Kanesa Alfira, yang baru saja mengambil keputusan berani untuk mengundurkan diri dari Tano Group setelah enam tahun dedikasi dan kerja keras, merencanakan liburan sebagai penutup perjalanan kariernya. Dia memilih pulau Komodo sebagai destinasi selama dua minggu untuk mereguk kebebasan dan ketenangan. Namun, nasib seolah bermain-main dengannya ketika liburan tersebut justru mempertemukannya dengan mantan suami dan mantan bosnya, Refaldi Tano. Kejadian tak terduga mulai mewarnai masa liburannya, termasuk kabar mengejutkan tentang kehamilan yang mulai berkembang di rahimnya. Situasi semakin rumit dan kacau ketika Kanesa menyadari kenyataan pahit bahwa dia ternyata belum pernah bercerai secara resmi dengan Refaldi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jojo ans, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5
Setelah berdebat dengan pikiranku selama 2 hari penuh, akhirnya kuputuskan untuk pergi. Setidaknya aku menghargai undangan itu serta menghargai keluarga dari mantan suamiku. Biar bagaimanapun kami pernah hidup dalam satu-kesatuan.
Aku memakai Halter Dress berwarna navi yang dua hari lalu dikirimkan Gisha, sementara kakiku dibalut Ankle Strap Heels berwarna putih gading. Aku sibuk memasukan beberapa barang ke dalam sling bag sebelum
akhirnya ponselku berbunyi. "Mbak Nesa, jadi kan datangnya?"
Terdengar suara Gisha diseberan sana. Dari nada bicaranya aku dapat menebak bahwa perempuan itu panik kalau sampai aku tidak datang.
"Datang kok dek, mhak udah siap-siap mau keluar apartemen," balasku. "Oh ya udah. Gisha beneran panik, karena mikir kalau Mbak Nesa nggak datang."
"Tenang aja, 20 menit lagi Mbak sampai di sana." Setelah itu sambungan terputus dan aku bergegas berangkat ke hotel tempat pertunangan itu
dilangsungkan.
Sampai di hotel, satu hal yang ku sadari bahwa gaun yang kugunakan ternyata sama warna dengan yang sementara keluarga Tano kenakan, Dalam hati aku terus mengumpat dan menyesali ke datanganku di sini.
Aku nampak seperti perempuan tidak tahu malu yang seolah-olah masih mengharapkan tempat di dalam keluarga Tano. Rasanya aku ingin lari dari tempat ini dan pergi menguburkan diri. "Nes, kamu datang?"
Dari arah kiri, ku lihat Mami Deasy mulai menghampiriku. Ingin menghindar namun sudah tidak bisa dan dapat dipastikan setelah ini aku
pasti terjebak dengan keluarga Tano. "Eh lya Tante," sahurku. Ku lihat Mami Deasy mendelik tidak suka.
"Udah sombong ya sekarang. panggilannya malah Tante," cibirnya.
Aku menatap dengan tidak enak hati.
"Nggak enak panggil Mami, sementara
aku bukan lagi menantu keluarga
Tano," balasku jujur.
"Nggak, pokoknya tetap panggil Mami."
Mami Deasy tetap berkeras hati memaksaku memanggilnya dengan
sebutan yang dia inginkan. Sementara
akhirnya aku memilih lebih baik
mengalah dari pada persoalannya
semakin panjang.
"Iya deh Mi," balasku.
"Eh Nesa," teriak beberapa ibu-ibu yang kutahu adalah teman arisan Mami "Halo tante-tante."
"Setelah cerai tambah cantik ya," goda salah satu dari mereka. "Kalau belum punya pengganti Adi, hubungin tante ya. Tante slap kok jadi
calon mertua kamu," goda yang lain
dan kali ini aku ikut tertawa.
Mereka ini bisa saja ya, menggodaku
seperti itu bahkan di depan mantan mertuaku segala. "Nggak bisa, Nesa tidak bisa jadi menantu kalian," teriak Mami tidak terima.
Entah kenapa sekarang aku merasa
sangat bangga diperebutkan para
emak. Sejujurnya aku sendiri
menyadari akan potensiku untuk
menjadi calon menantu idaman. Bukan hangga tapi karena nyatanya seperti itu, balıkan saat aku masih berstatus menantu keluarga Tano, ada beberapa ibu-ibu yang menawarkanku untuk menjadi menantu kedua
mereka. Aneh memang.
"Widih posesifnya, padahal udah
bukan menantu Lho Des," timpal
seorang ibu dengan tubuh sedikit berisi Sementara mami terlihat tidak peduli dengan ejekan itu. Wanita itu malah
menyeretku mendekati Gisha dan
Daru. "Benar kata mami kan, kalau Mbakmu bakalan datang," pamer Mami di depan Gisha sementara aku hanya
tersenyum canggung.
"Mbak Nes."
Gisha langsung menghambur dalam
pelukanku. Aku lupa kapan terakhir kami bertemu, kayaknya sebulan yang lalu.
Setelah berbincang-bincang beberapa
saat, aku pamit sebentar untuk
mengambil minum.
"Nes, kamu datang?"
Tiba-tiba kurasakan tepukan di
pundakku, ternyata Mas Gibran.
"Ya, memenuhi undangan," jawabku
sekenanya.
"Menuhin undangan sekalian silaturahmi dengan keluarga mantan suami, iya nggak Mhak Nes," seru Deon
yang berada tepat di belakang Mas
Gibran
Bocah satu ini, mulutnya ingin sekali
kujahit.
"Jangan gitu Yon, mbak Nesa tuh datang sembari mengatakan pada dunia bahwa dia sudah move on," sahut Gina. "Betul sekali Gin," imbuhku dengan
senyum merekah.
Setidaknya Gina tidak ikut meledekku.
Pesta berlangsung meriah, saat ini
sedang dansa pasangan. Aku menjauh
dari sana setelah menyadari bahwa
aku tidak memiliki pasangan. Oh lebih
tepatnya aku janda tanpa anak
Ngomong-ngomong tentang anak,
pernikahan 2 tahunku bersama Mas
Adi, sudah pernah menghasilkan
bayi dalam rahimku. Namun hanya
bertahan selama 5 minggu, aku
keguguran, sehari setelah aku tahu
tentang perselingkuhan Mas Adi
dengan sekretarisnya.
Ah sudahlah, membicarakan hal itu
membuatku seakan membuka luka
lama.
Aku berdiri di dekat balkon hotel
sembari memegang gelas berisi es
madu lemon.
"Aku pikir kamu nggak bakalan
datang," sahut seseorang yang
suaranya sudah sangat ku kenal
"Saya menghargai orang yang
mengundang saya," balasku tanpa
menoleh.
Sejujurnya aku merasa lega karena
setelah dari malam tidur bersama itu
Mas Adi sudah tidak lagi merecoki
kehidupanku, termasuk hal biasa yang
dia lalukan seperti mengirimiku pesan
setiap hari.
Lelaki itu seolah menepati janjinya
untuk tidak mengangguku lagi.
"Ya, Aku tahu," balas Mas Adi dengan
nada yang cenderung datar.
Tak lama berselang aku pamit dari
hadapannya, melangkah mendekati
Gisha dan Daru untuk berpamitan
pulang. Gisha ingin menahanku lebih
lama namun aku beralasan besok
penerbanganku untuk pergi liburan
adalah pagi hari dan aku sama sekali
belum packing.
"Mbak pamit pulang ya Gis, Daru.
Mbak mau pamit sama mami dan papi
tapi mereka lagi sibuk dengan tamu.
deh kayaknya."
"Ya udah, sering-sering datang ke
rumah ya Mbak."
Ada nada sedih yang terselip
dalam ucapan Gisha, aku mengerti
perasaannya.
"Tya, tenang aja," balasku ragu.
Padahal setelah ini aku berencana
untuk tidak lagi kontak dengan
keluarga Tano. Namun aku tidak dapat
menjamin ke depannya.
Setelah itu aku benar-benar keluar
dari hotel, menuju mobilku yang
sementara terparkir di ujung sana.
"Kamu nyetir sendiri?"
Aku hampir mengumpat karena
terkejut dengan suara itu.
"Iya," balasku kesal.
Mas Adi ini memang kayak hantu, di
mana-mana ada dan muncul tiba-tiba.
"Aku antar sampai di mobil kamu,"
ucapnya.
Sementara aku hanya mengangkat
kening bingung. Ada apa dengan
sikapnya itu? Aku bukanlah orang
yang buta arah, lagipula dari jarakku
sekarang sampai di mohil hanya
sekitar 50 meter. Akan sangat aneh
kalau sampai dia datang menemani.
"Nggak usah Pak." tolakku.
"Aku udah bukan bos kamu dan
Akujuga bukan bapak kamu,"
koreksinya.
Aku langsung mendengus ketika
mendengarnya.
"Terserahlah," teriakku kesal,
Aku tak ingin memulai perdebatan.
Setelahnya aku melangkah cepat,
berharap segera sampai di mobil dan
pergi dari sini serta terbebas dari
orang gila ini.
"Nyetirnya jangan ngebut," titahnya.
Aku memutar bola mata malas.
"Udah tahu saya pak."
Aku semakin gondok saat lelaki itu tak
jua bergerak dari posisinya sementara
Aku harus memundurkan mobil.
Aku membunyikan klakson mobil,
berharap agar dia segera menghindar.
Diklason beberapa kali, dia masih tetap
kukuh untuk berdiri di sana
"Pak, minggir dong saya mau undur,"
pintahku sembari membuka pintu
depan mohil.
"Kamu ada yang ketinggalan," serunya.
sembari mengangkat jepit putih aksen
bunga yang harusnya berada di atas
kepalaku.
Dengan sangat gondok aku keluar
menghampirinya namun bukannya
memberikan jepitan itu, Mas Adi
malah menjepit poni rambutku yang
sudah menjuntai.
"Selamat Malam Fira," bisiknya.
Sementara aku hanya terdiam bahkan
setelah lelaki itu melangkah pergi. Mas
Adi sudah gila?
Lelaki sinting itu malah mendaratkan
bibirnya di atas keningku.
Coba kalian jelaskan apa yang
sebenarnya terjadi tadi?