Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10
Aksa melangkah pelan mendekati kursi roda itu. Setiap langkah terasa berat, seolah ia takut jika terlalu dekat, semuanya akan berubah jadi mimpi.
“Daddy…” suaranya kecil, hampir tak terdengar. Arman menoleh, tatapan mereka bertemu. Arman melihat sesuatu di mata putranya yang belum pernah ia lihat sebelumnya, bukan kenakalan, bukan pembangkangan. Melainkan ketakutan ditinggalkan.
“Daddy marah sama Aksa?” tanya Aksa lirih.
Arman terdiam, Aksa menunduk cepat. “Aksa cuma … cuma nggak mau Daddy dihina. Mereka bilang Daddy cacat…” suaranya patah. “Aksa marah…”
Dia mengusap matanya dengan punggung tangan, kasar, seperti ingin menghapus air mata sebelum terlihat siapa pun.
“Tapi Aksa jahat ya…” bisiknya. “Daddy pasti benci Aksa lagi.”
Ruangan terasa terlalu sunyi, Kinara menahan napas. Arman menatap anaknya lama. Terlalu lama. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya, perasaan asing yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
Arman mengulurkan tangannya. Tangan besar itu berhenti di udara sejenak, ragu lalu akhirnya menyentuh kepala Aksa. Sentuhan itu kaku dan terasa begitu canggung.
“Tidak,” ucap Arman, suaranya rendah dan berat. “Daddy tidak membenci kamu.”
Aksa terkejut, matanya membelalak. “Ben … beneran?”
Arman menelan ludah.
“Daddy hanya … marah karena kamu melindungi Daddy.”
Aksa terisak kecil, tubuhnya gemetar, lalu tanpa sadar ia memeluk lengan Arman erat-erat.
“Daddy…” suaranya pecah. “Aksa takut Daddy nggak mau Aksa lagi.”
Untuk sesaat, Arman menutup mata. Lalu, dengan gerakan pelan namun tegas, ia menarik Aksa lebih dekat ke dadanya, sebuah pelukan canggung, singkat, tapi cukup untuk membuat dunia kecil Aksa runtuh dan tersusun kembali.
Kinara memalingkan wajah, matanya basah. Dia tahu ada seorang ayah yang baru saja belajar bagaimana cara mencintai lagi.
Beberapa detik setelah keputusan itu dijatuhkan, pria tersebut seperti kehilangan seluruh kekuatannya. Ia melangkah goyah, lalu, tanpa peduli pandangan siapa pun berlutut tepat di depan kursi roda Arman.
“Tuan … Tuan Arman, tolong,” suaranya pecah. “Saya mohon … beri saya satu kesempatan lagi. Saya punya keluarga. Saya punya anak…”
Tangannya gemetar menopang lantai. Kinara menatapnya tanpa simpati sedikit pun. Sudut bibirnya terangkat tipis dan sangat dingin.
“Kamu tahu?” ucapnya tajam. “Sekarang kamu bahkan lebih rendah dari kata hinaan yang kamu ucapkan ke anakku tadi.”
Pria itu mendongak, matanya merah. “Nyo … Nyonya…”
Ia merangkak setapak, lalu refleks mengulurkan tangan, berusaha meraih tangan Kinara.
“Mohon … saya salah. Tolong bantu saya...”
"Menjauh dari istri saya!" Suara Arman menggelegar, semua orang tersentak. Bahkan, Rudi membeku dan para guru terdiam. Kepala sekolah menutup mulutnya kaget. Tak satu pun dari mereka pernah mendengar suara itu, suara Arman yang benar-benar marah. Tatapan Arman tajam, dingin, penuh peringatan. Tangannya mencengkeram sandaran kursi roda kuat-kuat.
“Jangan pernah,” lanjut Arman dengan suara bergetar menahan amarah, “menyentuh Kinara.”
Pria itu langsung mundur tergopoh, wajahnya pucat pasi. Arman menghela napas panjang, lalu suaranya turun, dan sedikit tenang, tetapi mematikan.
“Kita pulang.” Singkatnya.
Kinara menoleh padanya, untuk sesaat, amarah di matanya luruh dan dia mengangguk. Ia menggenggam tangan Aksa erat. Anak itu membalas genggaman itu, seolah takut melepaskannya.
Arman menoleh ke Rudi. “Urus sisanya.”
“Baik, Tuan,” jawab Rudi cepat, masih terkejut.
Tanpa menoleh lagi, Kinara berdiri di belakang kursi roda Arman dan mulai mendorongnya keluar ruangan. Setiap langkah terasa berat, penuh gema peristiwa barusan. Saat mereka keluar menuju mobil, Kinara bisa merasakan sesuatu yang berbeda.
Pria yang ada di kursi roda mendadak mulai peduli dan Kinara merasakan sesuatu di dalam dadanya terasa hangat.
'Apa yang ku lakukan? Jangan sampai gadis ini berpikir macam-macam,'
minta balikan lagi sama Arman
nanti pasti Aksa yg di jadikan alat
dasarrrr orang 🤣🤣