Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima Belas
“Aku, ....”
“Kamu mau bilang, bahwa kamu mencintaiku?”
“Bukan, tapi jika mengenai itu ... aku lebih dari mencintai Mas. Enggak tahu kenapa, rasanya aku begitu bahagia di setiap kita bersama. Bukan karena ternyata Mas, ... hanya pura-pura lumpuh dan ... terluka di bagian wajah Mas.”
“Maksudmu aku juga b u r u k rupa di wajah sebelah kananku?”
“Mas, ... sekali saja. Jangan terus menerus berburuk sangka. Ucapan dan sugesti ibarat doa. Percayalah, ... ketimbang ketidakadilan yang Mas rasakan dan Mas rasa, ... itu membuat Mas jadi orang paling tidak beruntung. Masih ada yang lebih kurang beruntung dari Mas.”
Mendengar balasan Dita yang masih diselimuti kelembutan, hati Langit seolah teriris. Sebab kelembutan suara Dita kali ini, sarat akan luka. Sementara pagi ini Langit tahu dari Haris, bahwa Dita diperlakukan kurang manusiawi oleh ibu kandungnya sendiri.
“Buka pintu kamarmu, aku mau ke sana sekarang!” sergah Langit sambil melangkah cepat.
“Enggak, Mas! Aku enggak enak ke mama Mas. Tunggu besok saja. Ini mama Mas bentar lagi juga ke sini buat anterin makan malam.”
“Mas beruntung banget punya mama seperti mama Mas. Jangan terus-menerus bikin mama Mas marah apalagi kecewa, ya! Enggak semua anak bisa punya mama hebat, seperti mama Mas!” lembut Dita dan membuat Langit berangsur duduk di anak tangga pertama tak jauh dari kamarnya. Anak tangga yang juga menghubungkan lantai atas kamarnya berada, dengan lantai bawah kamar tamu Dita berada.
“Mas mungkin merasa paling hancurkan karena kehilangan Agnia. Mas menyalahkan orang tua Mas karena Agnia tetap membuang Mas karena yang dia tahu, Mas belum menjadi sosok dengan fisik sempurna. Karena itu juga, Mas terus menyalahkan orang tua Mas, padahal orang tua Mas sudah melakukan semuanya, agar Mas kembali memiliki fisik sempurna!”
“Aku jadi ngantuk,” ucap Langit menanggapi ucapan panjang lebar Dita yang membuatnya merasa sangat tenang, hingga rasa kantuk itu datang, membuat kesadarannya tumbang.
“Ya sudah, Mas tidur. Besok lanjut ijab kabul. Mas mau, kan, kita jadi suami istri lagi? Apa ... Mas rela aku diijab pria lain?”
“B a n g k e! Kamu bilang gitu, aku langsung gagal ngantuk!” sergah Langit yang memang langsung emosi. Pertanyaan terakhir Dita barusan, langsung membuat Langit emosi.
Kedua mata Langit tak lagi sayu apalagi terpejam. Kedua matanya kembali melek, apalagi sambungan telepon mereka jadi ‘tat tut tat tut’. Menandakan ada yang berusaha menelepon nomor ponsel Dita.
“Ada yang telepon?” sergah Langit sembari beranjak menyudahi duduknya. Ia melangkah menuruni anak tangga dengan tergesa.
“I—iya, ... mas Haris, Mas.”
Mendengar nama Haris disebut, dada Langit langsung berat. Selain itu, langkah Langit juga jadi pelan dan berakhir berhenti. Padahal awalnya, Langit akan mengamuk siapa pun yang berani telepon malam-malam kepada Dita.
“Habis kita beres teleponan, aku mau WA mas Haris buat ngabarin dia, bahwa aku mau rujuk sama Mas.”
“Aku lebih tenang kalau kamu enggak pegang hape sekalian!”
“Yakin? Kalau Mas kangen ke aku, dan kita enggak lagi bareng, Mas mau menghubungi aku lewat apa? Merpati?” balas Dita yang kali ini terdengar jengkel.
“Ya sudah, ... besok aku kasih kamu hape sekaligus nomor baru dan isinya hanya nomorku dan keluarga kita!” tegas Langit yang kemudian mengakhiri sambungan telepon mereka.
Keesokan harinya, setelah mereka selesai shalat subuh, Langit langsung menyita ponsel Dita.
“Kecemburuan Mas Langit terlalu berlebihan. Emosinya juga pasang surut dengan sangat cepat. Rasanya kalau gini caranya, ... enggak normal.” Dalam hatinya, sebenarnya Dita ingin mengajak ibu Azzura untuk membawa Langit ke psikiater. Karena bagi Dita, orang yang jadi gampang emosi, padahal sebelumnya biasa saja, tidak normal. Namun, Dita juga khawatir, keinginannya tersebut justru membuat ibu Azzura selaku mamanya Langit, tersinggung.
“Coba nanti pelan-pelan aku arahin mas Langit,” pikir Dita.
Sekitar pukul enam pagi, dan sebelumnya sengaja sarapan bersama, Dita dan Langit ditemani orang tua Langit, pergi ke rumah penghulu. Orang tua Langit sudah mengatur sekaligus menyiapkan semuanya. Langit dan Dita akan menjalani ijab kabul lagi. Namun karena itu juga, orang tua Langit tak sampai melibatkan keluarga besar atau setidaknya, melibatkan kakak-kakak Langit.
***
Dalam satu tarikan napas, Langit melafalkan ijab kabulnya. Dita yang duduk di sebelahnya merasa sangat nelangsa. Air mata jatuh ke pangkuannya. Dalam benak Dita, ia teringat kondisi keluarganya sekaligus perlakuan sang ibu kepadanya. Hingga karena ijab kabul barusan pula, perasaan Dita jadi campur aduk.
Bersama Langit yang Dita harapkan menjadi teman hidupnya selama-lamanya, dan hanya ajal yang bisa memisahkan, Dita akan menjadi istri yang baik. Dita berharap, hubungannya dan Langit akan membuatnya merasakan hangatnya keluarga, dan semasa hidupnya, belum pernah ia rasa. Selain itu, Dita juga sangat berharap, dirinya dan Langit akan menjadi pasangan bahagia layaknya pasangan normal pada kebanyakan. Terlebih, kini hubungan mereka tak lagi berada di bawah bayang-bayang Agnia.
Walau emosi Langit selalu meledak-ledak dan kerap berubah drastis, menjadi PR tersendiri untuk Dita. Dita yakin, ia dan Langit bisa menjadi pasangan bahagia layaknya orang tua Langit. Terlebih diam-diam, kekompakan sekaligus keromantisan orang tua Langit, menjadi alasan Dita makin semangat menjalani rumah tangga dengan Langit. Dita menjadikan rumah tangga orang tua Langit sebagai panutan. Karena Dita tak mungkin menjadikan rumah tangga orang tuanya yang amburadul, menjadi panutan.
“Sekarang kalian pulang, istirahat. Papa sama mama ke rumah orang tua Aqnia, buat urus semuanya. Sementara besoknya, kita pulang kampung ke rumah Mbah!” sergah ibu Azzura yang memang paling aktif bicara. Sebab pak Excel hanya akan bersuara jika memang diperlukan atau malah keadaan yang telanjur fatal.
“M—Ma, tapi ibuku masih sakit. Aku masih harus urus segala sesuatunya,” sergah Dita. “Bagaimana pun keadaannya, ibu tetap ibu aku. Dan sebagai anak pertama, tentu ibu juga jadi tanggung jawab aku,” batin Dita.
“Saking ngeselinnya ibunya Dita, orang sesabar Haris saja berharap, jika memang ibunya Dita enggak bisa berubah, lebih baik ibunya Dita mati saja,” batin Langit.
“Ya sudah, berarti nanti sore kita ke kontrakan Dita. Sekarang kita pisah mobil. Mas Langit, jangan ngebut-ngebut,” ucap ibu Azzura yang membiarkan tangan kanannya disalami dengan takzim oleh Dita.
Dita menunggu di sebelah sang mama mertua karena baik pak Excel maupun Langit, kompak menerima telepon di ponsel masing-masing. Langit ada di depan mereka, sementara pak Excel ada di belakang mereka.
“Setelah pamitan mau rujuk sama mantan suaminya, Dita enggak bisa dihubungi lagi, Lang! Nomornya sudah enggak bisa dihubungi!” Di sambungan telepon, suara Haris terdengar sangat putus asa.
“Jangan mengharapkan dia lagi. Cari wanita lain saja yang pastinya belum menikah!” tegas Langit sengaja berucap lirih agar tidak terdengar Dita.
Di lain sisi, pak Excel sudah selesai dengan teleponnya. Namun karena hari ini Dita dan ibu Azzura sama-sama memakai gamis lengkap dengan cadar warna merah muda, pak Excel salah merangkul. Karena justru Dita yang ia rangkul. Untung Langit langsung teriak mengingatkan. Karena andai tidak, pasti bibir pak Excel sudah menempel di ubun-ubun Dita.
“Sssstt,” lembut Dita buru-buru menghampiri sang suami. Dita langsung mengusap-usap dada Langit dan bermaksud menenangkannya.
“Tinggi kami sama. Pakaian kami juga. Papa enggak lihat. Kendalikan emosi Mas!” lembut Dita yang kemudian memeluk Langit.
“Pa, emosi Langit enggak wajar loh. Mama rasa ada yang enggak beres. Mama khawatir, mental atau jiwa Langit terluka. Fisik memang baik-baik saja, tapi ... enggak ada salahnya kita bawa Langit ke psikiater, Pa. Takutnya ... dikit-dikit emosi. Dikit-dikit cemburu,” bisik ibu Azzura yang jadi sangat khawatir.
(Assalamualaikum .... yuk ramaikan yaaa. Btw, kisahnya kan Langit emang punya gangguan m e n t a l dan itu masih efek kecelakaan sekaligus penolakan Agnia, ya)