(Warisan Mutiara Hitam Season 2)
Setelah mengguncang Sekte Pedang Awan dan memenggal Jian Chen, Chen Kai mendapati bahwa kemenangannya hanyalah awal dari mimpi buruk baru. Sebuah surat berdarah mengungkap kebenaran yang meruntuhkan identitasnya: ia bukan anak Klan Chen, melainkan putra dari buronan legendaris berjuluk "Sang Pengkhianat Naga".
Kini, Klan Jian dari Ibu Kota memburunya bukan demi dendam semata, melainkan demi "Darah Naga" di nadinya—kunci hidup untuk membuka segel terlarang di Utara.
Demi melindungi adiknya dan mencari jati diri, Chen Kai menanggalkan gelar Juara dan mengasingkan diri ke Perbatasan Utara yang buas. Di tanah tanpa hukum yang dikuasai Reruntuhan Kuno, Sekte Iblis, dan Binatang Purba ini, Chen Kai harus bertahan hidup sebagai pemburu bayangan. Di tengah badai salju abadi, ia harus mengungkap misteri ayahnya sebelum darahnya ditumpahkan untuk membangkitkan malapetaka kuno.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjaga Tua
Ujung dari 'Jalan Kematian' bukanlah sebuah lubang cahaya, melainkan sebuah gerbang batu kuno yang tertutup lumut hitam. Di depan gerbang itu, sebuah pos penjagaan sederhana didirikan.
Tidak ada api unggun di sini. Hanya ada sebuah lampu minyak redup yang tergantung di dinding gua.
Seorang pria tua duduk bersila di atas batu datar di depan gerbang. Dia mengenakan jubah hitam panjang yang menyatu dengan kegelapan. Wajahnya keriput seperti kulit pohon kering, dan matanya tertutup rapat. Di pangkuannya, tergeletak sebilah pedang pendek berwarna abu-abu kusam.
Tetua Bayangan. Alam Pembangunan Fondasi.
Meskipun dia duduk diam, aura di sekitarnya membuat udara terdistorsi. Tetesan air yang jatuh dari langit-langit gua menguap sebelum menyentuh jubahnya.
Chen Kai mengamati dari balik tikungan terowongan, berjarak sekitar lima puluh meter. Jantungnya berdetak tenang, ditekan oleh teknik pernapasannya.
"Dia kuat," analisis Kaisar Yao. "Qi-nya stabil dan padat. Tidak seperti Jian Chen yang baru menerobos dan tidak stabil. Orang tua ini sudah berada di Pembangunan Fondasi selama puluhan tahun. Pengalamannya jauh di atasmu."
"Aku tidak akan memberinya kesempatan untuk menggunakan pengalaman itu," bisik Chen Kai.
Chen Kai mengenakan jubah hitam milik pemimpin pembunuh yang dia bunuh sebelumnya. Dia menarik topeng wajah menutupi hidung dan mulutnya, membiarkan noda darah (darah asli si pemimpin) terlihat jelas di dada dan bahunya. Dia juga menggantungkan Token Akses Serikat Pembunuh di pinggangnya agar terlihat mencolok.
Dia menyimpan Pedang Meteor Hitam ke dalam cincin penyimpanannya. Dia harus terlihat tidak berbahaya.
Chen Kai mulai berjalan keluar dari tikungan. Dia membiarkan langkah kakinya terdengar seret dan berat, seolah-olah dia terluka parah.
"Hah... hah... Tetua..." panggil Chen Kai dengan suara parau yang dibuat-buat.
Mata Tetua Bayangan terbuka seketika. Tatapannya tajam dan dingin, seperti mata ular yang baru bangun dari hibernasi.
"Nomor Tujuh?" suara Tetua Bayangan terdengar kering. "Kenapa kau sendiri? Di mana yang lain? Dan kenapa kau meninggalkan pos danau?"
"Penyusup..." Chen Kai terbatuk, memuntahkan sedikit darah (yang dia gigit dari lidahnya sendiri). Dia berjalan terhuyung-huyung mendekat. "Kuat... monster... yang lain mati..."
Tetua Bayangan menyipitkan matanya. Dia memindai Chen Kai dengan Indra Spiritual-nya. Dia merasakan aura Puncak Tingkat Delapan (Chen Kai menekannya), luka-luka, dan Token Serikat yang asli.
Kewaspadaannya sedikit menurun. Bukan hilang, tapi menurun. Dia tidak mencabut pedangnya, tapi tangan kanannya tetap berada di gagang.
"Penyusup? Siapa? Klan Jian bilang tidak akan ada yang tahu jalan ini," Tetua Bayangan berdiri, melangkah maju dua langkah. "Berhenti di situ. Lapor dari jarak itu."
Jarak mereka sekarang sepuluh meter.
Chen Kai berhenti, tubuhnya bergoyang seolah akan pingsan. Tangan kanannya menekan lukanya di dada... tepat di tempat dia menyembunyikan tiga Bom Racun Yin.
"Dia... dia menggunakan racun..." gumam Chen Kai, suaranya melemah. "Tetua... tolong..."
Chen Kai menjatuhkan lututnya, seolah ambruk.
Saat tubuhnya condong ke depan, tangan kanannya bergerak secepat kilat.
WUSHH!
Tiga bola tanah liat hitam melesat dari balik jubahnya. Bukan ke arah Tetua Bayangan, tapi ke tanah di sekitar kaki orang tua itu.
Mata Tetua Bayangan melebar. Insting bahayanya menjerit.
"Jebakan!"
Dia mencoba melompat mundur.
Terlambat.
Chen Kai menjentikkan jarinya. Qi api kecil dikirim untuk memicu segel pada bola-bola itu.
BOOM! BOOM! BOOM!
Tiga ledakan tumpul terdengar.
Bukan ledakan api, melainkan ledakan gas. Kabut hijau pekat—campuran air danau beracun, bisa kelabang, dan Qi korosif—meledak keluar, menyelimuti area radius lima meter di sekitar Tetua Bayangan dalam sekejap.
"ARGHHH!"
Terdengar teriakan kaget dan kesakitan dari dalam kabut.
Suara mendesis mengerikan terdengar saat racun Yin itu memakan jubah pelindung Qi Tetua Bayangan.
"Bocah licik!" raung Tetua Bayangan.
SWOSH!
Gelombang kejut Qi meledak dari dalam kabut, menyapu sebagian asap beracun itu.
Tetua Bayangan muncul kembali. Penampilannya mengerikan. Jubah hitamnya berlubang-lubang seperti dimakan ngengat. Kulit wajah dan tangannya melepuh merah dan bernanah di beberapa tempat. Mata kirinya tertutup rapat, bengkak dan ungu.
Racun itu berhasil! Pertahanannya tembus!
Tapi dia belum mati.
"Kau..." Tetua Bayangan menatap Chen Kai dengan satu mata yang masih berfungsi, penuh kebencian murni. "Kau bukan Nomor Tujuh."
"Mati kau!"
Tetua Bayangan menghunus pedang pendeknya. Pedang itu bersinar dengan cahaya abu-abu kusam.
"Teknik Pembunuh Bayangan: Tusukan Hantu!"
Tetua Bayangan menghilang.
Tidak ada suara. Tidak ada angin. Dia benar-benar menghilang dari persepsi visual dan pendengaran.
"Kiri!" teriak Kaisar Yao.
Chen Kai tidak berpikir. Dia langsung memunculkan Pedang Meteor Hitam dari cincinnya dan menebas ke kiri secara buta.
TRANG!
Bunga api memercik di udara kosong. Pedang pendek Tetua Bayangan tertahan oleh bilah besar Pedang Meteor.
Tetua Bayangan muncul sekejap, terkejut serangannya terbaca, lalu menghilang lagi ke dalam bayangan gua.
SRET!
Sebuah luka gores muncul di paha kanan Chen Kai.
SRET!
Luka lain di punggung.
Tetua Bayangan bergerak terlalu cepat dan terlalu sunyi. Meskipun racun itu melemahkannya, dia tetaplah pembunuh tingkat Pembangunan Fondasi yang ahli dalam penyergapan.
"Dia menggunakan kegelapan gua ini!" batin Chen Kai, menahan rasa sakit. "Aku tidak bisa menangkapnya dengan mata atau telinga."
"Gunakan area," saran Yao. "Jika kau tidak bisa menemukannya di dalam bayangan... hilangkan bayangannya."
Chen Kai menyeringai, darah mengalir dari sudut bibirnya.
"Ide bagus."
Chen Kai menusukkan Pedang Meteor Hitam ke tanah.
Dia menarik napas dalam-dalam. 'Tulang Api'-nya berdenyut maksimal.
"Sutra Hati Kaisar Naga: Matahari Bawah Tanah!"
Chen Kai melepaskan seluruh Qi apinya sekaligus dalam satu ledakan omnidireksional.
WUUUUUUMMMMM!
Gua yang gelap itu seketika menjadi terang benderang, seolah-olah matahari baru saja terbit di dalam tanah. Cahaya api ungu-emas yang menyilaukan mengisi setiap sudut, menghapus setiap bayangan.
Di sudut gua, sosok Tetua Bayangan yang sedang bersiap menyerang tiba-tiba terekspos. Dia menyipitkan mata satu-satunya, silau oleh cahaya itu. Teknik sembunyinya batal karena tidak ada bayangan untuk bersembunyi!
"Kena kau!"
Chen Kai tidak membuang sedetik pun. Dia menerjang maju.
"Langkah Kilat Hantu!"
Chen Kai muncul di depan Tetua Bayangan yang masih silau.
"Teknik Pedang Gunung Runtuh... PUNCAK RUNTUH!"
Pedang Meteor Hitam diayunkan turun dengan kekuatan penuh, dibungkus api ungu yang berkobar.
Tetua Bayangan, yang terluka, keracunan, dan buta sesaat, tidak bisa menghindar. Dia mengangkat pedang pendeknya untuk memblokir dengan putus asa.
KRAAAAAAAK!
Pedang pendek Peringkat Roh Rendah itu patah menjadi dua.
Pedang Meteor Hitam terus meluncur turun.
SPLAT!
Pedang itu membelah bahu kanan Tetua Bayangan hingga ke dada.
"Gah..."
Tetua Bayangan memuntahkan darah hitam (akibat racun dan luka dalam). Dia jatuh berlutut.
Chen Kai menarik pedangnya, lalu menendang dada orang tua itu, menjatuhkannya terlentang.
Ujung Pedang Meteor Hitam kini menempel di tenggorokan Tetua Bayangan.
"Kau kalah," kata Chen Kai dingin, napasnya memburu. Uap panas mengepul dari seluruh tubuhnya akibat pelepasan Qi yang ekstrem tadi.
Tetua Bayangan batuk, menatap Chen Kai dengan tatapan yang sudah meredup.
"Heh... hebat..." bisiknya, darah berbuih di bibirnya. "Membunuh Pembangunan Fondasi... di Tingkat Sembilan... Kau memang monster..."
"Katakan padaku," desak Chen Kai. "Apa yang ada di balik gerbang ini? Apa yang dilakukan Klan Jian di Lembah Tulang Naga?"
Tetua Bayangan menyeringai lemah, memperlihatkan gigi yang mulai rontok karena racun.
"Mereka... membangkitkan... 'Dia'..."
"Siapa?"
"Leluhur... yang seharusnya... tetap mati..."
Mata Tetua Bayangan melotot, lalu cahaya kehidupannya padam. Dia mati.
Chen Kai berdiri diam sejenak di atas mayat itu. Dia berhasil. Dia membunuh seorang ahli Pembangunan Fondasi sejati dalam pertarungan hidup mati. Meskipun menggunakan trik kotor (racun dan penyamaran), kemenangan adalah kemenangan.
"Ambil cincinnya," kata Yao. "Dan buka gerbang itu. Kita tidak punya banyak waktu sebelum racun di tubuhmu sendiri mulai bereaksi."
Chen Kai mengambil cincin penyimpanan Tetua Bayangan dan sebuah kunci batu aneh dari saku jubahnya.
Dia berjalan ke gerbang batu berlumut itu. Dia memasukkan kunci batu ke dalam lubang di tengah gerbang.
RUMBLE...
Gerbang batu kuno itu bergetar dan perlahan terangkat.
Cahaya putih menyilaukan—cahaya salju dan badai—masuk dari celah yang terbuka. Angin dingin yang menusuk tulang menerpa wajah Chen Kai, membawa serta bau darah yang samar tapi sangat kuat.
Chen Kai melangkah keluar.
Di depannya terbentang sebuah lembah raksasa yang dikelilingi oleh tulang belulang naga purba yang membatu menjadi bukit-bukit. Di tengah lembah itu, sebuah pilar cahaya merah darah menjulang ke langit, menembus badai salju.
Lembah Tulang Naga.
Dan di sekitar pilar cahaya itu, ratusan tenda Klan Jian dan Sekte Darah telah didirikan, membentuk formasi pengepungan raksasa.
Chen Kai menarik tudung jubahnya, menyembunyikan wajahnya kembali.
"Aku datang," bisiknya.