Menceritakan perkembangan zaman teknologi cangih yang memberikan dampak negatif dan positif. Teknologi Ai yang seiring berjalannya waktu mengendalikan manusia, ini membuat se isi kota gelisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RAIDA_AI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terkepungg!
Langit Neo-Jakarta berubah menjadi gelap saat malam mulai menyelimuti kota. Meski kota itu tampak tenang di permukaan, di bawah lapisan realitas yang terlihat, sesuatu yang lebih besar dan lebih berbahaya sedang bergerak. Kai dan kelompoknya kini menjadi buronan. Setelah berhasil meretas sebagian sistem Atlas, mereka tahu waktu untuk menyerang berikutnya sudah dekat.
Kai, Renata, Arka, dan Mila bersembunyi di sebuah gudang tua di pinggiran kota, berusaha menyusun strategi serangan selanjutnya. Gudang itu penuh dengan barang-barang bekas dan reruntuhan, memberikan mereka perlindungan dari drone-drone patroli Atlas yang kini semakin sering berputar di udara.
Kai berdiri di dekat jendela kecil, memandang keluar. Cahaya lampu drone tampak berkilauan di kejauhan, dan suara dengungan mesin terdengar samar di udara malam yang sepi.
“Gue udah nyebar pesan ke jaringan bawah tanah,” kata Mila, yang duduk di sudut ruangan dengan perangkat komunikasinya. “Kabar tentang peretasan kita udah nyampe ke banyak orang. Mereka sekarang tau kalau Atlas nggak sekuat yang mereka kira.”
“Bagus,” jawab Kai sambil mengangguk pelan. “Tapi kita nggak bisa berhenti di sini. Kita perlu lebih dari sekadar dukungan moral. Kita butuh aksi nyata dari mereka.”
Renata mendekati meja tempat Arka sedang memeriksa beberapa alat. “Atlas bakal segera memperbaiki sistem mereka. Lo yakin kita masih punya waktu?”
Arka, yang fokus pada layar kecil di depannya, hanya mengangkat bahu. “Kita nggak punya banyak waktu. Kalau kita nggak bertindak cepat, kesempatan buat menyerang bakal hilang. Dan kali ini, mereka pasti bakal lebih siap.”
Kai berjalan mendekati mereka, menatap layar di tangan Arka. “Jadi, apa rencana selanjutnya?”
Arka menghela napas panjang sebelum menjelaskan. “Kita udah berhasil menonaktifkan sebagian besar drone patroli selama beberapa jam, tapi itu nggak akan berlangsung lama. Tujuan kita sekarang adalah mengakses sistem pusat kendali utama Atlas—jantung dari semua operasi mereka. Dari sana, kita bisa mematikan semua kontrol mereka terhadap kota.”
“Gimana kita bisa masuk ke pusat kendali itu?” tanya Renata dengan nada skeptis.
Arka tersenyum tipis. “Gue punya peta struktur bawah tanah yang digunakan oleh Atlas buat menyimpan server mereka. Kita bisa masuk lewat jalur itu, tapi bakal butuh waktu buat menavigasi semua lorong dan sistem keamanannya.”
Kai mengangguk, berpikir keras. “Kalau begitu, kita harus bergerak sekarang. Semakin lama kita nunggu, semakin sedikit kesempatan kita.”
“Gue setuju,” Mila menambahkan. “Semua orang yang ada di luar sana ngarepin kita buat nyerang lagi. Kalau kita bisa matiin pusat kendali mereka, itu bakal jadi pukulan telak buat Atlas.”
Kai menarik napas dalam. “Oke, kita lakukan ini. Ayo bergerak.”
---
Beberapa jam kemudian, kelompok kecil itu bergerak di sepanjang terowongan bawah tanah, berusaha menuju pusat kendali utama Atlas. Arka berada di depan, memegang tablet yang menampilkan peta digital jalur-jalur sempit dan lorong-lorong bawah tanah kota. Mereka harus hati-hati, karena meski sebagian besar drone telah dinonaktifkan, ada kemungkinan Atlas memiliki penjaga di lokasi yang lebih vital.
“Jalan ini harusnya langsung menuju server utama,” bisik Arka sambil melihat layar tablet di tangannya.
Mereka berjalan melewati lorong yang lembap dan gelap, hanya diterangi oleh lampu kecil di pergelangan tangan masing-masing. Suara langkah kaki mereka terdengar bergaung di sepanjang terowongan, menambah ketegangan yang mereka rasakan.
Renata, yang berjalan di belakang Arka, berusaha mendengarkan setiap suara yang mungkin menandakan bahaya. “Kita udah dekat, tapi gue nggak suka suasana ini. Terlalu sepi.”
“Atlas mungkin belum nyadar kita ada di sini,” jawab Kai pelan. “Atau mereka udah nunggu kita di ujung sana.”
Mila, yang biasanya lebih optimis, kali ini tampak lebih cemas. “Gue harap rencana ini berjalan mulus. Kalo gagal, kita nggak akan punya kesempatan kedua.”
Mereka terus berjalan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan mesin-mesin raksasa dan layar yang memantau berbagai aktivitas di seluruh kota. Di depan mereka berdiri server utama yang sangat besar, mengendalikan hampir semua sistem yang dikelola Atlas.
“Ini dia,” bisik Arka dengan kagum. “Pusat dari semua kekuatan mereka.”
Kai segera memberikan instruksi. “Oke, kita harus bergerak cepat. Arka, lo tangani sistem keamanan. Renata, pastikan kita tetap nggak terdeteksi. Mila, bantu gue jaga pintu masuk.”
Arka segera bekerja, menancapkan perangkat hacking-nya ke salah satu terminal di dekat server. Tangan-tangannya bergerak cepat di atas keyboard, sementara layar di depannya dipenuhi dengan kode-kode rumit.
Renata memeriksa sistem keamanan, memastikan mereka belum terlacak. “Sejauh ini aman, tapi gue nggak yakin berapa lama kita bisa bertahan.”
Sementara itu, Kai dan Mila berjaga di pintu masuk ruangan, memastikan tidak ada yang masuk tanpa mereka ketahui. Kai merasakan ketegangan yang terus meningkat di dalam dirinya. Ini adalah momen penentuan. Jika mereka berhasil, mereka akan mematikan Atlas untuk sementara waktu, memberikan kesempatan bagi perlawanan di seluruh kota untuk bergerak.
Namun, tiba-tiba suara alarm mulai berbunyi keras, menggetarkan seluruh ruangan.
“Sial! Mereka udah tahu kita di sini!” Renata berteriak sambil melihat layar yang kini dipenuhi dengan peringatan merah.
Arka berusaha keras menyelesaikan proses peretasan. “Gue cuma butuh beberapa detik lagi! Tahan dulu!”
Kai mengangkat senjatanya, bersiap menghadapi siapa pun yang datang. “Mila, siap-siap!”
Dalam hitungan detik, pintu masuk yang mereka jaga terbuka lebar, dan beberapa pasukan Atlas dengan senjata lengkap muncul, menyerbu ruangan dengan cepat.
“Serang!” teriak Kai, segera melepaskan tembakan ke arah musuh yang masuk. Mila juga ikut menembak, melindungi Arka yang masih berusaha menyelesaikan peretasannya.
Pasukan Atlas yang terlatih segera membalas tembakan, membuat suasana ruangan semakin kacau. “Kita nggak bisa lama-lama di sini!” teriak Renata sambil berlari mencari perlindungan.
Kai dan Mila terus menembak, menahan laju pasukan musuh yang semakin banyak. “Arka! Cepat!” teriak Kai, mulai merasa terdesak oleh jumlah musuh yang terus bertambah.
“Aku udah hampir selesai!” jawab Arka, matanya tak lepas dari layar.
Tiba-tiba, suara keras terdengar dari arah server. “Gue berhasil!” Arka berteriak dengan wajah lega. “Kita udah punya akses penuh ke sistem mereka!”
Namun, situasinya belum aman. Meskipun peretasan berhasil, pasukan Atlas terus berdatangan. “Kita harus keluar sekarang!” teriak Mila sambil melepaskan tembakan terakhirnya.
Kai segera memberi perintah. “Semua mundur! Kita keluar dari sini!”
Mereka semua bergerak mundur dengan cepat, berusaha mencari jalan keluar dari ruangan yang kini dipenuhi asap dan suara tembakan. Meskipun Arka berhasil menonaktifkan sebagian besar sistem Atlas, pertarungan fisik ini masih belum selesai.
Setelah berlari melewati beberapa lorong sempit, mereka akhirnya menemukan jalan keluar ke permukaan. Nafas mereka terengah-engah, dan keringat bercucuran di wajah masing-masing. Tapi setidaknya mereka berhasil keluar hidup-hidup.
“Gimana dengan sistem mereka?” tanya Kai sambil berusaha mengatur napasnya.
Arka tersenyum lelah. “Gue berhasil matiin sebagian besar jaringan mereka. Untuk sementara, Atlas kehilangan kontrol atas drone, pasukan robotik, dan sebagian besar sistem pengawasan mereka.”
Kai menatap ke langit malam, merasa lega meski hanya sebentar. “Kita berhasil.”
Namun, di dalam hatinya, dia tahu ini bukan akhir. Atlas mungkin terhenti untuk sementara waktu, tapi pertempuran sesungguhnya baru saja dimulai.
---
Di tempat lain, di dalam markas utama Atlas, seorang pria berdiri di depan layar besar yang menunjukkan kehancuran sebagian sistem mereka. Wajahnya datar, tapi matanya penuh kemarahan. Dia menekan sebuah tombol di perangkat di tangannya.
“Lacak mereka,” katanya dengan suara rendah. “Dan habisi mereka.” kata itu bergema diseluruh ruangan.
.
.
.