NovelToon NovelToon
Trap Of Destiny

Trap Of Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Spiritual / Iblis / Peramal
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Dian Dipa Pratiwi

Terima atau tidak, mau tak mau manusia harus menerima kenyataan itu. Bahwa mereka terlahir dengan apa adanya mereka saat ini. Sayangnya manusia tak bisa memilih akan dilahirkan dalam bentuk seperti apa. Kalau bisa memilih, mungkin semua orang berlomba-lomba memilih versi terbaiknya sebelum lahir ke dunia.

Terkadang hal istimewa yang Tuhan beri ke kita justru dianggap hal aneh dan tidak normal bagi manusia lain. Mereka berhak untuk berkomentar dan kita juga berhak memutuskan. Mencintai diri sendiri dengan segala hal istimewa yang Tuhan tuangkan dalam diri kita adalah suatu apresiasi serta wujud syukur kepada sang pencipta.

Sama seperti Nara, yang sudah sejak lama menerima kenyataan hidupnya. Sudah sejak dua tahun lalu ia menerima panggilan spiritual di dalam hidupnya, namun baru ia putuskan untuk menerimanya tahun lalu. Semua hal perlu proses. Termasuk peralihan kehidupan menuju hidup yang tak pernah ia jalani sebelumnya.

Sudah setahun terakhir ia menjadi ahli pembaca tarot.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Dipa Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tragedi

Hari ini Nara memiliki janji temu dengan beberapa klien yang meminta untuk dibacakan tarotnya. Jadi, ia akan pulang sedikit lebih larut malam ini. Bahkan setelah selesai bekerja, ia tak langsung pulang. Melainkan pergi ke cafe sebentar untuk duduk santai dan mengisi ulang energinya. Tidak bisa dipungkiri jika membaca tarot dalam jumlah banyak mampu membuatnya kelelahan.

Sekarang sudah hampir jam sembilan malam. Tapi ia masih duduk sendiri di salah satu cafe dekat rumahnya. Rasanya ia masih terlalu malas untuk kembali ke rumah. Nara ingin menghabiskan lebih banyak waktu di sini sambil menikmati kopi latte yang ia pesan beberapa waktu lalu.

Sementara itu di sisi lain, Baron mendadan menjadi orang yang paling cemas di rumah. Mendapati Nara belum juga kunjung kembali, berhasil membuatnya khawatir. Padahal Ibu Nara bersikap biasa aja. Ia mengatakan pada pria itu jika anaknya bisa pulang jam satu malam jika sedang banyak permintaan membaca tarot.

"Dia akan segera pulang begitu urusannya selesai," ucap Ibu Nara berusaha menenangkan.

"Apa dia tidak bisa pulang lebih awal?" tanya Baron.

"Perasaanku mendadak jadi tidak enak," gumamnya pelan.

Ia berusaha untuk tidak membuat Ibu Nara khawatir dengan kalimat itu. Berharap agar wanita itu tak terlalu mendengar perkataannya barusan. Intuisi Baron tak pernah salah. Apalagi, kali ini ia merasa benar-benar gelisah. Ia takut akan terjadi hal yang buruk padanya.

"Boleh aku minta nomer telepon Nara?" tanya Baron tanpa mengurangi rasa hormat.

"Tentu saja!" balas Ibu Nara.

Ia sama sekali tak merasa keberatan untuk memberikan nomer ponsel putrinya kepada Baron. Tanpa pikir panjang, pria itu lekas menelepon Nara untuk memastikan kondisinya saat ini.

'DRTTTT!'

Gadis itu langsung mengalihkan pandangannya sesaat. Menatap ponselnya yang bergetar di atas meja, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.

"Nomer tak dikenal," gumamnya.

Ia sedikit ragu pada awalnya. Namun, memutuskan untuk tetap menjawab panggilan tersebut. Siapa tahu memang penting.

"Halo?" sapa Nara lebih dulu.

"Ini aku, Baron!" balas pria di seberang sana.

"Sudah jam berapa ini?"

"Apa masih belum selesai bertemu dengan klienmu?"

"Dimana posisimu sekarang?"

"Jam berapa kau akan pulang?"

"Hei! Kenapa diam saja?"

Jelas Nara diam saja. Ia bahkan tak diberi kesempatan sedikit pun untuk bersuara. Baron terus menghujaninya dengan pertanyaan berantai yang nyaris tak ada akhirnya. Ia bahkan bicara tanpa jeda.

"Kenapa mendadak menginterogasiku seperti ini?" tanya Nara dengan agak kesal.

"Dengar, perasaanku sudah tidak enak sejak tadi," ungkap Baron.

"Kau harus segera pulang!" perintahnya.

Nara lantas memutar matanya dengan malas sambil berkata, "Itu hanya perasaanmu saja."

"Bahkan jika itu hanya perasaanku saja, tak seharusnya kau meragukan peringatanku itu," balas Baron cemas.

"Jangan pernah menganggap sepele firasat seorang dukun," tambahnya.

Nara terdiam sejenak. Apa yang dikatakan oleh pria itu barusan ada benarnya juga. Ia tak boleh meremehkan firasat orang lain. Bahkan firasat orang yang datang dari kalangan biasa saja kerap kali benar. Apalagi orang seperti Baron.

Tapi anehnya, mengapa hanya Baron yang merasakan firasat buruk itu. Sementara Nara tidak merasakan apapun. Ia masih baik-baik saja sampai detik ini. Bahkan ibunya pun tak merasa cemas.

"Tenang saja, aku akan baik-baik saja," ucap Nara di telepon.

"Katakan pada ibu aku akan pulang sebentar lagi," sambungnya.

Mendengar hal tersebut, Baron merasa kesal. Tekanan darahnya naik seketika. Ia mengepal tangannya, lalu menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk meredam emosinya.

Bagaimana bisa Nara dan ibunya bersikap begitu santai. Sementara Baron sangat yakin jika ada hal buruk yang akan segera terjadi dan menimpa Nara. Gadis itu benar-benar dalam bahaya sekarang.

"Beritahu aku dimana posisimu saat ini," pinta Baron.

"Di cafe dekat persimpangan kedua menuju rumah, di arah selatan," jawab gadis itu.

"Aku akan ke sana sekarang. Jangan kemana-mana sebelum aku datang," balasnya kemudian menutup panggilan.

Baron bergegas untuk menyusul Nara ke tempat yang ia maksud barusan. Sepertinya tidak terlalu jauh dari rumah.

Sementara itu, Nara masih tak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini. Baron memintanya untuk menunggu, sementara ia belum tentu tahu dimana tempatnya saat ini. Pria itu baru beberapa hari di daerah ini, ia belum terlalu familiar dengan jalanannya. Sementara itu, cafe ini akan segera tutup. Jadi, Nara memutuskan untuk pergi lebih dulu sebelum Baron datang. Lagipula Nara akan bertemu dengannya di tengah jalan nanti, jika Baron melewati jalanan yang benar.

Sejauh ini ia merasa baik-baik saja. Tak ada yang aneh ataupun mencurigakan. Apalagi perasaan tak enak seperti yang Baron katakan. Nara yakin jika pria itu meleset kali ini.

Jalanan memang sudah sedikit sepi. Jarang ada orang yang berkeliara di jam segini. Tapi itu tak masalah. Kesunyian malam sama sekali tak membuat nyali Nara menciut. Ia sudah biasa berhadapan dengan hal-hal seperti ini.

'TAK! TAK! TAK!'

Mendadak muncul suara tapak sepatu yang beradu dengan lapisan aspal. Suara itu muncul dari salah satu gang. Nara lantas memutar kepalanya ke arah sumber suara. Ternyata utu adalah seorang pria yang ikut berjalan di belakangnya. Nara sama sekali tak merasa curiga. Mungkin saja mereka memang melewati jalanan yang sama.

Namun, situasi bisa berubah kapan saja tanpa persetujuan manusia.

Tiba-tiba pria itu mengeluarkan sapu tangan ysng telah di beri obat bius sebelumnya. Lalu menutup saluran pernapasan Nara dengan sigap. Siapa pun yang menghirup bius tersebut akan kehilangan kesadaran dalam waktu kurang dari satu menit.

Di saat yang bersamaan Nara berusaha untuk memberontak. Namun, sepertinya kekuatan fisiknya kalah jauh dengan pria itu.

"Nara!" sahut seseorang dari kejauhan.

Entah apa yang terjadi setelahnya, ia tak mengetahui apa pun. Nara sudah terjatuh dalam kegelapan.

"Beraninya kau!" geram Baron.

'Bugh!'

'Pak!'

'Trangg!'

Tanpa pikir panjang, Baron lekas menghajar pria itu. Tidak memberikan ampun sama sekali. Kalau bisa menghabisinya lebih lama, tentu Baron tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Namun sayangnya pria itu sudah kabur. Sepertinya ia lebih memilih menyerah karena tak mau habis di tangam Baron.

"Dasar kurang ajar!" geramnya.

Dengan keadaan yang masih tersulut emosi, Baron lekas menghampiri Nara. Gadis itu sudah tak sadarkan diri sejak tadi. Jujur saja ia merasa kecewa karena gadis itu tak mengikuti perkataannya.

Sebelum lebih banyak bahaya lagi datang, Baron lekas menggendong Nara untuk kembali ke rumah. Ia sangat ingin marah, namun semuanya sudah terjadi. Bahkan emosinya pun tak akan menyelesaikan apa pun.

Sepertinya Ibu Nara sudah tertidur. Kedai sudah sepi. Jadi, Baron memutuskan untuk merawat Nara di kamarnya. Ia tak mau mengganggu wanita yang sedang beristirahat itu, apalagi sampai membuatnya cemas.

"Ck! Sudah ku bilang tunggu aku di sana. Kenapa kau tak mau menunggu?" gumam Baron sambil mengacak-acak rambutnya.

Pria itu merasa prihatin melihat kondisi gadis yang tengah tak sadarkan diri di depannya. Tapi, itu akibat kecerobohannya sendiri. Baron sudah berkali-kali mengingatkannya tadi.

"Sepertinya ini hanya efek bius. Tak akan berlangsung lama," ucap Baron.

Ia membiarkan Nara untuk beristirahat di kamarnya. Sementara itu, Baron pergi ke kedai dan memutuskan untuk tidur di sana. Tak masalah jika hanya untuk satu malam saja.

1
Ernawati Ningsih
Ceritanya bagus banget. Mengangkat sudut pandang peramal dan juga kepercayaan akan takdir. Terus ada bahas soal ritual-ritual gitu. Seru banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!