Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelajaran untuk Inara
Rayyan melangkah pelan menuju kursi sofa di kamarnya, pandangannya langsung tertuju pada sofa panjang di sudut ruangan. Di sana, Inara, istrinya dalam pernikahan kontrak telah tertidur pulas. Rambut hitamnya sedikit menutupi wajah, dan yang paling menarik perhatian Rayyan adalah... mulutnya sedikit menganga.
Rayyan tersenyum tipis, senyum jahil yang jarang ia tunjukkan. Ini adalah kesempatan emas untuk menjahili wanita yang selalu bersikap sok polos dan juga lugu di hadapannya itu. Ia mendekat perlahan, kemudian berjongkok di samping sofa, tepat di telinga Inara.
"Inara! Inara, bangun!" bisik Rayyan dengan nada mendesak.
Inara hanya menggeliat. Rayyan menarik napas, lalu melancarkan aksinya.
"Sstt... ada... ada ular kecil! Ular melintas di kursi sofa, di dekat kakimu! Cepat bangun!"
Reaksi Inara benar-benar di luar dugaan. Matanya langsung terbelalak, memancarkan kengerian. Sarafnya yang paling peka, yaitu ketakutan akan hewan melata, langsung bereaksi. Tanpa pikir panjang, ia melompat dari sofa.
Ia tidak berlari menjauh, melainkan secara refleks menerjang ke depan, ke arah satu-satunya orang yang ia anggap perlindungan. Tubuhnya menubruk Rayyan, dan kedua tangannya langsung melingkar erat, memeluk pinggang Rayyan. Wajahnya disembunyikan dalam-dalam di dada suaminya, bersembunyi dari bayangan ular yang ia dengar.
Suara Inara gemetar dan teredam.
"Hah... Hah... Jauhkan! Tuan Rayyan, jauhkan! Saya mohon..."
Rayyan terperangah sejenak. Pelukan itu begitu mendadak dan erat, tubuhnya terpaku. Beberapa detik kemudian, ia tertawa. Tawa keras, terbahak-bahak, dan puas.
"HAHAHAHAHA! Ya ampun, Inara! Kau benar-benar..."
Tawa Rayyan terhenti saat menyadari keheningan yang tiba-tiba menyelimuti mereka. Inara masih memeluknya erat, gemetar, dan tidak berani mendongak. Rayyan berdehem pelan, raut wajahnya kembali dingin, senyum jahilnya menghilang digantikan ekspresi meremehkan.
"Ehm! Kau sengaja ingin menggodaku hah? Bukankah di dalam surat perjanjian jelas tertulis kalau di antara kita tidak boleh ada kontak fisik?" Rayyan mendorong sedikit bahu Inara agar wanita itu sedikit menjauh.
"Tapi kenapa sekarang kau malah memelukku? Oh, apakah kau sudah tidak tahan karena tidak mendapatkan belaian dari seorang pria? Itu sebabnya kau sengaja menjebak ku dengan memanfaatkan kebaikan ibuku untuk mendekatiku, hah? Dasar wanita mur ahan tidak tahu diri!"
Mendengar tuduhan keji itu, Inara tersentak seolah baru tersadar sepenuhnya. Ia langsung menarik diri, wajahnya memerah karena malu dan marah.
"Anda salah paham, Tuan! Saya tidak seperti itu! Jangan asal menuduhku!"
Saat Inara berusaha berbalik, Rayyan tidak memberinya kesempatan. Dengan gerakan cepat dan kasar, ia meraih pinggang Inara, menggendongnya ke atas bahu, dan melemparkannya ke atas ranjang tempat tidur berukuran king size di belakang mereka.
Tubuh Inara mendarat empuk, namun getaran hebat menjalar di sekujur tubuhnya. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Rayyan sudah berada di atasnya, mengungkung dengan kedua lengan di sisi kepala Inara.
"Bukankah ini yang kau mau hah? Kau haus akan belaian dan sentuhan seorang laki-laki? Tenang saja, Sayang, aku akan memuaskan kamu di atas ranjang malam ini!"
"Saya bilang tidak! Lepaskan saya Tuan!" Inara berusaha melepaskan tubuhnya dari cengkeraman lengan Rayyan yang begitu kuat. Air mata mulai menggenang di matanya.
"Alah, jangan munafik kamu! Kamu itu kan seorang janda dan pastinya sangat haus akan belaian seorang laki-laki, iya kan...?"
Rayyan tidak menunggu jawaban. Ia mulai bertindak kurang ajar. Tangannya menarik kerah piyama kemeja Inara hingga kancing pertama terlepas dengan bunyi tek yang nyaring. Bibirnya turun dan menyentuh tulang selangka Inara yang seputih susu.
Inara menangis sejadi-jadinya, melawan dengan seluruh tenaganya di bawah kungkungan Rayyan. Ia berhasil menemukan celah, dan dengan sisa keberaniannya, ia melayangkan telapak tangannya.
PLAK!
Suara tamparan itu begitu keras, memecah keheningan di dalam kamar. Rayyan seketika menghentikan aksinya. Ia mengangkat kepalanya dari leher Inara, menatap wanita itu yang kini terisak dan menatapnya penuh kebencian.
Bukannya marah, Rayyan malah tertawa. Tawa yang kali ini terdengar lebih keras dan mengerikan daripada tawa jahilnya tadi.
"Hahahaha! Kau tenang saja, Inara. Kau tidak perlu berjuang mati-matian seperti itu." Rayyan berguling ke samping, menjauh dari tubuh Inara.
"Karena pria yang saat ini telah menjadi suamimu ini adalah pria yang... impoten."
Tawa Rayyan berubah menjadi seringai dingin dan tajam.
"Sekarang kau sudah tahu siapa aku yang sebenarnya, dan sekarang enyahlah dari hadapanku, sekarang! Aku sangat membencimu, dasar wanita mur ahan!"
Inara bangkit terduduk. Seluruh tubuhnya sakit, hatinya hancur berkeping-keping. Tanpa berkata-kata, ia segera turun dari ranjang, merapikan piyamanya yang sudah kusut, dan berlari keluar dari kamar itu.
Air mata membasahi pipinya seiring ia mencari kamar putranya. Ia tak menyangka, suaminya akan bertindak gila dan tidak senonoh seperti ini, hanya untuk memberinya pelajaran. Ia menangis terisak, meringkuk di depan pintu kamar anaknya, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.
Suster Ana terkejut saat Inara masuk secara tiba-tiba ke dalam kamar, ia buru-buru beranjak dari atas tempat tidurnya dekat box bayi, dimana Baby Daffa sudah tertidur pulas.
"Loh Nyonya, kenapa anda ada di sini?"
"Saya ingin tidur di sini bersama dengan putraku, Sus!"
"tapi Nyonya, nanti kalau sampai Nyonya besar tahu bisa kacau!" balas Suster Ana cemas.
Namun sepertinya Inara tak menghiraukan semua itu, ia tetap pada keputusannya, mengingat kejadian yang barusan, ia seolah tidak ingin lagi kembali ke kamar tidurnya apalagi bertemu dengan suaminya yang sangat ia benci.
Suster Ana hanya bisa pasrah, ia berharap kejadian ini tidak sampai ketahuan oleh Nyonya Martha.
Keesokan harinya, Rayyan mencari keberadaan Inara, setelah kejadian semalam, ia merasa belum puas untuk memberikan pelajaran pada wanita itu, sampai akhirnya ia tiba di ambang pintu kamar Baby Daffa yang posisinya berdekatan dengan kamarnya, tanpa mengetuk pintu, Rayyan menerobos masuk, dan ia melihat pemandangan dimana Inara sedang duduk menghadapnya dan memberikan Asi untuk putranya, Rayyan yang melihat hal itu, ia langsung membalikkan badan, wajahnya memerah menahan malu.
"cih, sialan... Kenapa aku harus melihat pemandangan aneh seperti ini sih!" gumamnya pelan.
Sementara itu, Inara menatap Rayyan dengan sorot matanya yang kesal dan juga marah.
"setelah ini, kau segera kembali ke kamar, jangan sampai ibuku tau kau semalam tidur di kamar ini, faham kamu!" ucapnya tegas dan penuh tekanan.
Inara tak menjawab, ia lebih memilih untuk diam. Rayyan kesal karena Inara tak menanggapinya, ia mengepalkan tangan sampai buku-buku jarinya memutih.
"kau itu tuli ya, ayo jawab!"
Dengan terpaksa akhirnya Inara menjawab pertanyaan dari suaminya sambil mengusap dada, ia harus bersabar menghadapi kelakuan nya.
"baik Tuan, anda tenang saja, saya pastikan Nyonya Martha tidak akan tahu soal ini!"
Seulas senyum terukir di bibir Rayyan, ia pun pergi meninggalkan Inara seorang diri di dalam kamar putranya,
kemudian Inara berbicara dalam hati.
'tak kusangka sifat aslimu seperti ini Tuan Rayyan, kenapa kau selalu menuduhku yang tidak-tidak? Aku menerima pernikahan ini murni karena demi kesembuhan putraku, tidak ada yang lainnya. '
Bersambung...