Berangkat dari cinta manis di SMA, Daris dan Felicia duduk bersanding di pelaminan.
Perkawinan mereka hanya seumur jagung. Felicia merasa tertipu dengan status sosial Daris. Padahal Daris tidak pernah menipunya.
Dapatkah cinta mengalahkan kasta, sementara berbagai peristiwa menggiring mereka untuk menghapus jejak masa lalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon grandpa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Bidadari Surga
Daddy marah besar. Ia ingin menyeret kawan-kawan Daris ke meja hijau karena telah menyebar kebohongan sehingga puterinya terperdaya.
"Apa yang didapat setelah mereka masuk penjara?" pandang Felicia tanpa semangat. "Kepuasan? Demi kepuasan Daddy rela mempertaruhkan kehormatan diriku?"
Daddy terduduk kaku. Ia tak kuasa meluapkan amarah kepada puterinya. Perkawinan itu terjadi karena kecerobohannya juga.
Sebagai orang tua, ia terlalu gampang menyetujui pilihan puterinya sehingga menimbulkan kesulitan besar.
Menyeret mereka ke meja hijau adalah langkah terbaik, tetapi menjadi jalan terburuk bagi puterinya.
"Lalu bagaimana sikapmu selanjutnya?" tanya Daddy mencoba memadamkan api di hatinya. "Mereka keenakan kalau dibiarkan."
"Aku akan membuat mereka merasakan apa yang kurasakan, kehancuran harga diri."
"Aku tidak mau puteriku memelihara dendam," kata Daddy kelu. "Kau akan kehilangan waktu untuk mengurus perusahaan."
"Aku bukan bidadari surga yang mempunyai keagungan semata," sahut Felicia sesak. "Aku bisa sakit hati, dendam, dan benci."
Ia tidak tahu bagaimana membalas penghinaan mereka tanpa rasa dendam. Mereka perlu dikasih pelajaran supaya jera bermain-main dengan kehidupan.
Bunda mengingatkan, "Aku harap sekedar memberi pelajaran, sampai mereka sadar bahwa kekonyolan mereka sudah menghancurkan kehidupan seseorang."
Felicia mendesah jemu. Ia malas mendengar khotbah moral. Mereka bukan lagi bercerita tentang bawang merah dan bawang putih.
"Jangan sampai perasaan dendam menjadi penyakit di hatimu. Kau akan semakin hancur karenanya."
"Mereka sudah bermain-main denganku," geram Felicia bergelora. "Aku pun bisa bermain-main dengan mereka."
Daddy mendukung. "Aku setuju. Kita bermain-main dengan mereka."
Bunda tampak kuatir. Sekali suaminya bermain-main, maka mereka akan menderita seumur hidup.
"Permainan itu kita mulai setelah liburan keliling Eropa. Kau jadi berangkat kan?"
"Aku sudah mengagendakan perjalanan itu," sahut Felicia. "Bedanya sekarang aku mengawal orang tuaku merayakan perkawinan perak yang tertunda."
"Sebelumnya kita mampir di Venezia. Kau masih ingat Richardo Oliveira?"
"Mantan istrinya kemarin datang ke pestaku."
Pria berkebangsaan Italia itu mempunyai putera mirip sekali dengan suaminya. Nama depannya juga sama, Daris Richardo. Beberapa tamu mengira ia menikah dengannya.
Kalau Daris Richardo benar-benar pengusaha soto mie yang sukses. Ia bekerja sama dengan pengusaha tanah air untuk membuka cabang di Eropa.
"Daddy menginginkan diriku menjajaki hubungan dengan anaknya?"
"Aku tidak menginginkan dirimu secepat itu menjajaki hubungan, tapi kau bisa pergi bersamanya selama liburan di Eropa."
Felicia tahu apa maksud ayahnya. Mereka bisa berfoto bersama di kota-kota romantis dan publik pasti mengira ia pergi bulan madu dengan suaminya. Sebuah pencitraan sempurna.
"Daris Richardo tahu kalau aku sudah menikah?" tanya Felicia.
"Aku kira Venezia terlalu jauh untuk mengetahui kabarmu. Lagi pula pernikahanmu diselenggarakan secara eksklusif. Tapi apa bedanya?"
"Daris Richardo adalah teman sekelasku waktu di SMP Internasional."
Setelah lulus SMP, Daris Richardo tinggal di Venezia. Perceraian orang tua membuatnya harus memilih.
"Daris Richardo pasti tahu karena ibunya tinggal di Jakarta," kata Bunda. "Meski sudah berpisah, mereka tetap menjalin komunikasi dengan baik."
"Lalu apa pengaruhnya bagi anak kita? Aku kira ibunya takkan bercerita hal yang tidak perlu kepada Daris Richardo. Ibunya bahkan no coment ketika tamu menganggap pengantin pria adalah puteranya."
Bagi Felicia sangat penting mengetahui status Daris Richardo, sebab dengan itu ia masuk ke dalam kehidupannya meski sekedar teman liburan.
Felicia ingin liburan ke Eropa menjadi drama sempurna di mata publik. Mereka pasti heboh kalau tahu dirinya kehilangan suami dalam tiga hari.
Ia trauma dengan perkawinan kilat ini. Bahtera rumah tangga yang dibangun dengan tiang cinta mendadak roboh karena fondasi sangat rapuh.
"Aku tidak mungkin membatalkan cuti," kata Felicia. "Aku lebih suka pegawai berfantasi dengan keromantisan bulan maduku. Hadiah pun tetap dikeluarkan sebagai bentuk kebahagiaan sang CEO."
Beberapa ucapan selamat masih masuk ke gawainya. Mereka tidak sempat hadir karena ada perjalanan bisnis ke luar negeri.
"Aku sedih banget nggak bisa hadir," bunyi chat dari teman SMP di Bangkok. "Jadi married juga sama Daris Richardo. Selamat ya."
Felicia membalas dengan ceria sebagaimana umumnya pengantin baru, dan berterima kasih atas bingkisan yang dikirim.
"Jangan mellow deh. Yang penting kadonya sampai. Thanks ya."
Padahal semua kado sudah dimusnahkan sehari setelah pengusiran Daris.
Felicia sendiri mengawasi pemusnahan itu untuk memastikan tidak ada kado terlewat.
Felicia tidak menyesal sedikit pun walau kehilangan kado bernilai miliaran rupiah.
Felicia ingin menghilangkan semua kenangan tentang kemeriahan pesta perkawinan, satu pun tidak boleh ada yang tersisa.
"Mau dibawa ke mana foto-foto itu?" tanya Felicia kepada pelayan wanita yang membawa beberapa figura foto dari kamarnya.
"Ditaruh di gudang," jawab pelayan berusia sebaya dengannya.
"Siapa yang menyuruhmu menaruh di gudang?" delik Felicia geram.
"Kan Nyonya Muda ..."
"Jangan panggil aku Nyonya Muda!" bentak Felicia marah. "Kasih tahu yang lain!"
"Baik, saya salah." Pelayan itu gemetar ketakutan. Sejak melepas masa lajang, majikannya ini sering sekali mencak-mencak seolah besok mau kiamat. "Kan Tuan Puteri yang suruh membuangnya dari kamar."
"Tapi aku tidak menyuruh kamu menyimpan di gudang!" sergah Felicia sengit. "Hancurkan foto itu dengan mesin penghancur, lalu bakar, dan abunya buang ke sungai di belakang mansion!"
Felicia ingin menghapus jejak Daris sampai abunya pun tidak boleh tinggal di areal mansion!
Para pelayan bingung, entah kenapa majikan mudanya demikian murka. Mereka tidak tahu kejadiannya secara persis dan tidak berani bertanya kepada sesama pelayan. Mulut mereka terkunci rapat.
Mereka merasa kehilangan sosok majikan yang ramah dan perhatian seperti dulu. Mereka jadi tidak nyaman bekerja.
Bunda sampai turun tangan untuk mengatasi situasi ini.
"Jangan semua orang jadi menyebalkan di matamu," nasehat Bunda lembut. "Mereka tidak tahu apa-apa."
"Aku muak diperintah segitu saja nggak becus," gerutu Felicia ketus. "Terus mereka bisanya apa? Terima gaji doang?"
Bunda tersenyum sabar. "Kau menginginkan rahasiamu terjaga, tapi kau tunjukkan dengan perubahan sikapmu. Kalau kau bersikap demikian pada semua orang, mereka pasti curiga."
Felicia mengakui sekarang dirinya sering lepas kendali. Melihat kesalahan kecil saja, emosinya meledak-ledak, padahal bukan sifatnya.
Perkawinan kilat itu menimbulkan banyak masalah baginya!
"Kalau sulit mengendalikan diri, kau bisa minta bantuan ibumu," ujar Bunda. "Aku akan memerintahkan mereka sesuai keinginanmu."
"Aku tidak tahu kenapa diriku jadi begini," keluh Felicia. "Tiba-tiba saja aku kehilangan kepribadianku."
Bunda membelai rambut puterinya dengan lembut. "Persoalan ini terlalu berat bagimu. Kau cukup mendengar apa kata hatimu."
"Maksud Bunda?"
"Kau butuh liburan untuk mencari jawaban. Melepaskan diri sejenak dari rutinitas. Manakala pikiranmu sudah jernih, di situ kau akan menemukan jawaban terbaik."
"Kejadian ini membuat aku syok. Sampai-sampai aku kehilangan arah untuk menentukan sikap."
"Aku tahu," sahut Bunda halus. "Kau menaruh banyak mimpi pada Daris. Ketika suamimu ternyata memiliki sedikit mimpi, kau sulit menerima kenyataan. Terjadi konflik antara cinta, tahta dan harta, padahal mereka tidak bisa saling meniadakan."
"Yang tertinggal di hatiku hanyalah luka terdalam."
"Karena separuh hatimu untuk Daris, kau harus mengobati lukamu dengan sosok pengganti yang tepat."
"Daris Richardo?"