NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SEPAKAT

“LO nggak punya saran apapun gitu biar gue bisa dapetin Yesha?”

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, sampai saat ini mereka sudah naik tangga menuju lantai dua, lagi lagi pertanyaan itu yang dilontarkan Tasya tentang ‘Yesha-nya’. Nara sudah muak mendengar semua celotehan gadis itu.

“Saran gue adalah lo jangan terlalu obses sama Yesha. Kalau bisa stop suka sama dia.” Kata Nara datar. Nyaris tanpa ekspresi. Wajah Yesha saat di Gimnasium melintas dikepala Nara, membuat jijik.

Tasya menoleh dengan ekspresi memprotes keras. “Ya mana bisa gitu lah! Orang kepalang suka, banget, banget, banget. Lo pikir semudah itu?”

Nara mendengus. Seandainya Tasya tahu faktanya, apa dia masih akan tetap menyukai Yesha?

“Jangan terlalu suka sama orang, Sya. Suatu saat, bisa jadi orang yang paling lo suka itu bakal jadi orang yang paling lo benci, sampai lo gak sudi liat mukanya.”

Tasya menggernyit, “Emang bisa gitu ya?”

Nara mengangguk sebagai jawaban.

Mereka berbelok ke kiri, kelas Tasya berada setelah kelas Nara, jadi mereka bisa datang bersama lalu berpisah saat tiba dikelas Nara.

Tapi pagi itu mereka berpisah lebih cepat. Bahkan jauh sebelum tiba di ambang pintu kelas Nara. Sebab seorang gadis dan empat temannya tiba tiba mencegat langkah Nara dan Tasya tepat setelah belokan, membuat sedikit kaget. Mereka seperti hantu yang muncul menjadi jumpscare di film film horor.

“Lo ikut gue.” Ucap seorang gadis yang berdiri paling depan, tegas, tidak mau dibantah. Dia menunjuk Nara dengan sarkas, tidak peduli dengan ekspresi Nara yang kaget.

Nara menunjuk dirinya sendiri. “Gue?”

“Iya, lo.”

“Kemana?” Tanya Nara polos. Nara tahu gadis ini. Dia yang kemarin bersama Yesha di Gimnasium. Untuk apa dia menemui Nara?

“Ikut aja.”

Tasya memegang lengan Nara, meminta penjelasan. “Lo ada masalah sama mereka, Ra?” Bisiknya.

Nara menoleh pada Tasya, menggeleng. Dia tidak punya masalah apapun—selain menciduk gadis ini bersama Yesha jika memang itu dianggap masalah.

“Lo duluan aja, Sya.”

“Lo yakin, Ra?”

Nara mengangguk. Melangkah mengikuti lima gadis tadi. Meninggalkan Tasya di lorong.

Hingga mereka tiba di sebuah ruangan sepi. Dari yang bisa Nara tebak, itu ruang musik, atau ruang seni, semacam itulah. Nara belum sempat kesini sebelumnya. Sekarang dia berdiri menghadap lima gadis yang sudah seperti girlgrup Korea dengan atribut sama, jepit bintang. Nara tidak tahu kalau geng di SMA Artaca yang elit bisa senorak ini, seperti anak SD yang suka main labrak labrakan.

“Lo, kan, yang kemarin masuk ke gudang Gimnasium?” Tanya gadis yang tadi menyuruh Nara ikut, nametag di jas sekolahnya bertuliskan Sabitha Giovani.

Nara diam sesaat. Berhitung, membaca situasi.

“Jawab! Punya mulut, kan?”

“Iya, gue.” Aku Nara.

Sabitha menyidekapkan tangan didepan tubuh, menatap Nara seperti makhluk rendah yang hina. Menyebalkan sekali. “Yesha pacar gue.” Katanya bangga.

Nara mendengus. Mereka ini sungguhan anak SD atau apa? “Urusannya sama gue apa?” Tanya Nara.

Tangan Sabitha bergerak mencengkram lengan Nara, menatap gadis itu seperti hendak menelan Nara detik itu juga. “Inget ya, semua kejadian yang lo liat di gudang itu cuma lo yang tahu. Satu sekolah ini cuma lo. Sekali lagi, CUMA LO. Kalau sampai berita tentang gue sama Yesha nyebar gara gara lo, abis lo sama gue!” Ancamnya.

Nara diam. Ucapan Sabitha barusan seolah membenarkan apa yang ada di benak Nara selama ini. Jadi benar mereka melakukan itu?

“Ngerti?”

Nara mengangguk samar, menghela napas. “Anggap aja gue gak pernah liat. Gue juga nggak tertarik sama lo atau Yesha. Terserah kalian mau ngapain itu bukan urusan gue. Jadi lo tenang aja, mulut gue gak seember itu buat nyebarin gosip gak bermutu. Gak ada untungnya juga buat gue.”

Giliran Sabitha yang diam. Dia tidak tahu Nara akan berkata begitu. Gadis ini bahkan tidak terlihat gentar menghadapi Sabitha. Tapi itu kabar baik, kalimat Nara cukup meyakinkan untuk membuat Sabitha percaya bahwa gosip tentangnya dan Yesha tidak akan tersebar.

“Udah, kan, ngomongnya? Gue mau balik ke kelas,” Nara membenahi posisi tasnya yang tersampir sebelah, “gue duluan.” Ia balik kanan, meninggalkan ruangan itu dengan perasaan campur aduk.

Jujur, Nara marah, semudah itu Tasya dan semua orang disekolah ini dikelabui oleh sosok Yesha? Wajah lelaki itu melintas, membuat Nara muak. Benci membayangkannya.

Dengan segala kecamuk pikirannya, Nara berjalan cepat melintasi lorong yang sudah sepi. Sepertinya bel masuk sudah dibunyikan. Gara gara Sabitha, dia harus berjalan memutar arah lagi.

Nara belok ke kanan, kelasnya ada diujung lorong ini. Tanpa memedulikan bahwa tali sepatunya terlepas, ia terus berjalan cepat. Hingga tidak sengaja kaki Nara menginjak tali sepatunya, tepat saat seseorang baru saja muncul dari arah tangga di sebelah kanan Nara. Tubuh Nara limbung kedepan, ia berseru tertahan.

Tapi, kedua bahu Nara lebih dulu ditahan oleh seseorang dari arah depan. Tangan kokoh itu menangkap tubuh Nara yang nyaris bedebam jatuh. Tatapan mereka bertemu. Nara yang masih kaget ditambah semakin kaget dengan siapa yang baru saja menyelamatkannya.

Yesha menatap Nara tepat dimata gadis itu.

Seolah terhipnotis, Nara terpaku. Menahan napas menatap wajah Yesha yang begitu dekat dengan wajahnya. Jantung Nara berdetak kencang. Lupakan dulu soal kebencian itu, seorang Yeshaka jelas jelas sempat membuat Nara terpesona selama beberapa saat.

Hingga kepala Nara kembali terisi.

Ia segera menarik tubuh, menyeimbangkan pijakannya. Yesha masih menatap Nara, yang segera memutus kontak mata mereka, memilih memalingkan pandangan kemana saja. Nara menelan ludah, membenahi posisi tasnya, lalu berjalan melewati Yesha tanpa mengatakan apapun.

“Nara.”

Suara itu membuat langkah Nara terhenti.

Yesha memutar badan menghadap Nara yang masih berdiri membelakanginya. “Tali sepatu lo lepas.”

Perlahan Nara menunduk, menatap lurus ke arah sepatunya. Benar. Ia harus mengikat dulu tali sepatunya jika tidak ingin jatuh lagi seperti barusan. Segera Nara berlutut, berusaha secepat mungkin mengikat tali sepatunya. Tapi dibawah tatapan Yesha—walaupun dari arah belakang—mengikatnya menjadi tidak mudah. Aduh, biasanya Nara melakukan ini dengan cepat. Sekarang malah jadi sulit, padahal dia sudah ingin cepat cepat pergi saja saat ini.

Tatapan Nara yang semula fokus menatap pada sepatunya kini beralih, juga gerakan tangannya yang masih berusaha mengikat tali sepatu terhenti, saat Yesha tiba tiba ikut duduk jongkok dihadapan Nara. Hei, sejak kapan dia memutar? Nara mendongak menatap Yesha. Tapi lelaki itu justru fokus menatap kebawah, tangannya terulur menggantikan tangan Nara untuk mengikat tali sepatu gadis itu.

“Jangan terlalu benci sama gue. Semua yang lo liat nggak selalu sama kayak yang lo pikirin, Ra.”

Nara terdiam. Ingin rasanya ia berteriak didepan wajah Yesha kalau Sabitha bahkan sudah membenarkannya. Lantas apa maksud ucapan Yesha barusan?

Yesha selesai mengikat tali sepatu Nara dengan tenang.

Tanpa menghiraukan ucapan Yesha, Nara berdiri, diikuti Yesha setelahnya. “Thanks.” Ucap Nara singkat—demi sopan santun. Setelahnya ia berlalu, berjalan melewati Yesha.

Lima langkah berjalan dibelakang Nara, pada akhirnya tetap saja mereka masuk ke kelas bersamaan. Dibawah tatapan semua orang yang ada didalam kelas, juga bisik bisik kecil yang entah apa, Nara dan Yesha berjalan menuju bangku masing masing setelah menyalimi guru Seni Rupa dan minta maaf karena sedikit terlambat.

Nara menyimpan tas, mengeluarkan buku.

“Lo kenapa bisa bareng sama Yesha gitu?” Tanya Rania, berbisik.

“Nggak sengaja ketemu di lorong.” Setidaknya Nara tidak berbohong tentang itu.

Rania menggerakkan kepalanya ke kiri, melirik Yesha sesaat, lalu kembali pada Nara yang sibuk membuka buka buku catatan. “Yesha ngeliatin lo terus.”

Gerakan Nara terhenti, ia melirik ke kiri, memeriksa. Benar saja. Nara menggeleng singkat, mengerjap ngerjap, mengembalikan fokus. “Biarin aja.”

Pelajaran Seni Rupa telah dimulai. Semua murid kembali menatap kedepan, menyimak penjelasan.

...*** ...

“Tugas membuat lukisan ini dikumpulkan minggu depan, yang telat mengumpulkan tidak mendapat nilai ulangan harian. Paham?”

“Paham, Bu!”

“Oh, mana anak baru itu?”

Nara mendongak dari buku catatannya, menatap kedepan. “Saya, Bu.” Tangan kanan Nara terangkat keatas selama beberapa saat.

“Kamu sudah mengerti tugasnya?”

Nara mengangguk mantap, “Mengerti, Bu.”

“Karena kamu baru bergabung dengan kelas ini, kamu saya kasih kemudahan, kamu boleh mencontoh atau dibantu teman kamu untuk mengerjakan tugas.”

Senyum Nara terbit, lantas ia mengangguk senang. “Nanti saya ngerjain bareng Rania aja, Bu.”

Guru Seni itu menatap Rania tidak yakin, “Rania mau membantu kamu? Bulan lalu saja nilai melukisnya C minus. Gimana dia mau bantu kamu? Bantu diri sendiri aja dia nggak bisa.”

Derai tawa memenuhi langit langit kelas.

Eh? Nara baru tahu fakta itu. Aduh, dia tidak bermaksud membuat Rania jadi bahan tertawaan begini.

“Bawa bawa yang adem lo, Ra.” Rania tersenyum masam, hampir menimpuk Nara dengan tempat pensilnya.

Nara nyengir, menatap Rania, 'sorry, gue gak tahu,' demikian arti cengirannya.

“Diam, diam, sudah, nanti lagi tertawanya.”

Tawa tawa menguap. Nara masih nyengir lebar.

“Nara, kamu ikut mengerjakan bersama Yesha saja, saya anggap kalian satu kelompok.”

Cengiran Nara tersumpal. Ia melotot, nyaris berdiri dari bangkunya. “YESHA?”

Hening.

Semua orang menatap Nara, tidak mengerti kenapa dia harus sekaget itu.

“Y-Yesha ini, Bu?” Nara menunjuk Yesha dengan ujung matanya.

“Iya, memangnya Yesha mana lagi? Dia selalu dapat nilai lumayan, bisa membantu kamu. Yesha, kamu bisa ajarkan dia sambil kamu mengerjakan, kan?”

Itu terdengar seperti bukan pertanyaan. Itu lebih ke perintah. Kontras dengan Nara yang memprotes keras ‘perintah’ itu, di bangku sana Yesha justru tersenyum lebar, mengangguk mantap seolah diminta mengajari anak TK menggambar bunga, mudah melakukannya.

“Bisa, Bu.” Jawab Yesha yakin seratus persen.

“Yasudah, cukup sekian pelajaran hari ini. Rangkuman catatan kalian silahkan dikumpulkan, yang tidak mencatat dianggap tidak hadir hari ini.”

Semua murid berdiri dari bangku, hendak mengumpulkan buku catatan.

Nara yang masih duduk dibangkunya menatap Yesha, memelototi lelaki itu yang dengan seenak hati menyetujui ‘kerja kelompok’ aneh itu. Sementara Yesha justru tersenyum melihat Nara yang tidak terima, mengacungkan kepalan tangan. Yes! Mulutnya mengatakan itu tanpa suara.

Rania yang melihat itu menggernyit bingung, menyikut Nara. “Lo kenapa kesel banget disuruh ngerjain tugas bareng Yesha? Kalau Tasya yang dapet udah jelas pingsan kali, saking senengnya.”

Nara mendengus, melambaikan tangan tidak peduli dengan kalimat Rania. Mereka tidak tahu saja keadaan sebenarnya.

Yesha berdiri dari bangkunya, menyimpan buku catatan dimeja guru, lalu berbalik, melintasi bangku Nara, berhenti sesaat. Lelaki itu menatap Nara, mengetuk mejanya dengan pulpen beberapa kali untuk menarik perhatian si pemilik meja yang pura pura mengecek buku.

Nara menghembuskan napas, mendongak pelan, ‘apa?’, begitulah arti ekspresi wajahnya.

Yesha menggerakkan dagunya ke kiri, menunjuk pintu keluar, menyuruh Nara mengikutinya. Ia terlihat tidak mau dibantah, lalu Nara bisa apa selain menurut?

Yesha keluar lebih dulu. Nara segera beranjak, mengumpulkan buku.

“Kantin yuk, Ra, sekalian ke kelas Tasya sama Laudy.” Ajak Rania yang baru selesai mengumpulkan buku catatan.

Nara menggeleng lesu, “Kalian aja, gue ada urusan.”

“Urusan apa?”

"Urusan negara.”

Setelah berkata begitu Nara melangkah keluar kelas, meninggalkan Rania dan tanda tanya besar dikepalanya.

...*** ...

Nara yakin Yesha tidak bodoh untuk tidak memberitahu Nara kemana harus pergi agar bisa bertemu dengan lelaki itu.

Lantas kemana Yesha pergi sekarang? Kemana Nara harus mengikutinya? Kenapa mendadak Yesha jadi merepotkan hidup Nara begini? Lagipula apa yang mau dia bicarakan? Nara yakin yang mau dibicarakannya tidak penting atau bahkan tidak ada hubungannya dengan Nara sama sekali. Awas saja kalau benar, Yesha pikir kepopuleran dan ketampanannya itu bisa melindunginya dari amukan seorang Keinarra? Salah besar.

Nara belok kanan, celingukan mencari Yesha. Kemana sih dia? Nara sudah melintasi ruang musik dan lorong ini dua kali. Tapi tetap tidak menemukan tanda tanda keberadaan Yesha.

Nara berdecak kesal, jika lima menit lagi ia tidak menemukan Yesha di lantai dua, maka akhiri saja rencana mau menemuinya, peduli amat dengan lelaki itu. Memangnya dia sepenting apa sampai Nara harus berkeliling mencarinya—

Lengan Nara mendadak ditarik dari samping, lalu tiba tiba dia sudah ada didalam ruang musik, tubuhnya menempel pada tembok, sebuah tangan membekap mulut Nara yang hampir berteriak karena kaget, suara pintu ditutup terdengar. Yesha berdiri setengah langkah didepan Nara, menyudutkan Nara ke tembok, tangannya masih menempel didepan mulut gadis itu.

Nara melotot. Apa apaan sih?

“Sstt…diem, gue sengaja bekap lo karena tahu lo bakal teriak. Gue lagi males disamperin cewek cewek, jadi jangan berisik.”

Nara berusaha melepaskan tangan Yesha dari wajahnya.

“Tapi janji jangan berisik—AW!”

Justru Yesha yang berisik sekarang. Tangannya baru saja digigit oleh Nara, refleks melepaskan bekapan. Lelaki itu meringis, memegangi tangannya yang terasa ngilu. Yesha melotot, “Kanibal lo?!”

“Katanya jangan berisik?” Nara bertanya polos.

Yesha mengaduh, mengibas ngibaskan tangannya. “Lo nggak ada keturunan drakula, kan? Atau zombie? Vampir gitu?” Ekspresi wajahnya masih sebal.

Nara mendengus, “Udah gue duga, omongan lo pasti nggak penting. Udahlah gue balik dul—”

“Nggak sabaran banget. Heran.” Yesha menahan lengan Nara yang hendak pergi.

Spontan Nara menepis tangan Yesha, “Gak usah pegang pegang!”

“Kenapa sih? Lo alergi cowok?”

“Alergi lo! Nggak sudi gue dipegang pegang!” Nara sewot.

Yesha menghela napas. Baiklah, tidak mudah juga ternyata bicara dengan gadis ini. “Oke, sorry. Tapi…lo nggak mau minta sesuatu gitu dari gue? Barang? Atau apalah. Asal lo nggak minta jadi pacar gue aja, secara ini bukan film atau novel romance.”

Nara menatap Yesha tidak percaya, apa katanya? “Lo mau nyogok gue?”

“Eh, negosiasi tepatnya.” Yesha menggeleng.

“Nyogok anjir ini! Brengsek ya lo. Lo pikir gue cewek apaan yang bisa lo kasih uang tutup mulut hah?!” Nara ngamuk. Jika ini film animasi, Yesha bisa melihat tanduk dan kepulan asap diatas kepala Nara. Jelas ia tidak terima dengan ucapan Yesha, harga dirinya sedang dipertaruhkan sekarang.

“Otak lo dimana sih, Sha? Eh, asal lo tahu ya, gue sama sekali NGGAK TERTARIK sama lo atau apapun yang lo lakuin. Sama sekali gue nggak peduli! Dan gue gak ada niat sama sekali buat nyebar gosip gak bermutu tentang lo di sini! Tapi dengan omongan lo barusan gue bisa bikin pengumuman sekarang juga, jangan lupain lo mau nyogok gue biar gue tutup mulut!”

Kacau. Aduh, bukan begitu maksud Yesha. Lelaki itu tidak tahu bahwa Nara akan semarah ini.

Nara berbalik, bermaksud pergi. Tapi Yesha sigap memegang kedua lengan gadis itu. “Tunggu, tunggu, Ra. Oke, gue minta maaf. Gue gak bermaksud ngerendahin harga diri lo atau apapun itu. Sama sekali nggak, gue minta maaf oke? Eh, a-anggap aja kita nggak pernah ngomongin ini. Ya?” Kata Yesha panik. Hidupnya selesai kalau Nara betulan membuat pengumuman ke satu sekolah.

Nara menggeleng. Kecewa berat.

“Ra, please. I’m so sorry, okay? Gue harus apa biar lo mau maafin?”

Nara diam. Melepaskan tangan Yesha dari lengannya. Ia menatap Yesha yang terlihat melas. Sekarang apa? Yesha pikir Nara akan luluh dengan dia memasang puppy face seperti itu? Astaga, yang benar saja. Yesha malah terlihat menyebalkan. Tapi saat ini rahasia besar Yesha ada ditangan Nara. Kenapa tidak dimanfaatkan saja?

Nara menyidekapkan kedua tangan didepan dada. “Oke, gue maafin, tapi dengan satu syarat.”

Wajah Yesha semringah, seolah harapan hidupnya kembali. “Oke, syarat apa?”

“Lo yang bikinin tugas Seni Rupa gue.”

Yesha tersenyum, itu mudah saja. Ia mengangguk. “Setuju.”

“Deal, ya? Besok siang mulai ngerjain, gue tunggu di perpus kota.”

Yesha terlihat menimbang nimbang, “Besok? Sabtu? Minggu aja gimana? Besok gue nggak bisa.”

“Yaudah lupain.”

“Oke, besok! Siang, kan? Agak telat dikit nggak apa apa?”

Nara menghela napas. Mengangguk. “Gue maafin kelakuan lo barusan. Tapi inget, gue masih benci sama lo ya.”

Ekspresi penuh harapan Yesha tersumpal, berubah jadi senyum pahit. “Ya, suatu saat mungkin benci lo bakal hilang. Semoga.”

Perjanjian berakhir. Nara tersenyum dalam hati. Kapan lagi dia bisa mengendalikan si most wanted ini? Semua orang memujinya habis habisan. Nara? Hanya Nara yang berhasil mengendalikannya. Tidak apa apa walau hanya untuk sementara waktu. Yang penting tugasnya selesai.

Sesaat sebelum Nara benar benar pergi meninggalkan Yesha, lelaki itu menahannya untuk kesekian lagi. "Ra, lo nggak mau dengerin penjelasan gue?"

Nara menghela napas, "Apalagi? Udah jelas juga."

"Serius gak mau? Sedikit aja?"

"Nggak, terserah lo."

Setelah berkata demikian Nara berlalu, meninggalkan Yesha. Lelaki itu terdiam lama, menatap punggung mungil Nara yang menghilang dibalik pintu. Yesha menghela napas, mengacak rambutnya. "Ah elah, ada cewek kayak begitu ternyata disini—aduh, sialan, sakit perut gue."

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!