Vandra tidak menyangka kalau perselingkuhannya dengan Erika diketahui oleh Alya, istrinya.
Luka hati yang dalam dirasakan oleh Alya sampai mengucapakan kata-kata yang tidak pernah keluar dari mulutnya selama ini.
"Doa orang yang terzalimi pasti akan dikabulkan oleh Allah di dunia ini. Cepat atau lambat."
Vandra tidak menyangka kalau doa Alya untuknya sebelum perpisahan itu terkabul satu persatu.
Doa apakah yang diucapkan oleh Alya untuk Vandra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Vandra menarik napas panjang. Wajahnya tampak tenang, tapi di matanya masih ada sisa ketegangan.
“Aku ingin membangun kembali rumah tanggaku yang sempat rusak dengan Erika, Pa. Aku tidak ingin semuanya hancur lagi.”
Suasana langsung berubah tegang. Zara yang sedari tadi diam, tiba-tiba menatap kakaknya tajam seperti pisau.
“Jangan pernah bawa wanita itu ke rumah ini!” ucap Zara penuh amarah. Suaranya bergetar, namun tegas. “Kalau kamu berani, aku sendiri yang bakal patahkan kakinya!”
“Hush! Jangan kasar begitu, Zara!” tegur Mama Vany cepat, mencoba menenangkan suasana.
Namun, Zara tak menggubris. “Pokoknya aku enggak mau wanita itu menjadi bagian dari keluarga ini! Dia punya kelakuan buruk dan udah cukup bikin kita semua malu dan terhina!”
Zara berdiri dari kursinya, menatap Vandra seperti tak percaya bahwa kakaknya masih memikirkan perempuan yang sama setelah semua yang terjadi. "Aku tidak main-main!"
Papa Indera menggeleng pelan, wajahnya muram. “Zara, duduk. Jangan memperkeruh keadaan,” katanya pelan, tapi otoritatif.
Vandra hanya diam. Ia tahu, dalam hati kecilnya, Zara tidak salah. Entah kenapa, perasaan bersalahnya pada Erika lebih kuat dari logikanya sendiri. Ia ingin menebusnya, meski mungkin yang akan ia bangun hanyalah reruntuhan yang tidak bisa berdiri lagi.
Di sisi lain Vero duduk manis menghabiskan makanannya tanpa banyak bicara. Bocah itu hanya menatap ayahnya sesekali dengan tatapan datar. Bukan benci, bukan pula rindu, hanya kosong.
Bagi Vero, dunia sudah cukup rumit tanpa harus memikirkan keputusan ayahnya yang berulang kali menyakiti ibunya. Selama ia masih punya bunda dan adiknya, semuanya akan baik-baik saja.
“Vero, kamu nggak mau bilang apa-apa sama Ayah?” tanya Mama Vany pelan, mencoba mencairkan suasana.
Anak itu berhenti mengunyah, lalu berkata lirih, “Ayah jaga diri aja, ya. Jangan bikin aku sedih lagi.”
Kata sederhana itu membuat dada Vandra bergetar. Ia ingin memeluk putranya, tetapi Vero sudah lebih dulu menunduk, melanjutkan makan tanpa menatap wajahnya lagi.
Menjelang sore, Vandra berpamitan. Ia bilang ingin menemui seseorang. Mama Vany sempat menatapnya dengan curiga, tapi tidak menahan.
“Jangan bikin masalah lagi, Nak. Tolong ...!” kata Mama Vany sebelum Vandra pergi.
Langit sudah mulai jingga ketika Vandra tiba di depan rumah Pak Erwin. Rumah besar itu tampak sunyi, jendela tertutup rapat. Vandra menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian.
Pintu terbuka setelah Vandra mengetuk beberapa kali. Wajah Pak Erwin muncul, tampak lebih keras dari yang ia ingat.
“Kamu bebas juga hari ini?” tanya Pak Erwin tanpa basa-basi. Suaranya datar, tapi ada nada sinis yang tak bisa disembunyikan.
“Iya, Pa,” jawab Vandra dengan nada rendah, hampir seperti anak kecil yang tertangkap basah. “Apa Erika sudah sampai di rumah?”
Pak Erwin menatapnya lama. Sorot matanya dingin dan penuh perhitungan. “Kamu masih peduli sama dia, setelah semua ini?” tanyanya, nyaris seperti ujian.
Vandra menelan ludah. Ia tahu jawaban yang akan keluar bisa menentukan arah hidupnya lagi. Tapi sebelum sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Langkah itu pelan, tetapi mantap. Bayangan seseorang perlahan muncul di balik pintu ruang tamu.
Vandra terpaku. Dadanya berdebar. Bayangan itu semakin jelas.
Sosok perempuan dengan rambut terurai sepunggung muncul dari balik ruang tamu. Wajahnya tampak lebih tirus, kulitnya sedikit kusam, dan mata itu masih menyimpan bara yang sama seperti dulu, hanya kini diselimuti kelelahan dan kebencian yang dalam.
"Erika," batin Vandra.
Vandra mematung. Bibirnya terbuka sedikit, tetapi tak ada kata yang keluar. Dunia seperti berhenti berputar untuk beberapa detik.
“Mas Vandra!” Suara Erika mengalun merdu dan menggema di ruang hening di antara mereka.
Erika berdiri beberapa langkah dari pintu, kedua tangannya saling menggenggam gugup, tetapi sorot matanya tetap tajam.
“Kamu ... sudah pulang rupanya,” balas Vandra akhirnya. Senyum kecil muncul di wajahnya, tapi cepat pudar ketika melihat ekspresi dingin Erika.
“Sudah,” jawab Erika sinis. “Dan sepertinya semua orang sudah melupakan aku.”
Nada sinisnya menembus dada Vandra. Ia tahu kalimat itu bukan sekadar keluhan, tetapi juga tuduhan.
Pak Erwin menatap keduanya bergantian, kemudian berkata dengan nada datar, “Kalau kalian mau bicara, bicara lah baik-baik. Aku masuk dulu. Tapi jangan buat ribut di rumah ini.”
Setelah itu, Pak Erwin melangkah pergi, meninggalkan dua orang yang dulu saling jatuh cinta, lalu saling menghancurkan.
Hening. Yang terdengar hanya detak jam di ruang tamu dan napas mereka yang berat.
“Aku kira kamu nggak bakal datang menemui aku lagi,” ucap Erika, menatap lantai.
“Bagaimana aku nggak datang? Kamu itu istriku dan aku khawatir sama kamu,” balas Vandra, langkahnya maju setapak.
Erika mendongak, menatapnya dengan senyum getir. “Khawatir? Setelah sembilan bulan kamu diam, baru sekarang bilang khawatir?”
Vandra terdiam, matanya menunduk. “Aku nggak bisa apa-apa, Erika. Kita sama-sama tahu, di sana komunikasi nggak semudah itu. Aku yakin kalau kamu kuat.”
“Kuat?” Erika tertawa kecil, tapi suaranya getir. “Mas, kamu tahu nggak, aku harus tidur dengan rasa takut tiap malam. Aku dihina, dicaci, bahkan nyaris—”
Erika berhenti bicara sejenak. Air matanya jatuh tanpa izin. “Nyaris kehilangan harga diri aku sebagai manusia. Semua karena kesalahan yang kita buat bersama!”
Vandra menatapnya, rahangnya mengeras. Dia menggenggam kedua tangan Erika.
“Aku tahu. Aku juga nyesel. Tapi, aku juga menderita, Erika. Aku kehilangan semuanya, anak-anak, pekerjaan, nama baik. Sekarang aku cuma ingin memperbaikinya.”
“Memperbaiki?” Erika melangkah mundur dan melepaskan genggaman Vandra, suaranya meninggi.
“Kita nggak bisa memperbaiki apa pun, Mas! Semuanya udah hancur! Dunia nggak akan lupa siapa Erika si pelakor yang tidur dengan suami orang, yang masuk penjara karena dosa sendiri!” lanjut Erika.
Vandra menelan ludah. Ia tahu Erika benar, akan tetapi di balik kemarahannya, ia masih melihat luka yang sama dengan miliknya. Luka kehilangan, penyesalan, dan ketakutan akan masa depan yang tak menentu.
“Erika,” kata Vandra lembut. “Aku masih punya niat baik. Kita mulai dari awal, ya? Mungkin bukan jadi pasangan sempurna, tapi kita bisa saling bantu buat berdiri lagi. Aku nggak mau kamu sendirian.”
Erika menatapnya lama. Mata itu bergetar, seolah ada pertempuran di dalam dirinya. Antara ingin percaya dan ingin membenci.
“Mas Vandra.” Suara Erika melemah. “Kamu selalu begitu. Datang dengan kata-kata manis seolah semua bisa diperbaiki. Tapi tahu nggak? Aku nggak seperti dulu lagi.”
Vandra mendekat perlahan. Dia kembali meraih tangan Erika dan menatapnya lembut.
“Aku juga nggak sama, Erika. Semua udah berubah.”
“Kalau begitu,” Erika menarik napas panjang, “buktikan. Jangan cuma kata-kata.”
pasti tau kalo Erika mantan simpanan...
😀😀😀❤❤❤
seiman..
baik..
sabar..
setia.
❤❤❤😍😙
seperti nya itu tak mungkin 😏 apa lagi melihat sikap Erika yg masih sook jadi korban padahal tersangka bikin gedek ni orang satu 😠👊
Dan kamu Vendra pakai otakmu sudah di wanti" sama keluarga mu jgn berhubungan lagi dgn Erika maseh juga kamu langgar lihat aja akan jadi apa rumah tangga mu nanti...