NovelToon NovelToon
Istri Yang Tak Di Anggap

Istri Yang Tak Di Anggap

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: laras noviyanti

Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.

Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.

Lalu untuk apa Arman menikahinya ..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 5

Candra berdiri di depan cermin kecil di ruang ganti, memperhatikan wajahnya yang pucat. Dia mengusap noda air mata yang masih tersisa di pipinya, merapikan rambut yang berantakan, dan menarik napas dalam-dalam. Di luar, suara langkah kaki dan bisik-bisik mulai memenuhi ruang sidang.

“Candra, sudah siap?” suara Dira mengalun lembut, masuk dari pintu yang terbuka.

Candra menatap temannya, mencoba mengguratkan senyum yang tak sepenuh hati. “Aku…Tidak tahu, Dira. Semua ini terasa begitu surreal.”

“Pikirkan tentang kebebasanmu. Setelah semua yang kamu lalui, kamu pantas untuk bahagia.” Dira mendekat, menggenggam tangan Candra yang dingin.

Candra mengangguk, tapi tatapannya menurun, menghantam lantai. “Tapi Arman… Dia tetap suamiku, meski aku tidak perna jadi istrinya yang dia inginkan.”

“Dia tidak menghargaimu. Dan hari ini, kamu mengakhiri semuanya,” Dira mengingatkan, getir dalam suaranya.

Candra menggigit bibirnya. Kenangan kilas balik tentang Arman muncul, senyuman kosong dan tatapan kosongnya. Dia menutup matanya, membiarkan sedikit rasa sakit itu mendalam. “Setiap kali aku berusaha mendekatinya, dia malah menjauh. Seperti aku hanya udang di batu, yang tak pernah ada artinya.”

Dira menarik napas, berusaha membangkitkan semangat. “Ayo, jangan biarkan kenangan itu mengikatmu. Ingat mengapa kamu memutuskan untuk berdiri di sini.”

Bahkan saat jiwa Candra bergetar karena ingatan itu, dia merasakan dorongan dari Dira. “Ya, aku harus melakukannya. Untuk diri sendiri.” Suara Candra terdengar lebih tegas.

Dira tersenyum, harapan berkilau di matanya. “Itu dia! Sekarang, mari kita masuk. Sidang akan dimulai.”

Dua wanita itu melangkah menuju ruang sidang dengan langkah mantap. Pintu terbuka, dan aroma formalitas mencolok menyergap mereka. Juri duduk di depan, sementara Arman duduk di kursi penggugat dengan wajah datar, menatap ke arah Candra.

“Ini dia,” Dira berbisik.

Mereka melangkah maju, Candra merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Saat Arman melihatnya, tidak ada emosi di matanya. Cepat sekali, Candra merasa hampa.

“Candra,” Arman memulai, suaranya rendah dan acuh. Tidak ada perubahan nada, seperti dia berbicara tentang cuaca.

“Kenapa kau menikahi aku jika kau tak mencintaiku?” Candra melawan, nada suaranya menantang. Dia berusaha menahan emosi bergejolak, mata tajam menatap Arman.

“Karena semua orang mengharapkan itu. Aku tidak mau mengecewakan orang tua.”

Dira mengertakkan gigi, ingin melindungi Candra. “Kau ingin menjadi boneka, Arman? Hanya untuk memenuhi ekspektasi?”

“Ini bukan tentang itu. Terkadang, hal lain lebih penting dari perasaan,” Arman menjawab datar, seolah menganggap ini pernyataan biasa.

Candra mendengus, hatinya kaku. “Maka kamu tak pernah berusaha memahami perasaanku. Sesaat pun.”

“Candra, kita sudah menjalani ini. Kamu tahu bagaimana aku, bukan?” Arman membela diri, bukannya menunjukkan penyesalan atau rasa bersalah.

Dia mengepalkan tangan, mengingat harapan-harapan yang hancur. “Tapi kita tak pernah jadi pasangan sejati.”

“Dan kamu tidak pernah berniat untuk berkorban,” Arman balas menembakkan.

Candra merasa amarah fase puncaknya. “Aku tidak perlu mengorbankan diri untuk seseorang yang tidak menghargai kehadiranku! Ini bukan cinta, Arman. Ini sekadar rutinitas yang menjeratku!”

“Jadi kamu ingin menyerah? Hari ini? Setelah semuanya yang kita lalui?” nada Arman penuh sinis.

“Setelah semuanya yang kamu buat memburuk, ya. Aku berhak memilih jalanku sendiri!” tubuh Candra bergetar, detak jantungnya berpacu lebih cepat.

Dira berpaling pada Candra, wajahnya penuh dukungan. “Kamu sudah melakukan hal yang benar. Tidak ada yang dapat mengambil keputusan ini.”

Di ruang sidang, suasana semakin memanas. Hakim menengahi, wajahnya serius. “Tenangkan suasana kita di sini. Sekarang, mari kita dengarkan pernyataan dari pihak penggugat.”

Candra mengalihkan pandangnya, tidak ingin melihat Arman yang kosong. Dia merasakan tatapan pengunjung yang mencermati kisah yang tak berujung.

“Candra, kamu punya bukti yang ingin disampaikan mengenai perceraian ini?” hakim menanyakan dengan suara tegas.

Candra menatap hakim, menegakkan punggungnya. “Saya datang ke sini bukan untuk menyakiti. Tapi saya tidak bisa lagi hidup dalam keadaan ini. Tangisan malam tidak banyak terjadi lagi karena ketidakpenuhan emosional.”

“Bukan hanya tangis. Tapi batin saya tersiksa setiap kali dia pulang tanpa sepatah kata pun. Dia pergi, seperti mengejar bayangan. Saya ingin hidup yang lebih baik,” Candra melanjutkan, penuh keberanian.

Hakim menulis sesuatu dalam catatan. Arman tetap diam, matanya mengerut ke arah Candra.

“Baiklah. Mari kita lanjutkan. Candra, apakah kau memiliki dukungan dari keluarga atau teman untuk pilihanmu?”

Candra melirik Dira, yang menganggukkan kepalanya, berusaha membangkitkan semangat. “Saya tidak sendirian, ada Dira dan orang-orang yang menginginkan saya untuk bahagia.”

Mata hakim memperhatikan Candra lebih dalam. “Apakah menurut Anda mampu mencari kebahagiaan setelah perceraian ini?”

Candra merasa energinya mengalir. “Saya rasa, dengan keputusan ini ada harapan untuk menemukan diri saya yang hilang.”

“Sekarang, saya ingin mendengar dari pihak tergugat. Arman, anda memiliki kesempatan untuk memberi tanggapan,” hakim mengisyaratkan.

Arman merapatkan bahu, bersandar di kursi. “Saya masih tidak mengerti mengapa semuanya berakhir seperti ini. Apakah kita tidak bisa memperbaiki hubungan ini?”

“Entah sudah berapa kali saya mencoba. Tapi saya terus patah semangat. Kamu tidak pernah melihat saya.” Candra menegur, suara menahan.

Arman mengerutkan dahi. “Kamu hanya melihat dari sudut pandangmu. Ada banyak hal yang dihadapi, Candra.”

“Ya, tapi aku bukan bagian dari proses itu. Hanya sebuah bayangan dalam hidupmu,” cetus Candra, memandangnya serius.

“Kamu menginginkan perhatian. Aku terlalu terfokus pada urusan kerja,” Arman menjawab, suara perlahan.

“Ini bagaimana kamu menganggap aku, Arman? Sekadar pelengkap, bukan? Kamu terus melangkah tanpa peduli apakah aku ada di sampingmu atau tidak.”

Kedua pasangan itu terlibat tatap yang seolah mengajak dalam pertempuran. Dua hati yang terhubung, namun sangat jauh satu sama lain.

“Dari awal, saya tidak menyangka akan berakhir seperti ini,” Arman kembali berkomentar.

Candra berusaha tersenyum, meski air mata ingin keluar. “Tapi inilah yang kita hadapi sekarang.”

Hakim menyampaikan ketukan palunya, memecah suasana. “Baiklah, kita akan menghentikan sesi ini untuk saat ini. Tim saya akan melanjutkan pemeriksaan data dan bukti lanjut. Sidang akan dilanjutkan besok.”

Dira segera berbisik pada Candra. “Kamu hebat. Apa pun hasilnya, kamu sudah mengambil langkah yang berani.”

Candra mengangguk, namun jari-jarinya menggenggam erat, menahan emosi yang hampir meluap. Bernapas teratur, dia merasa ada harapan baru menggantikan kesedihan.

Sambil berjalan keluar, hatinya bergejolak. Di belakang, Arman memandangnya, memunculkan rasa tidak berdaya. Candra menoleh, seolah ada yang ingin dia sampaikan, tetapi tidak ada kata yang keluar.

Kota bergetar di luar gedung pengadilan, dan langkah mereka memisahkan jarak yang telah terbentuk. Candra tahu, saat ini adalah awal untuk menemukan jati diri yang telah lama hilang.

Candra dan Dira melangkah keluar dari gedung pengadilan, menyusuri trotoar yang ramai. Suara orang-orang talking, lalu lintas mobil, dan suara gemericik air dari taman terdekat menciptakan suasana kontras dengan kegundahan batin Candra.

“Bagaimana perasaanmu?” Dira menengok, khawatir akan keadaan Candra.

“Seperti melangkah di atas awan. Ada beban yang terangkat, tetapi juga ketidakpastian yang menggantung,” Candra menjawab, suara bergetar.

Dira menggenggam tangan Candra lebih erat. “Itu wajar. Perubahan selalu menakutkan, tetapi ingat, kamu tidak sendirian.”

Candra mengalihkan pandang ke depan, melihat kerumunan orang beraktivitas. “Aku merasa seolah semua orang tahu, tahu tentang rasa sakitku, tentang perceraianku.”

“Biarkan semua itu berlalu. Yang penting adalah kamu berani keluar dari bayang-bayangnya,” Dira berkata dengan semangat, mencoba mengangkat keadaan.

Candra mengangguk, meski keraguan masih menyelimuti hati. “Tapi bagaimana jika aku tidak bisa menemukan kebahagiaan seperti yang kumau?"

Dira menghentikan langkahnya, menatap dalam-dalam mata Candra. “Candra, kau sudah melewati banyak hal yang orang lain mungkin tidak bisa bayangkan. Kamu kuat. Kebahagiaan itu datang, hanya saja bukan berarti harus sempurna.”

Candra menurunkan tatapannya, merasakan ketidakpastian terus menghantui. “Apa aku akan baik-baik saja? Apa semua ini benar-benar pilihan yang tepat?”

“Mungkin tidak ada jawaban pasti. Tapi jika kamu terus menunggu, akan ada lebih banyak waktu yang hilang. Cobalah jalani hidup, lihat apa yang ditawarkan dunia di luar itu.”

...----------------...

1
murni l.toruan
Rumah tangga itu saling komunikasi dua arah, agar tidak ada kesalah pahaman. Kalau hanya nyaman berdiam diri, itu mah patung bergerak alias robot
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!