NovelToon NovelToon
Clara : Si Pendiam Yang Di Inginkan Banyak Orang

Clara : Si Pendiam Yang Di Inginkan Banyak Orang

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Mafia / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

meski pendiam , ternyata Clara mempunyai sejuta rahasia hidup nya, terlebih dia adalah anak dari seorang petinggi di sebuah perusahaan raksasa,

namun kejadian 18 tahun silam membuat nya menjadi seorang anak yang hidup dalam segala kekurangan,

dibalik itu semua ternyata banyak orang yang mencari Clara, namun perubahan identitas yang di lakukannya , menjadikan dia sulit untuk di temukan oleh sekelompok orang yang akan memanfaatkan nya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

pencarian

Kujulurkan tangan ke arah tuas pintu mobil, tetapi Ria lebih cepat. Ia membuka pintunya dan keluar dengan cepat, rambutnya yang sebahu tertiup angin.

"Kau tidak sabar ya?" tanyaku.

Ria menoleh, sorot matanya penuh semangat. "Tentu saja! Ini pertama kalinya kita berdua menyelidiki sesuatu bersama-sama. Seperti detektif beneran!"

Aku tersenyum. Ria memang selalu bisa melihat sisi menyenangkan dari segala hal. "Baiklah, detektif Ria. Mari kita mulai penyelidikan kita."

Kami berdua berjalan menuju gedung rumah sakit yang terletak di pinggiran kota. Rumah sakit ini sudah cukup tua, berdiri sejak puluhan tahun yang lalu. Mungkin inilah sebabnya gedung ini terlihat usang dan sedikit mengerikan.

Ketika kami memasuki ruangan penerimaan, suasananya terasa dingin dan sunyi. Seorang perawat yang sedang duduk di belakang meja melihat ke arah kami dengan tatapan heran.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.

Kutatap Ria, memberikan isyarat agar ia yang berbicara. Ria memang lebih pandai berbohong dan meyakinkan orang dibandingkan aku.

"Kami dari koran sekolah," mulainya. "Kami sedang membuat artikel tentang sejarah kota ini dan ingin tahu apakah ada catatan tentang bayi yang lahir di rumah sakit ini, sekitar 18 tahun yang lalu."

Perawat itu tampak ragu-ragu. "Catatan kelahiran? Tentu saja ada, tetapi—"

"Apakah Anda bisa menunjukkan kepada kami?" potong Ria. "Ini sangat penting untuk artikel kami. Dan kami janji tidak akan memakan banyak waktu."

Perawat itu menghela napas. "Baiklah, ikuti saya."

Kami mengikuti perawat itu ke sebuah ruangan kecil di belakang. Ruangan itu dipenuhi rak-rak besi yang penuh dengan kotak-kotak dokumen. Perawat itu mulai mencari di salah satu rak.

"Kapan tepatnya kelahiran ini terjadi?" tanyanya.

"Sekitar 18 tahun yang lalu," jawab Ria. "Mungkin akhir musim semi atau awal musim panas."

Perawat itu mengangguk dan terus mencari. Beberapa menit kemudian, ia menarik sebuah kotak dan meletakkannya di atas meja. "Ini catatan dari 18 tahun yang lalu. Silakan dicari sendiri karena saya tidak ingat persis kapan waktu kelahiran itu."

"Terima kasih banyak," kata Ria.

Perawat itu meninggalkan kami berdua. Ria dan aku segera membuka kotak tersebut dan mulai mencari catatan kelahiran yang dimaksud.

"Ini pasti ada di sini," bisik Ria. "Kita hanya perlu—"

Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Kulihat layar ponsel menunjukkan nama Peter.

Aku ragu-ragu sejenak sebelum menjawab panggilan itu. "Halo?"

"Clara, di mana kau?" suara Peter terdengar tegang. "Ayahku—"

"Tunggu, Peter," potongku. "Aku sedang—"

"Ayahku mengirim orang-orangnya untuk mencarimu. Mereka mungkin sudah tahu kau ada di rumah sakit ini. Kita harus segera—"

"Tunggu, aku akan ke sana."

Kubuat keputusan dalam sekejap. "Ria, aku harus pergi sekarang. Terus cari tanpa aku, oke?"

Ria tampak terkejut. "Tunggu, ke mana? Tapi aku—"

"Aku percaya padamu. Aku akan menghubungimu nanti." Aku berlari keluar dari ruangan, meninggalkan Ria yang masih berdiri dengan mulut ternganga.

Di luar, kulihat Peter sudah menunggu di dalam mobilnya. Aku segera masuk dan mobil melaju pergi.

"Ayahmu?" tanyaku.

Peter mengangguk. "Dia marah karena aku menentang keputusannya. Dia mengirim orang-orangnya untuk—"

"Aku tahu. Mereka mungkin sudah tahu aku ada di rumah sakit. Tapi Ria masih di sana. Apakah dia aman?"

Peter menepuk pahanya. "Tenang saja. Tidak ada yang akan menyentuhnya. Lagipula, dia bisa menjaga dirinya sendiri."

Aku menelan ludah, merasa tidak enak meninggalkan Ria sendiri di rumah sakit itu. "Apa yang akan ayahmu lakukan padaku?"

Peter memandangku dengan ekspresi serius. "Aku tidak tahu. Tapi kita tidak bisa tinggal di rumah untuk mencari tahu. Kita harus pergi, setidaknya untuk sementara waktu sampai suasana menjadi lebih tenang."

"Kau sudah merencanakan semuanya, ya?"

"Tentu saja. Aku selalu punya rencana cadangan." Peter tersenyum padaku, mencoba menghibur. "Jangan khawatir, Clara. Semua akan baik-baik saja."

Aku mencoba untuk tersenyum kembali, meskipun hatiku masih khawatir akan keselamatan Ria dan nasibku sendiri. "Jadi, ke mana kita akan pergi?"

"Kita akan pergi ke sebuah kabin di pegunungan. Tempat itu milik keluarga kami dan cukup terpencil. Tidak ada yang akan menemukan kita di sana."

Mobil melaju melewati jalan-jalan kota, menjauh dari rumah sakit dan Ria. Hatiku merasa berat meninggalkan temanku itu sendiri, tetapi aku tahu Ria bisa mengurus dirinya sendiri. Lagipula, aku tidak punya pilihan selain percaya pada Peter saat ini.

"Kita hampir sampai," kata Peter, memecah keheningan di antara kami. "Aku harap kau tidak keberatan tinggal di tempat yang sederhana. Kabin itu cukup nyaman, meskipun tidak se豪华 seperti rumahmu."

Aku tersenyum sinis. "Rumahku? Itu bukan rumahku, Peter. Aku bahkan tidak tahu siapa orang tuaku."

Peter menepuk dahinya. "Maaf, aku lupa. Tapi kau mengerti maksudku, kan?"

Aku mengangguk, tidak ingin membahas topik orang tuaku lagi. "Aku mengerti. Terima kasih sudah membantu aku melarikan diri dari ayahmu dan orang-orangnya."

"Itu tugasku sebagai temanmu, bukan?" Peter mencoba tersenyum, tetapi ekspresinya penuh kekhawatiran. "Kita hampir sampai. Bersiaplah untuk—"

Tiba-tiba, sebuah mobil muncul dari tikungan jalan dan melaju langsung menuju kami. Peter berusaha menghindari tabrakan, tetapi terlambat. Ada suara benturan logam yang keras dan mobil kami berputar keluar kendali.

"Peter!" teriakku.

Kami berdua terguncang saat mobil berhenti di tepi jalan. Aku mencoba membuka sabuk pengamanku, tetapi pintu mobil terjepit dan tidak bisa dibuka.

"Kau tidak apa-apa?" suara Peter terdengar dari depan.

"Aku baik-baik saja," jawabku. "Kau?"

"Aku tidak terluka. Tapi mobil ini rusak parah." Peter mencoba membuka pintunya, tetapi pintu itu juga terjepit. "Kita harus keluar dari jendela."

Aku mengangguk, masih terengah-engah karena shock. "Baiklah."

Kami berdua memaksakan diri keluar melalui jendela mobil. Ketika aku berdiri di tepi jalan, kulihat mobil yang menabrak kami sudah pergi, meninggalkan kami di sini.

"Itu... itu mobil ayahku," kata Peter, tersedak. "Orang-orangnya sengaja—"

"Kita harus pergi dari sini," potongku. "Mungkin masih ada orang-orangnya di dekat sini."

Peter mengangguk, mengambil ponselnya dari saku. "Aku akan menghubungi seseorang untuk"

Tiba-tiba, ada suara tembakan. Peter tersungkur ke tanah, memegang lengannya yang terluka.

"Peter!" teriakku, berlari ke arahnya.

"Lari, Clara!" desaknya. "Mereka mencari—"

Ada suara tembakan lagi dan Peter terdiam. Aku berjongkok di sampingnya, tanganku menyentuh dadanya untuk mencari detak jantung. Tidak ada. Peter tidak bergerak.

Air mataku mengalir deras saat aku menyadari bahwa Peter tertembak. Hatiku terasa kosong dan tubuhku gemetar. Aku tidak bisa percaya ini terjadi. pada Peter .

Terdengar suara mobil mendekat. Aku tahu itu pasti orang-orang ayah Peter. Aku harus melarikan diri. Dengan sekuat tenaga, aku berdiri dan mulai berlari memasuki hutan di tepi jalan.

Suara tembakan kembali terdengar, beberapa peluru bersarang di pohon-pohon di sekitarku. Aku terus berlari, tanpa tujuan, hanya ingin menjauh dari orang-orang itu.

Tubuhku lelah dan pikiranku terganggu. Aku tidak tahu ke mana harus pergi atau apa yang harus kulakukan. Peter, satu-satunya temanku, terluka. Siapa yang bisa kuberi kepercayaan sekarang?

Dengan langkah yang tergagap, aku terus berjalan menembus semak-semak, menjauh dari jalan. Entah berapa lama aku berjalan, tetapi akhirnya aku sampai di sebuah lereng yang landai. Aku memutuskan untuk beristirahat sebentar, duduk di bawah pohon besar sambil mencoba mengatur napasku.

Tiba-tiba, aku mendengar suara di semak-semak di depanku. Seseorang ada di sana. Aku harus bersembunyi. Dengan hati-hati, aku merayap menjauh dari pohon besar itu, menuju semak-semak yang lebih rapat.

Kulihat seorang pria keluar dari semak-semak. Ia memakai pakaian hitam dan membawa pistol di tangannya. Pria itu berdiri tegak, memandang ke arah jalan seolah mencari sesuatu.

Aku harus sangat berhati-hati. Aku merayap lebih jauh ke dalam semak-semak, menjauh dari pria itu. Namun, ketika aku mencoba bergerak, sebuah ranting kering di bawahku patah, menimbulkan suara yang cukup keras.

Pria itu menoleh ke arahku, matanya melebar saat melihatku. "Kau!"

Aku langsung berdiri dan berlari sekuat tenaga, menjauh dari pria itu. Aku mendengar suara langkah di belakangku, diikuti oleh suara tembakan. Aku terus berlari, bahkan ketika napasku mulai tersengal-sengal.

Tiba-tiba, kakiku tersandung akar pohon dan aku jatuh ke tanah. Sebelum aku bisa berdiri, pria itu sudah di atasku, pistolnya diarahkan ke kepalaku.

Aku memejamkan mata, merasa ini adalah akhir dari segalanya. Tetapi, suara tembakan yang kudengar bukanlah untukku. Pria itu tersungkur ke sampingku, darah mengalir dari dadanya.

Mataku terbelalak saat kulihat seorang pria berdiri di depanku, memegang pistol yang masih berasap. Pria itu memakai pakaian sederhana dan topi petani. Wajahnya terlihat tegas dan matanya penuh kemarahan.

"Kau baik-baik saja, Nona?" tanyanya.

Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya bisa mengangguk, masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

Pria itu membantu aku berdiri. "Ayahku melihat kau berlari ke hutan dan mengkhawatirkan keselamatanmu. Aku tidak tahu kau terlibat dalam urusan keluarga Peter."

"Urusan keluarga Peter?" tanyaku, bingung.

Pria itu mengangguk. "Aku minta maaf atas nama keluargaku. Peter dan ayahnya selalu bermasalah. Ayah Peter tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya."

Aku menggelengkan kepala, masih tidak percaya. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa."

"Kau tidak perlu berkata apa-apa," kata pria itu. "Kita harus pergi dari sini. Ayahku sudah menunggu di kabin dengan beberapa tetangga lainnya. Mereka siap membantu melindungi kau."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!