Kepergok berduaan di dalam mobil di daerah yang jauh dari pemukiman warga membuat Zaliva Andira dan Mahardika yang merupakan saudara sepupu terpaksa harus menikah akibat desakan warga kampung yang merasa keduanya telah melakukan tindakan tak senonoh dikampung mereka.
Akankah pernikahan Za dan Dika bertahan atau justru berakhir, mengingat selama ini Za selalu berpikir Mahardika buaya darat yang memiliki banyak kekasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24.
Usai beraktifitas hampir seharian akhirnya jam dinas Za untuk hari ini berakhir juga. Ia yang sudah tidak sabar bertemu dengan Mahardika lantas bersiap dan meraih Sling bag miliknya Kemudian berlalu.
"Dokter Za mau langsung pulang?." Tanya Hilda yang menyusul langkah Zaliva.
"Iya, ada urusan penting soalnya." Balas Za. Ya, pembicaraannya nanti bersama Mahardika dianggap Za sangatlah penting karena itu menyangkut masa depan ia dan calon anaknya nanti.
"See you tomorrow, Hilda sayang...." Kata Za saat mereka berpisah di depan gedung rumah sakit. Za berlalu menuju mobil Mahardika, sementara Hilda lanjut berjalan ke arah parkiran kendaraan roda dua.
Entah apa yang ada dipikiran Za kini hingga setibanya di mobil, wanita itu hanya diam saja. Keberanian akan niat dan rencananya untuk membahas tentang masalah yang menurutnya sangat penting tersebut lenyap seketika.
"Ada apa, sayang?." Tanya Mahardika yang menangkap sikap berbeda dari istrinya itu.
"Nggak papa kok, mas."
"Kenapa kamu malah mengatakan nggak ada apa-apa sih, Za... Bukannya tadi kamu mau ngomong serius sama mas Dika? Argh..... bego banget sih kamu, Za!!!." Za merutuki mulutnya yang tidak sejalan dengan kata hatinya.
Tentunya Mahardika tidak percaya begitu saja, hingga pria itu tak kunjung menghidupkan mesin mobilnya.
Za menolehkan pandangan pada Mahardika ketika menyadari mobil belum bergerak sama sekali, bahkan mesinnya pun belum dihidupkan.
"Mas merasa ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, atau itu hanya perasaan mas saja, sayang?."
Deg.
Za bengong menatap pada Dika, ternyata suaminya itu cukup peka dengan sikap dan perasaannya.
"Mas sayang nggak sama aku?." setelah cukup lama mendalami tatapan Mahardika, pertanyaan tersebut seakan terucap begitu saja dari mulut Za.
"Tidak ada seorangpun suami didunia ini yang tidak sayang sama istrinya, Zaliva."
"Tentu saja mas sayang sama kamu." Mahardika memperjelas jawabannya.
Za mengulas senyum mendengarnya. Entah apa maksud dari senyumannya itu, hanya Zaliva yang mengetahuinya.
"Sekarang, giliran mas yang tanya sama kamu, kamu sayang nggak sama mas?." pertanyaan serupa dilontarkan oleh Mahardika.
"Kalau aku nggak sayang, nggak mungkin lah hampir setiap malam aku begadang buat mas." begadang di sini mengarah pada melayani kebutuhan biologis suaminya. Kalau ia melakukan semua itu hanya karena perjanjian tak jelasnya bersama Mahardika, bukankah cukup sekali ia melakukannya tak perlu hampir setiap malam juga kan, begitu pikir Za. Apalagi coba alasannya, kalau bukan rasa sayang.
"Terima kasih, sayang." Mahardika membawa Za ke dalam pelukannya. Menge-cup lembut puncak kepala istrinya itu. "Terima kasih untuk rasa sayangnya." Ujar Mahardika dan Za menganggukkan kepalanya.
"Biarlah mas Dika nggak cinta sama aku, setidaknya mas Dika sayang sama aku. Kalaupun suatu hari nanti mas Dika mengaku mencintai seseorang, aku tinggal ngadu saja ke papa dan mamanya mas Dika, gampang kan. Biar mas Dika di dendeng sekalian sama mama dan papanya karena ketahuan cinta sama wanita lain." batin Za sambil menarik sudut bibirnya ke samping hingga menciptakan sebuah senyuman tipis penuh makna. Tentunya apa yang dilakukan Za tak terlihat oleh Mahardika sebab wanita itu masih berada di pelukan Mahardika.
"Pokoknya, aku nggak mau berpisah dengan anakku nantinya." lanjut batin Za yang sudah kekeuh dengan keputusannya, sebelum sesaat kemudian mengurai pelukan diantara mereka.
Di luar dugaan, setibanya di rumah ternyata mama Riri dan papa Okta sudah berada di rumah, mereka kembali tanpa memberi kabar sebelumnya, begitu pun dengan para asisten rumah tangga serta mang Dodo.
"Mama...." Za gegas turun dari mobil, menghampiri mama Riri yang sedang mengamati kesuburan tanaman hias yang sudah beberapa hari ditinggal olehnya. Sesaat kemudian Mahardika menyusul.
"Kalian sudah pulang rupanya." Mama Riri menyambut pelukan menantunya.
"Iya mah. Mama kenapa nggak ngasih kabar kalau mau pulang?." kata Za.
"Sengaja, biar surprise." jawab mama Riri dengan seulas senyum di wajahnya yang masih terlihat cantik dan awet muda.
Mama Riri gantian memeluk putranya.
"Anak dan menantu papa sudah pulang rupanya." terdengar suara bariton milik papa Okta yang baru saja keluar dari dalam rumah.
"Iya, pah." Za menyalami ayah mertuanya, dan sesaat kemudian diikuti oleh Mahardika.
"Wah....anak papa makin bersemangat saja nih, jangan-jangan sudah dapat asupan nutrisi lagi." goda papa Okta setelah sang istri dan menantunya pamit masuk ke dalam rumah.
"Papa bisa saja." balas Mahardika seraya mengusap kepala belakangnya akibat salah tingkah.
Melihat reaksi putranya, papa Okta Lantas tersenyum.
"Ternyata nggak sia-sia usaha papa."
Mahardika lantas menelaah kalimat sang ayah.
"Jangan bilang insiden mati listrik di rumah tempo hari salah satu dari rencana papa?."
Papa Okta melebarkan senyumnya. Walaupun tidak ada jawaban signifikan dari sang ayah, melihat senyuman ayahnya saja sudah cukup bagi Mahardika. Terlahir dari pria yang sangat luar biasa seperti ayahnya adalah sebuah kesyukuran yang tidak bisa hanya diungkapkan dengan kata-kata oleh Mahardika. Sering kali papa Okta bertindak diluar ekspektasi demi membahagiakan buah hatinya itu, buah cinta semata wayangnya bersama sang istri. Prinsip papa Okta, tak penting berapa banyak Tuhan memberikan kita rezeki(anak) karena yang terpenting bagi pria itu adalah bagaimana sebagai seorang aya ia bisa mengusahakan yang terbaik untuk kebahagiaan putranya. Kalaupun hingga detik ini ia hanya dikaruniai Mahardika seorang, pria itu tetap bersyukur atas anugerah terindah dari Tuhan tersebut.
"Papa memang yang terbaik." Mahardika menghambur ke pelukan sang ayah.
"Apapun akan papa usahakan demi kebahagiaan anak papa." balas Papa Okta. Sebesar serta sehebat apapun Mahardika di mata orang diluar sana, di mata pria itu Mahardika tetaplah putra kesayangannya yang akan terus diusahakan kebahagiaannya olehnya, kecuali berselingkuh, karena papa Okta paling tidak suka dengan perselingkuhan. Untungnya Okta bukanlah tipikal pria yang suka dengan perselingkuhan. Jadi, papa Okta tidak terlalu khawatir putranya melenceng ke arah negatif.
"Ohiya, bisnis kita yang ada di Singapore membutuhkan perwakilan untuk pertemuan dengan investor di sana, papa mau kamu yang ke sana besok. papa tidak bisa pergi karena masih ada urusan penting di sini soalnya." Jelas papa Okta dan Mahardika mengangguk, mengiyakan permintaan ayahnya itu. Meskipun berat rasanya meninggalkan sang istri namun Mahardika tetap harus pergi karena ini mengenai urusan kerjaan.
Setelahnya, Mahardika pun pamit pada papa Okta untuk kembali ke kamar, tubuhnya sudah merasa gerah usai beraktifitas seharian dikantor.
"Sayang...." seruan Mahardika mengalihkan perhatian Zaliva yang tengah merapikan susunan baju di dalam lemari.
"Iya, mas."
"Besok mas mau berangkat ke Singapura, ada urusan kerjaan di sana."
Za tak langsung menjawab, Ia menatap suaminya dengan ekspresi wajah bengong. Entah apa yang ada dipikiran Za saat ini, yang jelas berat rasanya jika harus ditinggal oleh sang suami. Tetapi, Mahardika pergi untuk urusan pekerjaan sehingga ia pun tak mungkin menghalanginya.
"Mas lama nggak di sana?."
Mahardika langsung melebarkan senyum mendengarnya. Dari mimik wajahnya, sepertinya Za berat hati ditinggal olehnya.
"Memangnya kenapa kalau mas lama di sana? Kamu kangen, hm?."
Tanpa berpikir Za langsung menganggukkan kepalanya. "Maksudnya_." Za ingin mengoreksi jawabannya, namun tak sempat sebab Mahardika sudah membungkam mulutnya dengan sebuah ciu-man lembut.
"Mas janji akan segera kembali jika urusan di sana sudah selesai." Ujar Mahardika Setelah menyudahi ciu-man lembutnya.
bener nih kata papa Okta,baru juga ditinggal sebentar udah sedih...
gimana nanti jika pisah beneran...