NovelToon NovelToon
Love Or Tears

Love Or Tears

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Putu Diah Anggreni

Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bingung

Rani terduduk lemas di tepi ranjang king size yang terasa asing, ponsel masih tergenggam erat di tangannya. Kamar mewah Adinda yang didominasi warna putih dan emas kini terasa seperti penjara. Aroma lavender dari pengharum ruangan otomatis tak mampu menenangkan hatinya yang kacau.

"Bima..." bisiknya parau, jemarinya gemetar menyentuh foto Bima di layar ponsel. "Apa yang terjadi pada kita?"

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal:

"Adinda, ini Felicia. Kita perlu bicara. Besok, jam 10 pagi di Rosewood Cafe. Penting."

Rani menggigit bibirnya, bimbang. Haruskah ia menemui Felicia? Tapi bagaimana dengan rapat yang disebutkan Dimas?

Suara ketukan di pintu mengejutkannya. "Nyonya Adinda?" suara lembut seorang wanita terdengar.

"Ya?" jawab Rani ragu-ragu.

Pintu terbuka perlahan, menampakkan sosok wanita paruh baya berseragam rapi. "Maaf mengganggu, Nyonya. Saya Bi Inah, kepala pelayan. Apa Nyonya butuh sesuatu sebelum tidur?"

Rani menatap wanita itu, tiba-tiba merasa sangat kesepian dan butuh teman bicara. "Bi Inah... boleh saya bertanya sesuatu?"

Bi Inah terlihat sedikit terkejut, tapi mengangguk sopan. "Tentu, Nyonya."

"Berapa lama Bibi bekerja di sini?"

"Hampir 20 tahun, Nyonya. Saya sudah bekerja untuk keluarga Tuan Dimas sejak beliau masih remaja."

Rani menelan ludah. "Kalau begitu... Bibi pasti tahu banyak tentang... tentang pernikahan saya dan Tuan Dimas?"

Bi Inah terdiam sejenak, matanya menatap Rani dengan sorot yang sulit diartikan. "Nyonya... bolehkah saya bicara terus terang?"

Rani mengangguk cepat. "Tentu, Bi. Tolong."

Bi Inah menghela napas panjang. "Sejujurnya, Nyonya... saya merasa ada yang berbeda dengan Anda akhir-akhir ini. Anda lebih... lembut. Lebih perhatian pada staf. Dan cara Anda menatap Tuan Dimas... berbeda."

"Berbeda bagaimana, Bi?" tanya Rani penasaran.

"Seperti... seperti Anda benar-benar mencintainya," Bi Inah tersenyum kecil. "Bukan seperti dulu, saat Anda hanya..."

"Hanya apa, Bi?" desak Rani.

Bi Inah terlihat ragu. "Maaf, Nyonya. Saya sudah bicara terlalu banyak. Saya permisi dulu."

"Tunggu, Bi!" Rani berdiri, menahan tangan Bi Inah. "Tolong, saya butuh tahu. Apa yang sebenarnya terjadi dalam pernikahan ini?"

Bi Inah menatap Rani lekat-lekat, seolah menimbang-nimbang. Akhirnya, ia berbisik pelan, "Nyonya, saya tidak tahu apa yang terjadi pada Anda. Tapi jika Anda butuh bantuan... saya akan selalu ada untuk Anda."

Dengan itu, Bi Inah undur diri, meninggalkan Rani dalam kebingungan yang semakin dalam.

Rani berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman belakang mansion. Lampu-lampu taman yang temaram menerangi kolam renang dan gazebo mewah. Semuanya terlihat sempurna, tapi terasa hampa.

"Apa yang harus kulakukan?" gumam Rani pada dirinya sendiri.

Ia melirik jam dinding mewah yang menunjukkan pukul 11 malam. Di suatu tempat di kota ini, Bima terbaring koma. Dan di sinilah ia, terjebak dalam kehidupan yang bukan miliknya.

Rani memejamkan mata, membiarkan air matanya jatuh. "Bima," bisiknya lirih. "Tunggu aku. Aku akan menemukanmu. Aku akan kembali."

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Rani terlonjak, cepat-cepat menghapus air matanya.

Dimas berdiri di ambang pintu, dasinya sudah dilonggarkan dan dua kancing teratas kemejanya terbuka. Aroma alkohol samar tercium dari napasnya.

"Kau belum tidur?" tanyanya, matanya menyipit curiga.

Rani menggeleng pelan. "Aku... aku masih belum mengantuk."

Dimas melangkah masuk, matanya menyapu sekeliling kamar seolah mencari sesuatu yang mencurigakan. "Apa yang kau lakukan?"

"Hanya... memikirkan hari ini," jawab Rani hati-hati.

Dimas mendengus. "Masih memikirkan obrolanmu dengan Felicia?"

Rani menelan ludah. "Tidak, aku hanya..."

"Dengar," Dimas memotong, suaranya rendah dan mengancam. Ia berjalan mendekat, membuat Rani secara refleks bergeser menjauh. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu akhir-akhir ini. Tapi ingat satu hal, Adinda. Kita punya perjanjian."

"A-aku tahu," Rani mengangguk cepat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila.

"Benarkah?" Dimas memiringkan kepalanya. "Karena tingkahmu hari ini membuatku ragu. Apa kau sedang merencanakan sesuatu di belakangku?"

"Tidak!" Rani menjawab cepat. "Aku hanya... sedang tidak enak badan. Sungguh."

Dimas menatapnya lekat selama beberapa saat yang terasa seperti selamanya. Suara gemericik air mancur di taman belakang terdengar samar-samar, memecah keheningan yang mencekam.

"Baiklah," akhirnya Dimas berkata. "Tapi ingat, besok kita ada rapat penting. Pastikan kau sudah 'sembuh' besok pagi."

Rani mengangguk. "Aku mengerti."

Dimas berbalik, hendak meninggalkan kamar. Namun sebelum menutup pintu, ia berhenti.

"Oh, dan Adinda?"

"Ya?" Rani menjawab pelan.

"Jangan coba-coba menghubungi siapa pun di luar sana," Dimas menatapnya tajam. "Terutama keluargamu. Ingat, mereka pikir kau sedang berlibur di Eropa."

Baik, saya akan melanjutkan cerita dari titik tersebut:

"Baiklah," akhirnya Dimas berkata. "Tapi ingat, besok kita ada rapat penting. Pastikan kau sudah 'sembuh' besok pagi."

Rani mengangguk. "Aku mengerti."

'Tapi aku bukan Adinda,' Rani ingin berteriak. Namun ia tahu, itu hanya akan membuatnya terdengar gila.

"Aku akan berusaha lebih baik lagi," Rani berjanji lemah.

Dimas menghela napas panjang. "Kau tahu betapa pentingnya rapat besok, kan? Kita akan bertemu dengan dewan direksi bank. Merger ini harus berhasil, atau semua yang kita lakukan selama ini akan sia-sia."

Rani mengangguk, meski ia tidak mengerti apa-apa tentang merger atau urusan bank. "Apa yang harus kulakukan di rapat besok?"

"Cukup duduk manis dan tersenyum," jawab Dimas. "Biarkan aku yang bicara. Oh, dan pastikan kau mengenakan setelan biru navy itu. Para pemegang saham menyukainya saat terakhir kali kau memakainya."

Rani mengangguk lagi, mencatat dalam hati untuk mencari setelan biru navy di lemari Adinda yang sebesar kamar tidurnya dulu.

"Aku mau mandi," Dimas beranjak ke kamar mandi. "Kau sebaiknya istirahat. Besok akan jadi hari yang panjang."

Setelah Dimas menghilang di balik pintu kamar mandi, Rani menghembuskan napas yang sedari tadi ditahannya. Ia berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman belakang mansion.

Bulan purnama bersinar terang, menyinari kolam renang Olympic-size yang airnya berkilau keperakan. Rani menatap pantulan wajahnya di kaca jendela. Wajah Adinda menatap balik, cantik namun asing.

"Siapa aku sebenarnya?" bisiknya pada bayangan di kaca. "Dan di mana Adinda yang asli?"

Tiba-tiba, sebuah pikiran menghantamnya. Jika ia ada di tubuh Adinda, mungkinkah Adinda ada di tubuhnya? Apakah saat ini Adinda sedang kebingungan dalam tubuh seorang guru TK?

Rani menggelengkan kepala, berusaha menjernihkan pikirannya. Ia harus fokus pada masalah di depan mata dulu. Besok ada rapat penting, dan ia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang dunia perbankan.

Dengan langkah gontai, Rani berjalan ke arah lemari besar di sudut kamar. Ia harus menemukan setelan biru navy itu, dan mungkin... mungkin juga mencari petunjuk tentang siapa Adinda sebenarnya.

Saat membuka lemari, matanya langsung tertumbuk pada sebuah kotak kecil tersembunyi di balik tumpukan tas branded. Dengan tangan gemetar, Rani meraih kotak itu.

Di dalamnya, ia menemukan sebuah diary dan beberapa lembar foto. Foto-foto itu menunjukkan Adinda dengan seorang pria yang bukan Dimas. Mereka terlihat bahagia dan... mesra.

"Apa ini?" Rani berbisik, jantungnya berdegup kencang. "Siapa pria ini?"

Suara shower dari kamar mandi menyadarkannya. Cepat-cepat Rani memasukkan kembali kotak itu ke tempat asalnya. Ia punya firasat, rahasia Adinda jauh lebih dalam dan berbahaya dari yang ia duga.

Malam itu, Rani berbaring di ranjang king size, pikirannya berkecamuk. Besok ia harus menghadapi rapat penting yang tidak ia mengerti. Dan sekarang, tambahan misteri baru tentang Adinda.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!