Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27 : ramon jadi tumbal pengalihan
Tama dan yang lainnya bersembunyi dalam kegelapan gua. Nafas mereka memburu, keringat dingin menetes di wajah, menandakan kegelisahan yang semakin mencekam. Suara langkah kaki yang berat mulai terdengar mendekat, gema dari anak buah Pak Mike yang bergerak semakin dekat. Salma dan Ilham, dengan senjata sniper di tangan, berjaga-jaga di ujung gua, sementara yang lainnya berjongkok dalam diam.
"Berapa lama lagi mereka sampai?" bisik Frisilia dengan gugup.
"Tak banyak waktu," jawab Tama pendek, matanya terus mengawasi keluar gua. Ia tahu, jika mereka tetap di sini lebih lama, mereka pasti akan tertangkap.
Ramon yang sedari tadi bersembunyi di atas pohon, mendengar semuanya dengan jelas. Ia tahu, ini saatnya membuat pengalihan. Dengan hati-hati, Ramon menyesuaikan senjatanya, lalu membidik salah satu anak buah Pak Mike yang paling dekat. Tanpa ragu, Ramon menarik pelatuknya.
darrr!
Suara tembakan itu memecah keheningan malam, membuat semua anak buah Pak Mike berlari menuju arah Ramon.
"Kejar sumber suara!" teriak salah satu dari mereka.
"Ramon!" seru Tama dengan suara tertekan. "Apa yang dia lakukan?"
"Dia sedang memberi kita waktu," kata Ilham sambil menyiapkan senjatanya.
Ramon, yang kini berada di atas pohon, tersenyum tipis melihat kekacauan yang ia ciptakan. Dengan cepat, ia turun dari pohon dan berlari ke arah hutan, menjauhi Tama dan yang lainnya. Langkahnya cepat, nalurinya sebagai prajurit terlatih membawanya bergerak tanpa suara, meski hatinya berdebar kencang.
Hutan di sekelilingnya semakin lebat, namun Ramon terus berlari, hingga akhirnya ia tiba di tepi sungai besar dengan arus yang deras.
"Sungai..." gumam Ramon. Sebagai pasukan terlatih, sungai seperti ini baginya hanyalah taman bermain.
Tanpa ragu, Ramon melompat ke dalam air yang deras, tubuhnya bergerak mengikuti aliran sungai. Berenang cepat, ia menyeberangi sungai dengan mudah. Setelah mencapai seberang, ia segera berlari kembali ke dalam hutan, mencari pohon tinggi untuk bersembunyi.
"Harus menemukan tempat berlindung..." desis Ramon, matanya mencari pohon besar dengan daun yang lebat. Setelah beberapa saat, ia menemukan pohon yang cocok. Ramon langsung memanjat, dan dengan gesit menyembunyikan dirinya di balik dedaunan tebal.
Di gua, Tama menerima panggilan telepon dari Pak Riko. Dengan suara tegas, Pak Riko memberi instruksi penting.
"Tama, dengarkan baik-baik. Tak jauh dari tempat kalian, ada sebuah sungai besar. Di sana ada seorang anak bernama Hendra. Usianya 15 tahun, dan dia menunggu kalian dengan perahu. Hendra akan menuntun kalian keluar dari kepungan ini."
"Kode apa yang harus saya gunakan?" tanya Tama, meski detak jantungnya masih berpacu karena suara tembakan Ramon tadi.
"Komodo tersesat mencari matahari terbenam," jawab Pak Riko. "Itu artinya kalian akan menuju pantai. Hendra akan tahu apa yang harus dilakukan setelah mendengar kode itu."
Tama menutup telepon dan menarik napas dalam. Ia tahu, ini kesempatan terakhir mereka untuk kabur.
"Siap-siap!" perintah Tama dengan nada tegas.
Salma dan Ilham berjaga di belakang dengan sniper mereka, sementara Tama memimpin rombongan. Frisilia, Rani, Rangga, dan Pak Arif membantu Mayang, Bunga, Selly, dan Mita berjalan cepat melewati hutan yang gelap. Suara derasnya air sungai mulai terdengar, menandakan bahwa mereka semakin dekat.
Sesampainya di sungai, mereka berhenti sejenak. Tama menatap sekeliling, mencari petunjuk tentang keberadaan Hendra. Di kejauhan, seberkas cahaya kuning berpendar dari balik semak-semak.
"Di sana!" seru Tama sambil berlari menuju cahaya itu.
Tama menemukan sebuah senter tergeletak di atas tanah. Ketika ia mengambil senter itu, ia melihat sebuah pesan yang tertulis di gagang senter: Berenang lah mengikuti arus, paus ku terhalang karang.
Tama tersenyum pahit. Ia tahu pesan ini berasal dari Pak Riko, memberikan petunjuk tersembunyi. "Ikuti arus sungai," gumamnya. "Ayo, kita harus bergerak cepat."
Rombongan segera bergerak lagi, berlari di sepanjang tepi sungai mengikuti arus. Mereka berlari sekuat tenaga, sementara rasa takut terus menghantui mereka. Sesekali terdengar suara langkah kaki anak buah Pak Mike di kejauhan, membuat suasana semakin tegang.
Setelah beberapa waktu, Tama melihat perahu yang bersandar di tepi sungai. Seorang anak laki-laki, sekitar 15 tahun, duduk di atas perahu seperti sedang memancing.
Tama mendekat dengan hati-hati. "Hendra?" panggilnya.
Anak laki-laki itu mengangkat kepalanya. "Siapa yang kau cari?" tanyanya dengan suara rendah.
Tama mengucapkan kode dengan jelas. " Komodo tersesat mencari matahari terbenam."
Mata Hendra menyipit, kemudian dia mengangguk. "Cepat naik. Kita harus segera pergi."
Tanpa membuang waktu, Tama dan yang lainnya naik ke perahu. Begitu semua berada di atas, Hendra menyalakan mesin perahu, dan mereka segera bergerak meninggalkan tepi sungai, menuju pantai.
Ramon, yang masih bersembunyi di atas pohon, menunggu dengan sabar. Setelah memastikan area di sekelilingnya aman, ia melihat ke arah pantai yang terletak tak jauh dari sana. Posisinya yang tinggi memungkinkannya melihat dengan jelas.
"Sudah waktunya," gumam Ramon. Ia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Tama. Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya ia berhasil tersambung.
"Tama," suaranya terdengar tegas, "aku menuju pantai. Kalian di mana?"
"Kami sudah di perahu," jawab Tama dari seberang telepon. "Bergerak cepat, Ramon. Kami akan menunggumu di pantai."
Ramon segera turun dari pohon dengan lincah, kemudian mulai berlari menuju pantai. Ia tahu, waktu adalah hal yang sangat berharga sekarang. Setiap detik yang terbuang bisa menjadi perbedaan antara hidup dan mati.