"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah.
Jalanan licin membuat mobil tergelincir.
"Kyaaa!!!"
Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang hingga ke dalam.
"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar.
Seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.
"Selamat datang, gadis berambut hitam."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tidak Suka
Chelsey berdiri sedikit menjauh, menatap Dalian dan Karel yang terus bersitegang dengan nada bercanda. Pertengkaran kecil yang penuh keakraban, seolah menciptakan dunia kecil di mana hanya ada mereka berdua. Di mata Chelsey, pemandangan itu seperti menusuk hatinya...
...perlahan.
Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa sedih yang mendesak naik ke tenggorokannya.
"Kenapa harus mereka?" pikir Chelsey sambil menghela napas pelan. Dia berusaha memasang senyum palsu, meski matanya sedikit berair.
Namun, tidak ada yang menyadari ekspresinya karena fokus mereka tertuju pada Dalian dan Karel.
“Fine!” Dalian berseru, menyerah setelah Karel terus menghalangi usahanya mengikat rambut. “Lo menang lagi. Puas?”
Karel menyeringai. “Gue nggak bilang lo nggak boleh nguncir rambut.”
Dalian mengerutkan dahi. “Tunggu, tadi lo... apa?”
“Gue bilang, lo boleh nguncir rambut, tapi lo harus pake ini.” Dengan santai, Karel mengambil sebuah hoodie hitam yang entah dari mana dia dapatkan dan melemparkannya ke arah Dalian.
“Serius?” Dalian memandang hoodie itu dengan tatapan bingung sekaligus kesal. “Lo pikir gue mau pake ini cuma buat nutupin leher gue?”
Karel mengangkat bahu, senyum jailnya tak hilang. “Atau nggak usah nguncir rambut. Pilihan ada di lo.”
Dalian mendengus, lalu melempar hoodie itu kembali ke Karel. “Gue nggak peduli! Gue bakal nguncir rambut gue, dan lo nggak bisa ngatur gue, oke?”
Karel tertawa kecil, tapi sebelum dia sempat menjawab, Rio mendekat dengan ekspresi bingung. “Ada apa ini? Ribut banget dari tadi.”
Para anak-anak basket yang sedang berlatih ikut menoleh, sebagian bahkan sudah berbisik-bisik, menonton dari jauh.
“Ah, nggak ada apa-apa,” jawab Dalian cepat, mencoba menghindari perhatian lebih.
Sementara itu, Karel justru menatap Rio dengan pandangan tajam yang sulit diartikan. “Ngomong-ngomong, hoodie ini punya siapa?” tanya Karel, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Rio tertawa kecil. “Punya gue. Kenapa, lo mau pinjam?”
Karel mengangguk tanpa malu-malu. “Iya. Gue butuh buat nutupin lehernya Dalian.”
“KA-REL! Elo sengaja ya?!!" Dalian berseru, benar-benar kesal kali ini. Dia melemparkan karet rambutnya ke arah Karel, yang berhasil menangkapnya dengan mudah sambil terkikik puas.
Di sudut lapangan, Chelsey diam-diam mundur, mencoba menghindari sorot mata siapa pun. Dia tahu Dalian dan Karel memiliki hubungan yang berbeda, dan semakin dia melihat keakraban mereka, semakin dia merasa kecil hati.
“Gue nggak punya tempat di antara mereka,” bisik Chelsey dalam hati, memutuskan untuk pergi tanpa memberi tahu siapa pun.
Akhirnya, Dalian mengenakan hoodie milik Isana, menutupi lehernya seperti yang diminta Karel. Rambutnya yang biasanya tergerai kini tertarik rapi, namun pergerakan energiknya membuatnya tampak lebih dinamis dan bersemangat.
Begitu Dalian bergerak, semua mata tertuju padanya—gerakannya cepat, tepat, dan penuh semangat. Keahliannya bermain basket memukau para penonton yang berdiri di sekeliling lapangan.
"Wow, Dalian hebat banget!" seru salah satu anak basket sambil mengamati setiap gerakan Dalian.
Bahkan Rio, yang sejak tadi berdiri agak jauh, ikut tersenyum melihat bagaimana Dalian mengendalikan bola dengan lincah.
Dalian melemparkan bola ke rekan setimnya, dan gerakan passing-nya begitu mulus dan cepat, membuat tim lawan, yang dipimpin oleh Rio, tertegun. Tiap kali dia melompat untuk melakukan lay up atau melepaskan tembakan tiga angka, dia seperti membakar semangat timnya, menciptakan suasana yang penuh energi di lapangan.
Namun, meski Dalian tampil begitu cemerlang, Karel yang berdiri di pinggir lapangan mulai merasakan ketegangan yang aneh di dadanya. Pandangannya tertuju pada Rio, yang meskipun tampak tenang dan santai, terlihat memberikan perhatian khusus pada Dalian.
Canda tawa Rio dengan timnya semakin sering terdengar, seolah dia menikmati setiap momen yang berhubungan dengan Dalian.
"Lu liat gak tadi waktu dia lompat?" bisik Rio. "Gila, Dalian makin hari makin... bentuknya tuh, aduh."
Temannya menoleh, mengangkat alis, "Bukan cuma jago main, tapi juga... proporsinya tuh pas banget. Gue aja susah fokus kalau dia udah dribble ke arah kita."
Karel tidak suka perasaan itu.
Lalu, dengan gerakan impulsif, Karel melangkah maju menuju lapangan dan tanpa peringatan, merebut bola yang sedang dibawa oleh seorang pemain tim lawan.
"Hei, Karel!" teriak Dalian, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Karel tidak menjawab, hanya tersenyum sinis saat bola itu dia operkan ke rekan setim Isana dan berlari untuk memposisikan diri.
"Lo main basket, kan? Kenapa gue nggak boleh?" serunya sambil memotong jalur Rio yang ingin merebut bola Dalian.
Rio, yang awalnya terkejut, segera menanggapi tantangan itu dengan senyum lebar. "Ternyata lo pengen ikut main, Karel? Baiklah, gue siap bikin lo kehabisan tenaga."
Dengan itu, persaingan pun dimulai. Tim Isana dan tim lawan kini menjadi dua kekuatan yang saling bersaing sengit. Karel dan Rio, masing-masing memiliki gaya permainan yang agresif dan penuh tekad.
Dalian terjebak di tengah-tengahnya, berusaha untuk fokus pada permainan, meski matanya sesekali melirik ke arah keduanya yang saling beradu sengit di lapangan. Karel bermain dengan intensitas yang luar biasa, setiap gerakannya tajam dan penuh strategi.
Namun, Dalian tidak kalah—dia terus berlari dan bergerak bebas, menari di lapangan seolah dia adalah pusat dari permainan itu. Setiap kali bola berpindah tangan, dia selalu menemukan cara untuk mengalahkan pertahanan lawan.
Rio mencoba untuk menekan Dalian dengan cara yang lebih langsung, menghalangi pergerakannya dan memberi tantangan lebih berat. Namun, Dalian dengan sigap menghindar, melepaskan diri dari cengkeraman Rio, lalu melakukan passing kepada Karel yang sudah menunggu di sudut lapangan.
Pemandangan itu—Dalian bekerja sama dengan Karel, berinteraksi dalam permainan—membuat suasana di lapangan semakin tegang. Para pemain dari kedua tim mulai merasakan ketegangan yang aneh di udara, terutama ketika Karel secara jelas mengabaikan timnya dan hanya fokus untuk mendekati Dalian.
Kemenangan seolah bukan hanya soal bola, tetapi juga tentang siapa yang bisa lebih mendekati Dalian di lapangan, dan itu membuat Rio semakin kesal. Setiap kali bola berada di tangan Dalian, Karel selalu berusaha untuk mendekat dan memberikan dukungan, sementara Rio berusaha merebut bola dan menahan setiap gerakan Dalian.
Ini bukan hanya pertandingan basket, tapi juga sebuah kompetisi diam-diam antara Karel dan Rio, yang sama-sama berusaha menjadi pusat perhatian Dalian.
"Gue akan bikin elo sibuk, Rio." batin Karel.
Suasana semakin memanas, para penonton yang menyaksikan dari pinggir lapangan semakin bersorak, mendukung masing-masing tim dengan semangat tinggi.
Namun, bagi Dalian, permainan ini mulai terasa lebih rumit dari yang seharusnya. Dia ingin menang, tentu saja, tapi dia juga merasa terjebak di antara dua orang yang, dengan cara mereka masing-masing, sedang berusaha sibuk sendiri.
Ketegangan di lapangan semakin terasa seiring berjalannya waktu, dan Dalian hanya bisa berusaha tetap fokus. Namun, dengan setiap detik yang berlalu, semakin jelas bahwa permainan ini lebih dari sekedar kompetisi olahraga.
"Astaga, dua cowok itu," geram Dalian. "Gue ingin banget lempar mereka berdua ke lauutt!!" Teriaknya.
aku sudah mampir yah kak "Fight or Flight"