Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mentor yang hebat
Kaivorn memandang Franca dengan sorot mata tajam, senyum tipis terbentuk di bibirnya, seolah ada sesuatu yang jauh lebih mendalam daripada yang terlihat.
"Sebelum kita lanjutkan," katanya, suaranya lembut namun sarat makna, "ada sesuatu yang ingin kubahas."
Franca menegakkan tubuhnya, sedikit cemas oleh perubahan nada itu.
"Apa itu, Tuan Muda?" tanya Franca, suaranya menahan keraguan, karena percakapan sebelumnya sudah menyentuh topik yang sensitif.
"Kau tahu aku sekarang berada di titik paling lemah sekarang, bukan?" Kaivorn melontarkan pertanyaan itu dengan nada santai, meski pertanyaannya mengandung duri.
Mata merahnya bersinar seakan ia menyimak respons dengan intensitas tajam, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti ujian bagi Franca.
"Tentu saja, siapa di kerajaan Maestiammea yang tak mengenal sebutan ‘Talentless Vraquos’ untuk Anda?" jawab Franca, mengangguk, meski sorot matanya menyiratkan keprihatinan yang tak terucapkan.
Kaivorn tersenyum tipis, sinis, seperti memancing ikan di air yang keruh.
"Talentless? Ironis, bukan?" Kaivorn berhenti sejenak, membiarkan suasana hening terasa berat. "Tapi mari jujur sejenak, Saintess. Kau sungguh percaya, setelah bertahun-tahun aku diabaikan oleh dunia, semua hanya akan terselesaikan dengan... berlatih?"
Franca, meskipun yakin, tersendat sejenak. "Sebagai seseorang yang dipilih oleh dewa," dia memulai dengan keyakinan yang kembali muncul, "saya yakin Anda punya potensi besar, Tuan Muda. Jika Anda berlatih dengan tekun, saya yakin Anda bisa melampaui leluhur Anda sendiri—Sword God."
Kaivorn tertawa pelan, tetapi nadanya penuh sarkasme. "Melebihi Sword God? Ah, Saintess, anda berbicara seolah anda tahu siapa Sword God sebenarnya." ujarnya. "Leluhur Vraquos bukanlah orang yang bisa dilampaui hanya dengan berlatih."
"Tapi," Kaivorn mencondongkan tubuhnya sedikit, "kau ada benarnya. Aku memang perlu berlatih."
Kaivorn menarik napas dalam, dan kali ini suaranya lebih rendah, lebih tegas. "Dan itulah kenapa aku ingin sesuatu darimu."
Franca terdiam, merasakan bobot percakapan yang baru saja berubah. "Apa itu, Tuan Muda?"
"Tolong jadikan Sir Amon sebagai mentorku," kata Kaivorn tanpa ragu, setiap kata yang keluar seperti perintah tak terbantahkan.
Franca tersentak, seakan tersambar petir di siang bolong. "Sir Amon... menjadi mentor Anda?"
Kaivorn mengangguk, senyum tipis kembali menghiasi wajahnya. "Siapa lagi yang lebih cocok untuk mengajar seorang pahlawan masa depan selain komandan tertinggi Ksatria Suci?"
Franca merasa bimbang, namun setelah melihat wajah Kaivorn yang penuh keyakinan, dia akhirnya memutuskan.
Sementara itu, Amon berdiri bersandar di dinding dekat pintu, dengan salah satu kaki menekuk ke belakang, seolah waktu di sekitarnya tak ada artinya.
Kedua lengannya terlipat dengan rapi di depan dada, posturnya kaku namun tak gentar.
Pedang suci miliknya, berkilauan dengan cahaya halus, bersandar di sampingnya—simbol dari kekuatan dan kehormatan yang ia junjung tinggi.
"Sir Amon," suara lembut namun tegas dari Franca terdengar dalam pikirannya melalui telepati. "Masuklah."
Amon menegakkan tubuhnya, mengangguk singkat. "Dipahami."
Dengan gerakan cepat namun penuh kehormatan, ia meraih pedangnya dan melangkah ke depan, membuka pintu besar yang memisahkan dirinya dari ruangan itu.
Di dalam, pemandangan berbeda menantinya.
Kaivorn duduk tenang berhadapan dengan Franca.
Sorotan mata Kaivorn tajam, seolah menembus ruang dan waktu, sementara bibirnya melengkung dalam senyuman tipis.
Tidak ada yang terlewat dari pandangan Amon.
Amon menghampiri Franca, namun tak sepenuhnya mengabaikan Kaivorn.
Tatapannya singkat namun menekan, seperti seorang ksatria yang tak terkesan dengan pemuda di hadapannya.
"Ada masalah apa, Saintess?" tanyanya, suaranya beresonansi dengan ketegasan. Sekilas, ia melirik Kaivorn, namun tatapannya lebih menyerupai pisau tajam yang menembus kulit.
Kaivorn menghela napas singkat, senyum pahit tergurat di wajahnya. "Kenapa dengannya?" pikirnya dalam hati.
Franca berdiri dari tempat duduknya, gerakannya anggun namun penuh kehormatan.
Tangannya menyentuh salib di dadanya, simbol kepercayaannya yang begitu dalam.
Ia melangkah mendekati Amon, suaranya berbisik namun memancarkan keagungan.
"Sir Amon," Franca memulai dengan penuh kharisma, "maukah Anda membantu saya?" Sebuah jeda singkat, tatapan matanya penuh keyakinan. "Tidak, maksudku, membantu umat manusia?"
Amon mengangguk pelan, tak ragu sedikit pun. "Tentu saja," jawabnya, tanpa sedikitpun keraguan di matanya.
Franca lalu melirik ke arah Kaivorn, yang kini duduk dengan santai, meski ada kesan mendalam di balik wajahnya yang tampak tak peduli.
Franca tetap berdiri tegak, aura suci yang memancar darinya semakin kuat, sementara setiap kata yang diucapkannya seperti membawa beban takdir.
"Kalau begitu," ulangnya, kali ini dengan suara yang tak bisa dibantah, "jadilah mentor bagi pahlawan di masa depan."
Amon tersentak, matanya kembali melirik ke arah Kaivorn, si pemuda yang terkenal dengan julukan yang seolah menghantui seluruh kerajaan.
"Aku? Komandan ksatria suci..." pikirnya dengan hati yang penuh kebingungan, "...melatih 'Talentless Vraquos'?"
Kaivorn, dengan ketenangan yang terkesan menantang, hanya memberikan senyum tipis yang penuh arti.
"Senyuman macam apa itu?" Gerutu Amon dalam hati. "Dia seolah berkata sedang berkata; Kau tahu seberapa rendah dirimu menilai aku, dan aku menikmatinya."
Amon menahan napas, dadanya terasa sesak oleh perasaan yang bertentangan.
Dia, seorang komandan yang telah memenangkan banyak pertempuran, kini diminta melatih seseorang yang dunia anggap tak memiliki bakat.
Setiap serat dalam tubuhnya ingin menolak, tetapi di hadapan Saintess, tidak ada ruang untuk perlawanan.
Dengan perlahan, ia menundukkan kepala, gestur yang jarang ia lakukan kecuali di hadapan raja atau dewa.
"Di mengerti, Saintess," kata Amon akhirnya, nada suaranya terukur, meskipun ada kegetiran yang tersembunyi di balik kata-katanya.
Namun, di balik tundukannya, ada kemarahan yang ia tahan. "Ini penghinaan..." pikirnya.
"Tapi sebagai ksatria suci," Batin Amon. "tugas ini—meskipun terasa seperti kutukan—tak bisa ku hindari."
Kaivorn, yang telah mengamati ekspresi Amon dengan seksama, menahan tawa kecil.
Senyum tipis di bibirnya semakin dalam, penuh dengan ironi yang hanya ia yang bisa pahami.
Mata Kaivorn bersinar, menikmati betapa lucunya situasii ini.
"Menarik," pikir Kaivorn. "Seorang komandan ksatria suci yang legendaris... ditugaskan untuk melatihku."
Kaivorn tersenyum tipis. "Ini akan menjadi semakin menyenangkan."