Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Rahasia
Minggu pagi, kami bertiga pergi mengunjungi Eyang. Kebetulan semua anggota keluarga lengkap berkumpul di sana. Aku, Riko, dan Aksa. Eyang putri dan eyang kakung. Ada Ria, suami dan anaknya. Juga ada Ima dan suaminya. Mereka semua berkumpul di rumah Eyang.
Sudah menjadi tradisi keluarga Riko, setiap hari, terlebih lagi hari minggu, pasti selalu makan besar. Keluarga Riko tergolong keluarga yang senang memanjakan lidah. Hampir setiap minggu pergi ke mall untuk berbelanja dan makan di restaurant. Aku sempat berpikir, sekaya apa eyang putri dan eyang kakung. Kalau melihat dari rumah dan kendaraan yang dimilikinya, menurutku biasa saja. Bukan rumah mewah dengan perabotan modern dan canggih. Tetapi, jika melihat gaya hidup dan pola makan sehari-hari, sepertinya melebihi teman-teman kantorku dulu.
Minggu ini, mereka semua lebih memilih untuk berkumpul di rumah. Katanya sih Eyang Kakung capek, baru pulang dari Kalimantan. Sepertinya, kondisi kesehatan beliau juga kurang baik. Maklumlah, usianya sudah 64 tahun. Benar kata eyang putri, tahun depan eyang kakung pensiun. Jika dipikir-pikir, eyang kakung cukup kuat fisiknya. Bekerja puluhan tahun keliling luar negeri, baru beberapa tahun belakangan ia kerja di Indonesia. Pekerjaan dan posisinya sebagai kepala proyek di bidang pertambangan, tentu menghasilkan pundi-pundi yang sangat berlimpah. Yang aku heran, ke mana uang yang dihasilkan, sepanjang pengetahuanku, keluarga ini tidak memiliki asset lain selain rumah dan kendaraan. Mungkin saja, eyang kakung memiliki saham di beberapa perusahaan.
Berbagai macam makanan dan kudapan tersedia di meja makan. Semua orang sibuk mengunyah sambil berbincang. Eyang kakung sibuk juga dengan laptop kesayangannya. Sedangkan Riko dan eyang putri, tampak sedang berbisik-bisik di teras depan. Aku membawakan segelas kopi untuk Riko. tiba-tiba langkahku terhenti sebelum pintu menuju teras.
“Dari mana uangnya, Mas? Bapakmu sudah mau pensiun. Aku juga sudah tidak punya uang lebih. Cicilan ke Bank bekas pinjaman sewa ruko dan cicilan bekas rumah juga harus dibayar sama aku, kan?”
“Lah! Gimana sih Yangti! Terus saya gimana?”
“Ya kurangin lah karyawanmu. Biar ibumu ini tidak terlalu berat.”
Cicilan? Pinjaman? Apalagi yang tidak kuketahui dari Riko. Aku bergegas menghampiri mereka berdua. Ada wajah kaget di sana. Kuletakkan kopi di atas meja rotan yang merintangi dua kursi antara Eyang dan Riko. Riko kemudian berdiri, mempersilakan aku duduk.
“Ada apa Mas?” Tanyaku
“Gini loh Na … “ eyang menimpali sambil melirik Riko.
“Sebenarnya, selama ini Yangti sudah lelah harus menutupi kebutuhan Riko.” Eyang menjelaskan sambil terbata-bata menahan tangisnya.
“Eyang kakung itu gak tau apa-apa. Riko punya utang ke Bank bekas pinjaman sewa ruko. Satu lagi, sertifikat rumah yang kalian tinggali juga digadaikan ke Bank, bekas pinjaman modal untuk usaha Riko.”
“Loh! Itu kan Yangti yang pinjam!” Riko membantah
“Ya tapi kan kamu yang pakai. Namanya juga nama kamu, aku cuma ambil sepuluh juta. Ambilnya sedikit, tapi aku yang bayar angsurannya setiap bulan.”
“Memang berapa angsurannya Eyang?” Tanyaku sambil berusaha untuk tenang.
“Sepuluh juta! Itu dari dua Bank. Jangan sampai Eyang Kakung tahu ya,” isak eyang setengah memohon.
“Astagfirullah! Besar amat Eyang. Terus pinjamannya berapa?” Tanyaku lagi.
“Semuanya tiga ratus juta. Masih sisa lima tahun lagi.”
Aku menantap wajah Riko. Dia terlihat kesal dan malu. Mungkin ini rahasia Riko yang ia sembunyikan sebelum pernikahan. Sebenarnya, bukan hanya Riko yang menyembunyikan, keluarganya pun terkesan menutupi semua tingkah laku Riko. Aku menarik napas panjang. Tidak mengerti harus bagaimana, sekaligus ingin membantu kondisi yang sudah terlanjur harus aku terima. Apalagi kondisiku sedang hamil. Susah senang semua harus aku hadapi. Meskipun sebenarnya aku merasa tertipu dengan kata-katanya di masa lalu.
“Bagaimana kalau gini aja, rumah yang kami tinggali, dikontrakan saja. Lumayan buat nambah cicilan ke Bank.” Tiba-tiba terlintas ide tersebut dari benakku.
“Terus kita tinggal di mana?” tanya Riko dengan sedikit membentak.
“Ya kalian tinggal di sini saja. Masih banyak kamar kosong di atas. Aksa juga bisa tinggal di sini kan. Kalau mau sekolah gampang, tinggal antar jemput sopir atau Riko. Apalagi kamu lagi hamil kan, biar terurus di sini sama aku.” Mata eyang putri berbinar menjelaskan solusi dari permasalahan kami. Setidaknya uang kontrakan bisa digunakan untuk cicilan selama enam bulan.
“Kamu stop saja karyawan yang dua orang. Satu karyawan cukup Mas Riko. Eyang juga capek mikirin gaji sama makannya!” Eyang menambahkan ucapannya.
“Nanti saya capek dong kalau cuma satu karyawan!” kata Riko sambil merungut kesal.
“Ya sabarlah, Mas. Kan gak tiap hari juga kamu ramai konsumen.” Jawab eyang putri.
Pembicaraan kami terhenti karena Ria memanggil untuk foto keluarga. Padahal hari ini tidak ada perayaan ulang tahun atau lebaran. Keluarga ini senang sekali berfoto dan memamerkannya kepada keluarga atau sosial media. Terlebih lagi eyang kakung, terlihat bangga jika semua anggota keluarga bisa berkumpul dan berfoto bersama.
Rasa kehilangan respek muncul di dadaku. Hari ini, aku melihat Riko begitu kecil, manja dan kekanak-kanakan. Jangankan ingin membahagiakan orangtua, untuk berhenti memintapun rasanya sulit dilakukan oleh Riko. Aku mulai berpikir, dari mana aku bisa mendapatkan uang tambahan untuk biaya anak dan ibukku. Sebab untuk berharap dari Riko, tidak mungkin kulakukan dengan kondisinya seperti ini. Aku sudah dapat mengukur berapa penghasilan Riko. Ternyata usahanya hanya sekadar status. Sewa ruko, gaji karyawan, makan, listrik, bensin, semuanya dari Eyang Putri. Jadi, usaha Riko selama ini hanya membuang-buang uang.
Sepertinya, Eyang Kakung memang benar-benar tidak tahu soal utang-utang Riko ke Bank. Ia terlihat santai dan masih leluasa merencanakan liburan keluarga. Ima pun sepertinya tidak tahu apa-apa. Hanya Ria yang sudah paham. Pantas saja, sedari tadi, Ria membiarkan kami berbincang cukup lama di luar.
Setibanya di rumah, kulontarkan lagi beberapa pertanyaan. Kami berdebat cukup panjang. Akhirnya ia memutuskan untuk memberhentikan Doni dan sopir. Tersisa karyawan satu orang di ruko untuk membantu Riko. Bagiku yang sudah terlanjur hamil ini, tidak mungkin mengambil keputusan ekstrim untuk pernikahanku. Bayi ini harus memiliki ayah. Siapa tahu, suatu hari Riko berubah.
Ada sedikit rasa lega karena Doni sudah berhenti. Setidaknya, aku tidak akan memikirkan mantannya Riko. Satu masalah selesai. Kami harus bersiap pindah. Besok pagi, aku akan pergi ke pos satpam. Berencana untuk minta tolong, siapa tahu ada yang sedang mencari kontrakan rumah.
Aksa sudah terlelap dengan wajahnya yang tenang. Di kamar yang lebih mirip gudang itu, aku masih bertanya-tanya dalam hati. Salahkah keputusanku menikah dengan Riko? seberapa lama aku bisa bertahan dengan kebohongan dan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan? Sebuah pesan tiba-tiba berbunyi.
Cin, apa kabar? Kamu sehat? Gimana Aksa?