku. Tak ada yang perlu disembunyikan.”
Mendengar kata-kata itu, amarah Elara memuncak. Tanpa pikir panjang, ia mendorong Zayden dengan sekuat tenaga, hingga pria itu terhuyung mundur.
"Kau kotor, Zayden!" teriaknya.
“Pikiranmu terlalu kotor! Apa yang kau katakan tentang diriku tidak benar! Aku tidak seperti yang mereka pikirkan, tidak seperti yang kau lihat!”
Nafas Elara memburu, tangannya gemetar karena marah. Tatapannya penuh dengan kebencian dan kekecewaan, sementara Zayden tetap diam, menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak.
"Jangan sok suci, Elara. Aku tidak pernah menarik kata-kataku. Pasti aku menikahimu."
"Tapi, aku tidak pernah memberikan cuma-cuma apa yang ada dalam diriku. Apalagi kehormatan tubuh. Aku hargai mahal, seluruh hartamu pun, tidak cukup!" Elara mulai menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Dia wanita pemberani, tangguh dan keras.
Zayden tertawa mendengar kehormatan tubuh dari seorang wanita penghibur.
"Hahahahaha... Kehormatan, tubuh ini sudah dijamah banyak laki-laki, kau bilang kehormatan?"
Elara sudah malas meladeni Zayden. Percuma berdebat, menjelaskan sesuatu pada orang yang sudah terlalu sok tahu akan dirinya.
Bersambung...