"Mas kamu sudah pulang?" tanya itu sudah menjadi hal wajib ketika lelaki itu pulang dari mengajar.
Senyum wanita itu tak tersambut. Lelaki yang disambutnya dengan senyum manis justru pergi melewatinya begitu saja.
"Mas, tadi..."
Ucapan wanita itu terhenti mendapati tatapan mata tajam suaminya.
"Demi Allah aku lelah dengan semua ini. Bisakah barang sejenak kamu dan Ilyas pulang kerumah Abah."
Dinar tertegun mendengar ucapan suaminya.
Bukankah selama ini pernikahan mereka baik-baik saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyusul
Perkara ia mendengar suara Dinar yang serak, Irham tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak pergi ke rumah mertuanya.
Ia kendarai mobil hadiah pernikahan dari mertuanya menuju perumahan kawasan pesantren.
Ia berhenti tepat di depan gerbang rumah mewah itu, kadang heran dengan sang istri. Ia anak orang terkenal dan kaya raya tapi mau mau saja dijodohkan dengan orang biasa sepertinya. Itulah mengapa Irham bisa langsung jatuh cinta pada Dinar. Sebab kesederhanaan wanita itu.
Irham bunyikan klakson, tak lama gerbang tinggi nan kokoh ini terbuka dengan sendirinya. Lekas ia membawa masuk mobil yang ia kendarai dan langsung turun begitu tiba di halaman rumah yang luas dan asri karena banyaknya tanaman hijau yang tertata rapi di balik gerbang.
Ia mengetuk pintu dan tak lama Ibu mertuanya muncul.
"Ham?" serunya, ketika Irham segera mencium punggung tangan beliau.
"Assalamualaikum, Umi." salamnya santun.
Ia di ajak masuk oleh Umi Zalianty. Sampai di ruang tamu terlihat begitu megah dengan lampu-lampu kristal menggantung di tengah ruangan yang begitu indah. Guci-guci berjajar, dengan ukuran yang melebihi tinggi tubuh penghuni rumah, sofa mahal, semua serba terawat yang membuat Irham teramat kagum. Berbanding terbalik dengan rumahnya yang ia tinggali bersama Dinar. Walaupun sudah bangunan permanen, tapi untuk kemewahan dan luasnya tak sebanding dengan rumah mertuanya.
Hebatnya, Dinar tak pernah mengeluh soal itu. Tak ada pelayan sebagaimana di rumah orang tuanya. Dinar sudah cukup hanya dengan dirinya saja. Itulah kenapa Irham dulu dengan suka rela melakukan ini dan itu, karena menganggap Dinar wanita yang mau diajak hidup susah. Irham sadar dia sudah begitu banyak dibantu oleh keluarga istrinya, tak mungkin ia membiarkan Dinar bekerja layaknya pelayan.
Namun sayang, ia mulai lelah dengan pekerjaan yang ia lakoni untuk membantu istrinya selama ini. Ia mulai menuntut pada Dinar untuk bisa mandiri.
Ia terus di bawa masuk semakin dalam hingga sampai di ruang makan yang tak kalah megahnya dengan ruang tamu. Ada dapur bersih yang terlihat begitu rapi, sementara ada pintu untuk menuju dapur untuk memasak yang sebenarnya.
"Irham, kenapa nggak kasih kabar kalau mau datang? Umi tidak ada persiapan untuk menyambut putra Umi?" Umi Zalianty begitu lembut memperlakukan Irham, sejak awal nikah sikapnya sudah bak seorang ibu kandung pada Irham. Sama sekali tidak memandang darimana Irham berasal.
Irham menatap tangga dimana ada kamar sang istri disana.
Umi Zalianty nampaknya paham dengan tatapan mata menantu kesayangan.
"Pergilah, Dinar sudah pamit untuk istirahat. Kalau Ilyas tadi Abah bawa ke madrasah sejak habis magrib." ucap Umi Zalianty memberitahu membuat Irham terdiam. Umi Zalianty menepuk pelan pundak menantunya itu. "Terimakasih sudah menjaga putri kecil Umi selama ini." kalimat itu terdengar lirih tapi mampu membuat hati Irham perih.
Nyatanya dia menganggap Dinar saat ini seperti sebuah beban.
Setelah dipersilahkan. Ia menaiki tangga demi tangga hingga kini langkah kakinya berhenti di depan pintu bercat putih. Di usapnya pintu itu, lalu tersenyum kecil, pintu yang masih sama sejak empat tahun lalu.
Ia mengetuk, namun tak ada sahutan. Ia memberanikan diri untuk membukanya. Irham melongok, melihat situasi kamar yang luas, Tapi tampak sepi, sebuah sofa panjang yang enak untuk tidur berada tak jauh dari ranjang utama, di dalam kamar itu juga ada kamar mandi, akhirnya Irham masuk perlahan.
Ia melangkahkan kaki menuju ranjang king size yang teramat empuk dan nyaman saat di tiduri.
Di sana ada seorang wanita yang ia nikahi empat tahun silam. Dinar tengah terlelap di atas kasurnya. Wajah cantiknya berkilau karena pantulan lampu tidur. Irham perlahan duduk, lalu menatap dan memperhatikan setiap lekuk tubuh wanitanya.
Sesaat ia meraih jari-jari sang istri dan merasakannya, jari-jari itu tak selembut dulu ketika di genggam pertama kali. Dulu, tepatnya ketika Irham baru menggandengnya sebagai seorang istri.
Perlahan Irham mengangkat jari itu untuk di kecup. Dan perbuatannya mengusik tidur Dinar. Ia lekas bangun dengan wajah paniknya.
Dinar menjauh membuat Irham mengerutkan keningnya heran. "Kenapa?" Dinar menggelengkan kepalanya. " kok kamu menghindar?" tanyanya lagi. Irham mengulurkan tangannya, hendak mengusap pipi sang istri yang pernah tergores mainan Ilyas, namun Dinar buru-buru berpaling seolah ia menolak sentuhan itu. "Yank!" panggil Irham seperti frustasi.
"Mas, kamu kok disini?" Irham menghela nafas, paham betul istrinya masih merajuk.
"Apa aku tak boleh ke rumah mertuaku sendiri?" Irham menyapukan pandangannya melihat sekeliling kamar yang tak pernah berubah dari awal menikah dulu. Kamar sejarah sebab sebagai saksi penyatuan awal mereka.
"Bukan itu maksudku." Dinar terlihat canggung. Dimata Irham bukan seperti Dinarnya. Dinar yang ia kenal suka heboh hanya karena hal hal kecil. Yang Irham tahu Dinar akan selalu memeluknya erat tiap kali dia dekati, padahal hanya di tinggal mengajar saja seolah begitu lama tak jumpa. Tapi, malam ini... Bahkan dua hari mereka tak bertemu, tapi, Dinar tak menyambut kedatangannya seperti dulu. Sedikit membuat hati Irham kecewa.
"Kamu tak suka aku di sini ya?" pertanyaan itu sukses membuat Dinar menatapnya penuh luka. Tapi kemudian menunduk dengan tangan di genggam erat. "Yank ..."
"Kamu sudah lelah hidup denganku, kan, Mas?" Mata itu nanar menatap lelaki yang teramat di cintainya. "Itulah mengapa aku disini, atas perintah darimu, atas keinginanmu, izinkan aku disini sampai kamu kehilangan lelah sebab hidup denganku."
Bibir Irham terbungkam, sebab, jawaban Dinar.
"Dinar..."
"Pulanglah, Mas. Aku disini atas keinginanmu, dan tidak akan pernah kembali ke rumah kita sampai rasa lelah mu itu hilang."
"Dinar, lelah bukan berarti aku membiarkanmu terus berada di rumah orang tuamu."
"Benar, tapikan waktu itu mas irham sendiri yang memintaku pulang kerumah Abah." jawab Dinar dengan senyum kecil namun mampu membuat jantung Irham tertancap pisau.
Dinar, aku..."
"Kamu lelah, Mas. Dan sekarang kamu sudah tidak perlu lelah lagi. Biarkan aku disini, Mas bisa mengunjungi kami kapan saja, Mas Irham boleh menyesal menikah denganku, tapi jangan sampai terbesit sedikitpun di hati Mas Irham menyesali kehadiran Ilyas di tengah-tengah kita. Di sini aku yang salah, aku yang nggak bisa menjadi istri yang baik untukmu. Ilyas adalah anugerah yang Gusti Allah titipkan pada kita, menyesali kehadirannya sama dengan kufur nikmat kepada sang Khaliq."
Irham laki-laki yang cuek, itulah mengapa Dinar bersikap agresif. Bukankah dalam rumah tangga harus saling melengkapi, dan Dinar sudah berusaha untuk menjadi pelengkap.
Irham berubah sangat jauh. Terlampau jauh hingga Dinar seolah tak bisa lagi menahan langkah lelaki itu. Tapi Dinar sadar, manusia memang mudah berubah-ubah. Dinar sebagai istri hanya berusaha mempertahankan rumah tangganya. Toh, Irham tidak berniat menceraikannya. Atau kah belum?
******
Irham kalang kabut ketika Dinar mengusirnya dengan halus. Hal ini membuatnya lupa tujuan ia datang.
Dinar berubah cuek, nggak kayak biasanya yang suka bermanja dengannya. Dinar sekarang lebih pendiam dan ketika bicara langsung menyudutkan.
Irham berusaha menghilangkan perasaan tak nyaman itu. Tapi sulit, wajah Dinar tidak menunjukkan kebahagiaan sejak kedatangannya, Wanita itu justru terlihat menghindar seolah jijik.
Ah, apalah otak ini....
######
Test...
Masihkah ada yang menunggu kelanjutannya??