Selama tiga tahun menikah, Elena mencintai suaminya sepenuh hati, bahkan ketika dunia menuduhnya mandul.
Namun cinta tak cukup bagi seorang pria yang haus akan "keturunan".
Tanpa sepengetahuannya, suaminya diam-diam tidur dengan wanita lain dan berkata akan menikahinya tanpa mau menceraikan Elena.
Tapi takdir membawanya bertemu dengan Hans Morelli, seorang duda, CEO dengan satu anak laki-laki. Pertemuan yang seharusnya singkat, berubah menjadi titik balik hidup Elena. ketika bocah kecil itu memanggil Elena dengan sebutan;
"Mama."
Mampukah Elena lari dari suaminya dan menemukan takdir baru sebagai seorang ibu yang tidak bisa ia dapatkan saat bersama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29. TERGANGGU
Keputusan untuk makan siang bersama bukan hanya membuat Theo senang, tetapi juga memberikan cahaya berbeda pada wajah Elena. Ada sesuatu yang begitu hangat ketika Hans mengambil mantel tipis Elena dan memakaikannya pada wanita itu, sementara Theo berlarian kecil mengelilingi meja besar di ruangan tersebut.
"Pelan sedikit, Theo," tegur Elena, tapi senyum tetap mengembang di bibirnya.
"Aku tidak bisa!" Theo meloncat kecil. "Aku terlalu senang!"
Hans hanya menggeleng, tetapi tatapan matanya dipenuhi kasih sayang. "Aku rasa anak kita ini harus dialihkan energinya sebelum dia membuat kacamataku pecah."
"Kau tidak memakai kacamata, Hans," Elena memotong.
Hans terdiam sesaat. "Tapi itu bukan poinnya."
Elena tertawa kecil. "Baiklah, Mr. Morelli. Ayo pergi sebelum anakmu meruntuhkan kantor."
Dengan penuh kemanjaan yang tidak pernah ia tampilkan kepada siapa pun di luar rumah, Hans menarik tangan Elena. Jari mereka saling bertaut, dan momen itu saja sudah cukup untuk membuat beberapa karyawan yang kebetulan lewat tercekik udara melihat CEO mereka bersikap ... romantis.
Sementara itu Theo berjalan sedikit di depan mereka, meminta pintu otomatis terbuka lebih cepat seolah-olah sensor itu akan mendengar permintaannya.
Saat mereka menuju lift, beberapa staf berdiri dan menunduk sopan, menyapa mereka dengan hormat. Hans memeluk bahu Elena sedikit, seakan memastikan siapa pun yang memandang tahu: ini istrinya.
Dan Hans tidak akan membiarkan siapa pun melihat wanita itu dengan pandangan merendahkan.
Begitu lift terbuka, mereka masuk bertiga.
Sebelum pintu menutup, Elena sempat melihat sekertaris Hans berdiri tak jauh dari sana, tatapannya mengarah pada Hans dengan sesuatu yang bukan sekadar profesional. Tidak terang-terangan, tidak vulgar, tetapi cukup untuk membuat insting kewanitaannya merasakan ketidaknyamanan.
Dan Hans, sialnya, tidak memperhatikan itu sama sekali.
Elena mengembuskan napas perlahan.
Pintu lift pun menutup.
Begitu mereka tiba di lantai lobi dan keluar dari lift, Theo langsung berseru ketika melihat air mancur mini yang tadi menarik perhatiannya.
"Boleh Theo lihat dulu sebelum kita pergi?" tanya Theo dengan mata berbinar selayaknya anak anjing.
Hans langsung menurunkan badan, menyamai tinggi Theo, dan mengusap rambut bocah itu. "Boleh. Lima menit. Setelah itu kita pergi makan."
Theo melompat kegirangan dan berlari kecil ke arah air mancur.
Elena yang berdiri di sisi Hans memerhatikan pemandangan itu dengan senyum lembut. "Kalian benar-benar mirip, tahu? Kadang aku bingung mana yang lebih kekanak-kanakan."
Hans memasukkan kedua tangan ke saku celananya, menoleh ke arah istrinya. "Aku? Kekanak-kanakan?"
Elena menyipitkan mata. "Ya. Kau."
Hans mendekat pelan, bibirnya terangkat nakal. "Kalau begitu, bisakah bocah ini mendapatkan ciuman sebelum makan siang?"
Sebelum Elena sempat menjawab, Hans memiringkan kepala, mendekat ...
Tapi Elena segera mendorong wajahnya. "Jangan di lobi, Hans! Banyak orang."
Hans mendengus. "Biarkan saja mereka melihat."
"Tidak," tolak Elena.
Hans berdeham dramatis. "Aku merasa ditolak."
"Bagus. Pelajari rasanya," ujar Elena walau wajahnya sudah merona.
Hans tertawa kecil, dan suaranya hangat sekali, membuat Elena ikut tersenyum.
Beberapa menit kemudian, Theo kembali dengan langkah kecil yang tidak bisa menyembunyikan semangatnya.
"Ayo kita makan!"
Hans mengemudikan mobil hitam mewah, sementara Elena duduk di sampingnya dengan Theo di kursi belakang, menyanyikan lagu-lagu acak yang nada maupun liriknya berubah setiap lima detik. Suasana mobil dipenuhi tawa Theo dan sahutan canda Hans, membuat Elena merasa seolah mereka bertiga adalah dunia kecil yang tidak bisa disentuh siapa pun.
Namun di tengah perjalanan, Elena memalingkan wajah ke jendela. Pikiran tentang sekertaris Hans kembali mengusik.
Gerakan condong yang terlalu dekat.
Nada bicara yang terlalu lembut.
Tatapan yang terlalu lama.
Dan ketika Hans tadi memeluk bahunya di lobi, Elena sempat menangkap sekertaris itu masih memandang dari jauh.
Seolah tak suka.
Seolah ingin berada di posisi Elena.
"Mama?" suara Theo membuyarkan lamunannya.
Elena tersenyum. "Ya, sayang?"
"Mama sedih?" tanya Theo.
Hans mendengar itu. Pria itu langsung melirik Elena sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. "Sedih?" tanyanya pelan. "Kenapa?"
Elena menggeleng cepat. "Tidak apa-apa."
Hans tidak percaya. Dia bisa mengenali setiap perubahan kecil pada istrinya.
"Elena." Nada suara Hans rendah, tegas, penuh perhatian. Sarat akan kekhawatiran.
"Aku hanya ... memikirkan hal kecil," jawab Elena.
"Hahh ...," Hans mengembuskan napas. "Hal kecil yang membuatku ingin berhenti di pinggir jalan untuk memaksamu bicara."
Elena memutar bola mata. "Hans. Kita bersama Theo."
"Oh, jadi kalau tanpa Theo aku boleh memaksamu bicara?" tantang Hans.
"Tentu tidak," jawab Elena.
Hans terkekeh. "Yakin?"
Elena ingin membalas, tetapi Theo sudah menyela dengan suara lantang, "Papa jangan ribut sama Mama!"
Hans dan Elena langsung terdiam.
Lalu mereka berdua tertawa kecil.
Hans merentangkan tangannya sebentar, menepuk tangan Elena yang berada di pangkuannya. "Kalau kau tidak ingin membicarakannya sekarang, tidak apa. Tapi jangan simpan sendiri."
"Baik," sahut Elena lembut.
Dan entah kenapa, itu membuat dadanya sedikit lebih ringan.
Restoran yang mereka kunjungi adalah tempat favorit Hans dan Elena, sebuah restoran Italia dengan ruangan luas, sofa kulit lembut, dan aroma herba yang menenangkan. Pemilik restoran bahkan tahu Hans dan Elena secara pribadi dan selalu memerlakukan mereka seperti tamu istimewa tanpa membuat suasana terlalu kaku.
Begitu mereka masuk, pemilik restora; Gianni, pria Italia paruh baya, langsung tersenyum lebar.
"Signor Morelli! Dan ... ah! La bella signora!," Gianni mencium punggung tangan Elena, membuat Hans otomatis berdiri dingin di belakang istrinya seperti singa menjaga wilayah. "Dan putra tampan kalian!"
Theo membusungkan dada. "Aku tampan," ujarnya bangga.
Elena tertawa. "Iya, sayang, kau tampan."
Hans hanya menghela napas. "Semua orang di keluarga ini terlalu percaya diri."
"Tentu saja," jawab Elena, "itu karena kepala keluarga sangat percaya diri."
Hans menyipitkan mata dengan ekspresi seolah diejek. "Aku merasa disindir."
Elena mengangkat bahu. "Anggap saja begitu."
Mereka duduk di meja favorit Hans, agak di sudut, cukup privat untuk percakapan keluarga.
Theo langsung mengambil buku menu dengan wajah serius penuh perhatian, seperti hendak memilih solusi dari sebuah kasus hukum penting.
"Aku mau ... spaghetti panjang sekali dengan saus merah banyak!" serunya setelah meneliti halaman paling depan.
Gianni tertawa. "Baik, anak kecil yang tampan."
Elena menatap Hans. "Dan kau?"
"Yang biasa," jawab Hans datar.
"Aku tahu," Elena menghela napas. "Risotto jamur truffle."
Hans mengangkat alis. "Kau hafal semua yang kusuka."
"Karena kau memesan menu yang sama sejak kita menikah," kata Elena.
Hans membuka mulut, hendak membalas, tapi Elena lebih dulu menambahkan, "Dan jangan berkata itu karena kau setia. Ini bukan soal kesetiaan, tapi soal kebiasaan buruk."
Hans memutar bola mata. "Aku menyerah."
Elena tersenyum puas. "Bagus."
Setelah Gianni pergi membawa pesanan, suasana sejenak tenang. Theo sibuk menggambar manusia stik di buku menu anak-anak yang disediakan restoran.
Hans menatap Elena.
Tatapannya lembut. Dalam. Seolah ingin menembus apa pun yang disembunyikan wanita itu.
"Elena?" panggil Hans, lembut.
"Hm?"
"Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya Hans akhirnya.
Elena mengalihkan pandangan. "Bukan apa-apa."
"Elena," tegur Hans.
Nada itu lagi. Nada yang membuat wanita itu tahu Hans tidak akan berhenti sampai ia bicara.
Elena akhirnya menjawab pelan, "Aku hanya merasa sekertarismu ... agak berlebihan."
Hans terdiam.
Tak ada kerutan marah di wajahnya. Tidak juga senyum mengejek. Hanya ketenangan dingin yang familier.
"Berlebihan bagaimana?" tanya Hans akhirnya.
Elena memainkan ujung serbet. "Dia ... terlalu dekat denganmu. Terlalu lembut. Terlalu ... 'sesuatu'. Tidak profesional."
Hans tidak langsung menjawab. Ia mengamati wajah Elena, jelas mempertimbangkan respons yang tepat.
Lalu lelaki itu meletakkan tangannya di atas tangan Elena.
"Elena?" panggil Hans lagi.
"Ya?"
"Aku tidak peduli pada siapa pun di kantorku selain pekerjaan mereka. Tidak peduli seberapa dekat seseorang berdiri, aku hanya melihatmu. Bahkan jika itu Ronald sekali pun," kata Hans.
Elena mengerjap lalu tekekeh, "Roland jadi ikut terlibat sekarang."
"Dan kalau wanita itu berani melewati batas sekali saja," tambah Hans, "dia akan mendapatkan surat pemecatan paling menyakitkan dalam sejarah."
"Surat rekomendasi biasanya bagus, Hans," komentar Elena.
"Yang ini isinya hanya satu kalimat: 'J****g tidak tahu diri'," kata Hans.
Elena tidak bisa menahan senyum. "Kau ... keterlaluan."
Hans mengangkat bahu. "Aku hanya jujur."
Untuk pertama kalinya sejak kejadian di kantor, Elena merasa lega.
Meski begitu, sesuatu masih membuatnya penasaran.
Elena memiringkan kepala. "Hans, kau yakin tidak ada yang ...."
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimat, Hans mendekat sedikit.
"Tidak ada yang menarik perhatianku selain istriku sendiri selama bertahun-tahun sejak pertama kali aku melihatmu," tegas Hans, namun penuh kehangatan.
Dan entah kenapa ... kata-kata itu berhasil menenangkan Elena lebih dari apa pun.
kalo aku di depa Hans : Hans itu di gendong bukan malah dituntun woyyy, udah kesakitan itu paokkk, kapan sampe rumah sakit nya kalo di tuntun begitu, biar tambah bingung Hans nyaa 🤣🤣🤣
tenang Hans Raven dah berubah dah kena karma nya dia 😁
bab ini aku terhura 🥹
mirisnya hidup mu.