Seorang pengangguran yang hobi memancing, Kevin Zeivin, menemukan cincin besi di dalam perut ikan yang tengah ia bersihkan.
"Apa ini?", gumam Kevin merasa aneh, karena bisa mendengar suara hewan, tumbuhan, dan angin, seolah mampu memahami cara mereka berbicara.
"Apakah aku halusinasi atau kelainan jiwa?", gumam Kevin. Namun perlahan ia bisa berbincang dengan mereka dan menerima manfaat dari dunia hewan, tumbuhan, dan angin, bahkan bisa menyuruh mereka.
Akankah ini berkah atau musibah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardi Raharjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Identitas Terungkap
Dari keterangan tujuh perempuan ini, Kevin mendapat gambaran bagaimana mereka bisa sampai di sini, perlakuan terhadap mereka, dan tujuan mereka disekap.
"Wah, pusing aku. Mana ngga punya pengalaman apapun lagi", gumam Kevin merasa bingung, mau dikemanakan orang-orang ini. Akan sangat merepotkan jika harus mengantar mereka satu per satu ke tempat asal. Bagaimana pun, mereka sampai ke sini dengan beberapa motif.
Bisa saja mereka dipulangkan namun akan tetap jadi korban lagi karena mafia perdagangan manusia bukan cuma satu.
"Hufh, begini saja. Kalian yang masih ingat nomor saudara kalian, hubungi mereka dengan pos telepon satelit. Aku yang akan bayar semua biayanya", sementara, hanya ini solusi Kevin. Ketujuh perempuan itu saling pandang dan mengangguk setuju. Di kota Bremlin, ada beberapa pos yang menyewakan telepon satelit yang relatif lebih stabil dibanding telepon seluler.
Para bekas tawanan ini benar-benar rentan karena terikat sistem. Bahkan untuk bekerja mencari makan, mereka harus punya kartu debit. Kevin beruntung karena pernah singgah dan bekerja di kota Dorman, sehingga mempermudah langkahnya di kota Bremlin ini.
Satu per satu mereka menghubungi orang tua atau saudara agar mau menjemput mereka. Bahkan Kevin memberi suplai sebagian dana untuk pulang bagi mereka yang sebagian besar memang berasal dari keluarga kurang mampu.
"Hufh, beres satu urusan", Kevin menghela nafas panjang. Uang di kartunya hanya sisa beberapa ratus ribu saja sekarang. Namun ia tidak khawatir karena masih ada banyak koin emas di ranselnya yang masih sekitar 900an koin emas kecil dan 100 koin besar.
Kevin hendak pergi, namun seorang perempuan yang gagal menghubungi keluarganya, menahan tangan Kevin.
"Aku, aku ikut denganmu saja", Vania, salah satu dari tujuh perempuan yang ia selamatkan.
"Tidak, kamu takkan bertahan. Aku seorang pengelana yang gemar berbuat onar. Jadi sayangi nyawamu dan lari lah ke arah rumahmu. Tunggu aku di sini dan akan kuberi sedikit uang nanti", Kevin memang tertarik dengan perempuan muda. Namun tidak untuk sekarang. Ia masih harus mengoptimalkan kemampuan dan menguak rahasia cincin keramat yang mungkin belum ia ketahui.
"Aku..", sebelum Vania menyelesaikan ucapan, Kevin telah melepaskan genggaman tangan Vania dan melesat ke toko emas sebelumnya untuk mengisi saldo dan membuat satu kartu debit lainnya.
Hanya berselang sepuluh menit, Kevin telah kembali.
"Ini, terima lah", Kevin mengulurkan kartu debit senilai 15 juta dan satu koin emas kecil.
"Tapi, aku", Vania hendak berucap, namun Kevin telah melesat pergi tanpa bisa ia cegah lagi.
"Hufh, merepotkan saja. Puluhan perempuan lainnya nekad lari ke mana saja untuk bertahan hidup. Kenapa aku harus mengurus tujuh domba lembek tadi?", gumam Kevin merasa cukup aneh dengan mental mereka. Tentu saja ia memaklumi. Namun satu yang paling "manja" hampir menggoyahkan hatinya.
"Yang ada dia akan membebaniku dan membahayakan nyawanya jika mengikutiku", Kevin bermonolog, menguatkan hati bahwa tindakannya sudah benar.
Kini Kevin berada di tepi kota Bremlin, mengawasi para anggota mafia di kasino Bibcock dari atas pohon, seperti elang mengawasi target. Ia mengudap makanan untuk mengatasi rasa bosan memperhatikan seharian, memastikan mereka tidak menangkap lagi para tawanan yang telah melarikan diri.
Malam itu, Kevin memperhatikan pendar di cincinnya. Satu permata berhenti berpendar.
"Sisa delapan", gumam Kevin. Ia tidak menemukan fluktuasi energi seperti di hutan buatan kota Dorman. Terlalu lama jika harus menyerap energi dari udara, sehingga Kevin abaikan saja.
Saat itu, ia melihat pergerakan beberapa pria yang menyebar ke seluruh kota Bremlin dari kasino Bibcock.
"Mau apa mereka?", Kevin terus memperhatikan gerak gerik mereka dan tidak melihat satu pun menangkap para bekas tawanan yang berjumpa dengan mereka, seolah ingin menguji ucapan Kevin.
Nampak mereka terkoordinasi dalam pergerakan dengan mendengarkan perintah lewat komunikator di telinga.
"Benar-benar rapi dan hati-hati", puji Kevin dalam hati. Namun tiba-tiba ia merasakan ancaman dan bereaksi cepat dengan intuisi.
"Siut!"
Kevin menghindari satu peluru penembak jitu.
"Sejak kapan aku ketahuan?", batin Kevin, melirik arah peluru berasal dan merobek daun.
"Srak! Jleb!"
Kevin segera membalas tembakan dengan dua robekan daun yang dialiri energi, satu menghalau peluru, satu lagi tepat mengenai dahi penembak jitu dan membuat lubang mengerikan. Mata Kevin memadukan kemampuan burung elang membidik jarak jauh dan mata burung hantu yang sangat teliti di malam hari sekalipun.
Kevin melompat dari pohon karena posisinya begitu terbuka untuk diserang. Lagi pula ia belum yakin zirah anginnya mampu menahan laju peluru super seperti sniper dan meriam. Kalau tidak, Kevin takkan lari menghindar dari kepungan peluru di dalam kasino.
"Sepertinya aku memang harus membinasakan para penjahat di kasino itu", Kevin berpikir sejenak, menyusun strategi dan melesat ke arah kasino Bibcock tanpa kamuflase. Kevin berasumsi bahwa lawan pasti sudah menyelidiki identitasnya dari keterangan penjaga kasino. Lagi pula, dirinya sudah dikenal sebagai pembuat onar.
"Brakk!"
Pintu kasino yang baru saja diperbaiki, kini kembali hancur. Sontak para pengunjung lantai dasar menoleh ke arah Kevin yang melangkah santai namun tetap waspada.
"Di mana pimpinan kalian?", Kevin menatap wajah penjaga yang telah ia lihat saat mengacau. Nampak pria itu sedikit gentar namun segera ia berlagak tenang.
"Jangan berbuat onar di kasino kami. Polisi akan segera datang dan menindakmu karena merusak properti kami. Semua rekaman tentang perusakan sebelumnya juga akan dilimpahkan kepadamu. Kami punya ahlinya", penjaga itu berbicara dengan pongah.
"Polisi?", Kevin bergumam. Ia baru ingat bahwa sebelumnya telah membuat onar di kepolisian dan rumor dirinya pun tersebar dengan sangat cepat melalui media digital. Benar saja, hanya dua menit polisi telah berada di depan kasino, menyuruh Kevin menyerahkan diri.
" Cih! Sampah!", Kevin meludah ke lantai. Namun para penjaga itu hanya menyeringai, merasa senang Kevin masuk ke dalam jebakan. Jika tidak bisa menghabisinya secara langsung, mereka telah membayar untuk menggunakan tangan legal demi menghabisi Kevin.
Alih-alih menyerahkan diri, Kevin berlari cepat le lantai teratas, mengikuti intuisinya untuk menemukan ruang pimpinan. Tadinya ia ingin memberi pelajaran agar mereka terhina, sayangnya Kevin harus menggunakan cara lain.
"Brakk!"
"Bugh!"
Baru saja Kevin mendobrak pintu yang ia kira milik sang pimpinan dilihat dari papan namanya, satu tendangan berhasil menembus zirah anginnya dan membuatnya terlontar membentur tembok. Untung saja tubuhnya sudah sangat kuat sekarang, sehingga tak ada cedera berarti.
"Hebat, hebat! Kau mampu selamat dari tendangan mautku!", pria bertubuh tinggi kurus bermata sipit menunjukkan seringai setelah memuji Kevin.
"Huh, itu tendangan yang lebih layak disebut tendangan mautmu. Tendangan yang menjadi sebab maut menjemputmu!", Kevin kesal dengan sosok misterius yang tiba-tiba muncul mengganggu aksinya.
"Dub dub dub!", pukulan Kevin berhasil ditangkap, namun pria jangkung itu mundur terseret akibat kekuatan Kevin. Nampak kedua telapak tangannya mengeluarkan asap tipis akibat benturan pukulan Kevin.
"Woi, menarik!", entah kenapa Kevin menjadi bar-bar dan adrenalinnya semakin terpacu saat menemukan lawan kuat.