Saat membaca judul ini, pasti di benak kalian berpikir ini cerita tentang sugar Daddy bersama gadis mudanya, kan? Tentu saja itu salah besar. Ini merupakan kisah percintaan terlarang antara Ayah kandung dan putri biologisnya sendiri. Eit, jangan emosi dulu. Author tidak menormalisasi hubungan sedarah kok, ini terjadi karena ada sebab dan akibatnya juga. Bagaimana itu bisa terjadi? Penasaran? Ikuti terus kisah cinta terlarang yang penuh dengan kontroversi.
...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marthin Liem, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjebak
Kedu mata Laura terus memperhatikan pergerakan Hans, sampai-sampai ia sedikit tidak fokus, karena bayangan-bayangan kotor terus menari-nari dalam benaknya.
"Aku rela menyerahkan kesucianku padanya," batin Laura seraya meneguk ludah dengan kasar.
"Laura," seru Hans suara baritonnya mampu menggetarkan jiwa, membuat jantung wanita itu berdebar tak menentu. Laura menatap dada bidang Hans di balik seragam ketat putihnya yang tercetak sempurna.
"Wih, gilaa, keren banget pria satu ini." Laura menggelengkan kepala, berdecak kagum akan penampilan paripurna Hans.
Lelaki bertubuh jangkung itu sedikit membungkuk, hingga kedua mata mereka bersitatap selama beberapa detik, seakan waktu berhenti berputar tatkala Hans mendekatkan wajahnya, membuat Laura bisa merasakan aroma tubuh pria ini dari dekat, serta bisa menikmati mahakarya Tuhan yang begitu memikat.
"O My God! Jantungku bisa copot!" gumamnya, Laura mengigit tepi bibirnya ketika Hans tersenyum miring.
Lelaki itu membunyikan jemari untuk menyadarkan Laura dari lamunannya.
"Sejak kapan kamu menjadi patung?" sindir Hans, Laura segera menegakan posisi tubuhnya karena gugup.
"Ehm... Maaf Pak," ucap wanita tersebut seraya menggaruk belakang kepala yang tak gatal untuk mengatasi kegugupannya.
"Saya sudah tidak ada keperluan lagi denganmu, jadi, silahkan kamu lanjutkan pekerjaan mu!" titah Hans tegas, wajahnya selalu saja datar.
Ia masih berdiri menghadap wajah tegang Laura sembari melipat kedua tangan di dadanya, membuat tubuh wanita itu seolah kaku dan sulit untuk melakukan pergerakan.
Hans mendongak ke bawah, menatap kedua tungkai kaki wanita tersebut.
"Kamu kedinginan?" tanya lelaki itu ketika tungkai kaki Laura gemetar.
"Hehe... " Laura menjawab dengan senyuman lebar, ia mencoba mengatur nafas, sebelum akhirnya bisa menggerakan tubuh secara normal.
"Ck! Dasar perempuan aneh!" Pekik Hans, ia kembali ke kursi kebersarannya untuk memulai pekerjaan.
Ketika Laura berhasil keluar dari ruangan sang Boss, ia mendapat tatapan aneh di sertai tawa oleh rekannya yang bernama Windi.
"Eh, kenapa tuh muka kamu pucat begitu? Abis lihat hantu?" tunjuk Windi, Laura tersenyum kikuk.
"Abisnya aku degdegan waktu berhadapan dengan Pak Hans," bisik Laura, Windi bisa merasakan telapak tangannya yang dingin dan basah.
"Ah elah, lebay amat sih kamu!" ejek Windi merasa reaksi Laura terlalu berlebihan.
...
Ketika jam istirahat tiba...
Laura keluar dari dalam ruangannya, ia mengamati Hans dari kejauhan yang sedang mengobrol serius bersama Andi sang asisten.
Laura tak henti-hentinya mengagumi pria tersebut, meski ia tahu Hans tak mungkin memiliki perasaan yang sama, karena Laura merasa ia bukanlah tipe wanita yang diinginkan oleh sang Boss.
Saat berada di kantin, Laura mengungkapkan isi hati yang ia pendam selama 2 tahun ini kepada rekannya, ia berkata sudah sejak lama mengagumi Hans, akan tetapi tak ada tanda-tanda Hans membalas sinyal cintanya sampai detik ini.
"Laura, seharusnya kamu sadar diri, dan Move on, karena Pak Hans sudah jelas-jelas tidak menaruh hati padamu!" ujar Windi sembari mengaduk jus alpukat menggunakan sedotan, Laura menekuk wajahnya.
"Tapi kan, aku belum mengatakannya, masa aku udah nyerah gitu aja!" cetus Laura seakan pantang menyerah agar bisa menaklukan hati sang Boss.
Berbagai upaya sudah ia kerahkan; dari perawatan tubuh, berdandan menggunakan make-up bold, sampai menggunakan seragam seksi, demi untuk menarik perhatiannya. Namun, semua itu hanya berujung sia-sia.
Windi tertawa puas mendengar curahan hati rekannya tersebut.
"Laura, makannya kalau mimpi itu jangan ketinggian! Dari pada mengejar, mending di kejar! Ngapain kamu berusaha membuat dia suka sama kamu kalau tahu itu mustahil, sebaiknya kamu terima saja lamaran si Asep!" cerocos Windi yang tak bisa berhenti tertawa melihat wajah Laura yang penuh dengan keputusasan.
"Ah!" Laura berdesah kesal atas ledekan yang di layangkan Windi.
"Kamu itu bukannya support aku! Ini malah ngeledekin!" pekik Laura, memutar kedua matanya kesal.
"Eh, aku punya ide, kalau tidak dengan cara biasa, gimana kalau kamu lakuin dengan cara anti mainstream," cetus Windi, membuat kening Laura mengernyit bingung.
"Maksud kamu?"
Windi dengan cepat membisikan sesuatu di telinga sahabatnya itu, membuat kedua mata Laura membola dalam sekejap.
"Aish! Itu ide gila! Hmm... Tapi boleh juga," bisik Laura menyetujui usul Windi.
Ia kini berencana melakukan ide tersebut supaya bisa mendapatkan Hans.
Pada saat akan pulang, ketika itu Laura masih berada di ruangan Hans, ia secara diam-diam membawa berkas notulen hasil rapat yang tergeletak di atas meja kerja sang Boss untuk menjalankan aksi tersebut, kemudian melengos pergi setelah berpamitan dengan langkah yang terburu-buru, agar Hans tak segera menyadari dan mungkin akan menanyakan berkas tersebut.
Setengah jam kemudian, saat Hans melirik sejenak ke atas meja, ia terkejut ketika mengetahui berkas hasil meeting nya raib, padahal itu catatan rangkuman yang sangat penting.
"Sial! Kemana berkas itu? Padahal aku menaruhnya disini?" gerutu Hans, ia beranjak sejenak dari kursi, dan menyisir pandangannya di setiap sudut. Namun, hasilnya nihil. Lantas ia segera menelpon sang Asisten.
"Andi, apa kamu membawa notulen di atas meja saya?" tanya Hans, karena yang masuk ke dalam ruangannya hanya Andi dan Laura.
"Tidak tuh, mungkin Laura, Pak," jawab Andi mengarahkan pada Laura.
Hans menghela nafas sejenak sebelum menelpon wanita tersebut.
"Halo, Laura," seru Hans di telpon.
Laura yang sudah sampai di rumahnya tersenyum miring saat mendapati telpon dari Hans, karena itulah momen yang ia tunggu-tunggu.
"Oh, Bapak pasti menanyakan notulen? Duh, maaf ya, saya kelupaan malah membawanya pulang, soalnya bertumpuk dengan file-file milik saya," terang Laura beralasan, tak sabar untuk mengetahui reaksi Hans.
"Kembali secepatnya! Saya akan menyalin semuanya!"
Laura lantas berpura-pura terbatuk-batuk saat di telpon.
"Aduh Pak, maaf sekali, saya tidak bisa pergi, kepala saya pusing, dan juga batuk-batuk, bapak dengar kan?" Laura mencoba berakting agar terdengar natural, bahkan ia sudah bekerja sama dengan Andi untuk itu.
"Ya sudah!" Hans mematikan obrolan sepihak, lalu mengutus Andi untuk pergi ke rumah Laura, tetapi Andi mencari alasan agar Hans yang bergerak sendiri.
"Segera lakukan perintah saya!" titah Hans dengan tegas, Andi meringis sambil memegangi perutnya.
"Aduh Pak, perut saya sakit, maaf sekali, dari pada saya kecipirit di celana kan bahaya." Andi lari tunggang langgang berpura-pura tak tahan untuk ke toilet, membuat Hans berteriak frustasi akan tugas yang tak dapat ia tunda.
"Argh! Berengsek semuanya!" dengan langkah tegas, ia keluar dari ruang pribadinya untuk mendatangi rumah Laura.
Ia meminta Laura agar segera meng-share alamat yang akan dituju.
Dengan senyum penuh kegirangan Laura tak sabar menanti kedatangan Hans, ia berdandan, mengenakan dress tipis, dan tentu saja menyiapkan sesuatu agar aksinya berhasil.
Tak butuh waktu lama, mobil sport yang di kendarai pria itu berhenti sempurna tepat di depan pagar rumah Laura.
Hans mendaratkan kakinya dari dalam kendaraan mewah tersebit, kemudian berjalan dengan gagah menuju ke pintu.
Belum sempat menekan bell, wanita itu sudah menyambutnya terlebih dulu.
"Selamat sore menjelang malam, Pak," sapanya tersenyum, dan menunduk malu-malu.
"Ya, sore! Langsung saja, mana?" Hans menengadahkan telapak tangannya seperti tak ingin berlama-lama berada disana.
"Bapak bisa masuk dulu, soalnya tadi saya lupa taruh dimana, saya mau cari dulu," jawab Laura memantik emosi terhadap Hans.
"Apa kamu bilang? Hei, jangan banyak bercanda dengan saya! Saya butuh notulennya sekarang!" desak Hans, Laura menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal.
"Iya-iya, saya tahu, Bapak tenang saja, saya menyimpannya dengan aman." Penjelasan Laura terlalu berbelit-belit membuat Hans memicingkan kedua matanya tajam, rahangnya tampak menegas.
Dengan berbagai upaya, akhirnya Laura berhasil membujuk lelaki itu agar mau menunggu di ruang tamu.
"Tunggu sebentar ya Pak, saya mau buatkan minum untuk Bapak." wanita itu melangkah menuju ke dapur, ia segera melakukan rencananya, membuatkan kopi lalu memasukan serbuk putih kedalam minuman tersebut.
Tak lama kemudian, ia kembali sembari membawa nampan, lalu membungkuk serendah-rendahnya untuk memperlihatkan belahan dadanya di hadapan Hans. Namun, lelaki itu dengan cepat mengalihkan pandangan, merasa terusik dengan cara berpakaian Laura yang terlalu minim.
"Silahkan kopinya diminum dulu, Pak!" kata Laura.
Meski tanpa selera, Hans meraih cangkir kopi itu untuk menghargai Laura, kemudian menyeruput secara perlahan.
Tak lama setelah itu, Hans merasakan sensasi aneh yang menjalar di tubuhnya, rasa gerah di sertai sedikit sesak, sehingga ia melonggarkan dasi dan membuka 4 anak kancing kemejanya.
Laura melempar senyum sinis merasa rencananya akan berhasil untuk menguasai tubuh Hans.
"Pak... " goda Laura, ia memberanikan duduk di samping pria tersebut, lalu bergelayut manja, menempelkan kepala di bahunya. Tampaknya Hans sama sekali tidak menghindar, tiba-tiba lengannya merayap, dan melingkar di bahu wanita tesebut.
Darah dalam tubuh Laura semakin berdesir ketika mencium aroma maskulin yang menguar di tubuh Hans, ia semakin berhasrat pada pria tersebut meski usia mereka terpaut jauh, yakni selisih 10 tahun. Tapi entah mengapa, pesona Hans seakan sulit untuk di bantah.
...
Bersambung...