Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 - RIVAL ZAINE
Revan duduk di tepi ranjangnya, masih mencoba mengatur napas. Mimpi itu terasa begitu nyata—bukan sekadar ilusi, tapi seperti ingatan yang dipaksakan masuk ke dalam kepalanya. Dia bisa merasakan rasa sakitnya, ketegangan di otot-ototnya, bahkan suara gemuruh penonton yang memenuhi arena.
Dia meremas rambutnya, frustrasi. "Apaansih...." gumamnya.
Suara Zaine kembali terdengar, kali ini lebih pelan, seolah berbisik di telinganya. "Kau sudah melihat sepotong masa laluku. Kau mulai mengerti, bukan? Tubuh ini bukan sekadar milikmu seorang."
Revan menggelengkan kepala keras. "Nggak! Gue bukan diri lu! Gue bukan Zaine Leonhart!" Tapi di dalam hatinya, dia tahu semakin sulit menyangkal.
Sejak ia mulai berlatih di gym, semuanya berubah. Refleksnya meningkat drastis, teknik bertarung yang belum pernah ia pelajari terasa begitu alami, dan yang lebih menakutkan—setiap kali ia bertarung, ada dorongan gelap yang berbisik di dalam dirinya, meminta lebih. Seakan tubuhnya menginginkan kekerasan, menginginkan pertempuran.
Hari-hari berlalu, dan konflik batin itu semakin tajam. Revan mulai merasa seperti orang asing di tubuhnya sendiri. Namun, di tengah kebingungannya, ada satu hal yang ia sadari—dia tidak bisa terus menghindarinya. Jika ini adalah roh yang ditinggalkan Zaine Leonhart kepadanya, maka dia harus menemukan jawabannya.
Dengan tekad baru, Revan mengambil ponselnya, mencari informasi tentang Zaine Leonhart—pertarungannya, kehidupannya, bahkan kematiannya. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu, dan yang lebih penting, mengapa semua ini terjadi pada dirinya.
...***...
Malam itu, Revan duduk di depan layar ponselnya, membaca setiap artikel, menonton video lama pertandingan Zaine Leonhart, dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu.
Zaine Leonhart bukan hanya petarung MMA biasa—dia adalah legenda. Tak terkalahkan, brutal, dan penuh ambisi. Namun, yang membuatnya lebih menarik adalah akhir hidupnya yang misterius.
Beberapa sumber mengatakan bahwa Zaine meninggal setelah pertandingan terakhirnya, yang penuh kontroversi. Lawannya saat itu adalah seorang petarung tak dikenal yang tiba-tiba muncul di dunia MMA, dan pertandingan mereka berakhir dengan tragedi.
Zaine dinyatakan tewas di ruang ganti setelah pertandingan usai. Penyebab kematiannya tidak pernah diumumkan secara resmi, dan beberapa orang percaya ada sesuatu yang lebih besar terjadi di balik layar.
Revan membaca dengan saksama, jantungnya berdegup lebih cepat. Pertandingan terakhir Zaine Leonhart… Ia mencari rekaman pertandingan itu dan menemukannya di sebuah forum gelap. Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol play.
Layar menampilkan sosok Zaine yang berdiri di tengah ring, matanya tajam dan penuh determinasi. Lawannya berdiri di seberangnya—seorang pria bertubuh kekar dengan tatapan kosong, seakan dia bukan manusia biasa.
Pertarungan dimulai, dan Revan terdiam. Itu bukan sekadar pertandingan, itu adalah perang. Keduanya bertukar pukulan dengan kecepatan yang nyaris tidak bisa diikuti oleh mata manusia. Tubuh mereka bergerak dengan presisi yang luar biasa, setiap serangan memiliki kekuatan yang cukup untuk merobohkan tembok.
Namun, ada sesuatu yang aneh, di pertengahan ronde kedua, ekspresi Zaine berubah. Dia terlihat bingung—seolah dia sedang berjuang melawan sesuatu yang tidak terlihat.
Kemudian, semuanya berubah, Zaine mulai kehilangan kendali. Pukulannya menjadi semakin liar, serangannya semakin brutal, dan matanya… matanya tampak berbeda. Seperti seseorang yang sedang dikendalikan oleh sesuatu yang lebih besar darinya.
Kemudian, di momen terakhir pertandingan, lawannya membisikkan sesuatu ke telinga Zaine. Wajah Zaine langsung membeku. Beberapa detik kemudian, tubuhnya melemah, dan dia jatuh ke lantai ring. Pertandingan dinyatakan selesai, dan paramedis segera masuk ke dalam ring.
Video berhenti. Revan menatap layar ponselnya dengan napas berat. "Apa… yang terjadi?"
Kemudian, suara Zaine kembali terdengar di kepalanya. "Kau semakin dekat dengan kebenaran, Revan. Tapi masih ada yang harus kau cari tahu."
Revan mengepalkan tangannya. Jika ada sesuatu yang terjadi pada Zaine malam itu, maka ada kemungkinan hal yang sama sedang terjadi pada dirinya sekarang.
Dan dia harus menemukan jawabannya—sebelum dia benar-benar kehilangan dirinya sendiri. Revan tidak bisa tidur malam itu. Pikirannya terus dipenuhi oleh pertanyaan—tentang Zaine, tentang pertarungan terakhirnya, dan tentang apa yang sebenarnya terjadi malam itu.
Suara Zaine dalam kepalanya semakin sering muncul, bukan lagi sekadar bisikan samar, melainkan suara yang semakin jelas, seolah benar-benar berbicara langsung kepadanya.
"Kau ingin tahu apa yang terjadi? Maka kau harus mencari orang yang menyaksikan semuanya. Dia masih hidup."
Revan mengernyit. "Siapa?" bisiknya dalam hati. Zaine tidak menjawab. Tapi entah bagaimana, Revan merasakan dorongan kuat untuk mencari seseorang—seseorang yang tahu kebenaran tentang malam itu.
"Maaf Revan, aku harus pergi." kata Zaine sambil menatap Revan
"K-kenapa lu bakal pergi..?!" tanya Revan
"Karena aku-" Zaine tiba-tiba tubuhnya retak dan bercahaya, Revan yang melihatnya langsung terkejut
"A-APA APAAN....!" kata Revan
"Maaf, sudah ku bilangkan? Kau bisa menyelidiki kasus ini sendirian.." kata Zaine "Selamat tinggal, Revan" Zaine tersenyum dan akhirnya menghilang seperti retakan kaca bercahaya.
Revan yang melihatnya menghilang langsung dibuat tidak percaya
"Jadi... Gue menyelidiki kasus ini sendirian...?" kata Revan sambil memegang dahinya
"Kalau begitu maumu, aku akan menuruti permintaanmu, Zaine meskipun aku bolos sekolah demi untukmu." kata Revan.
...****************...
Keesokan harinya, Revan bolos sekolah dan pergi ke sebuah tempat yang ia temukan saat membaca lebih dalam tentang Zaine—gym lama tempat Zaine dulu berlatih.
Bangunannya sudah tua dan hampir tidak terawat, tetapi masih berdiri. Beberapa petarung tampak berlatih di dalam, meskipun gym itu jelas tidak seramai dulu.
Saat Revan melangkah masuk, seorang pria dengan tubuh berotot dan bekas luka di wajah menoleh ke arahnya. Matanya yang tajam menyapu tubuh Revan, seolah langsung mengenalinya.
"Siapa lo?" tanyanya dengan suara berat.
Revan menelan ludah. "Gue… mencari seseorang yang mengenal Zaine Leonhart."
Ruangan menjadi hening. Para petarung lain melirik ke arah mereka, beberapa bahkan berhenti berlatih.
Pria itu menatap Revan lebih dalam, lalu menghela napas. "Kalo lo datang mencari legenda, lo terlambat. Zaine udah mati."
"Gue tau," jawab Revan. "Tapi gue butuh jawaban. Gue tau dia ga akan mati gitu aja setelah pertandingan terakhirnya. Ada sesuatu yang terjadi malam itu, dan gue perlu tau apa itu."
Pria itu terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Ikut gue."
Revan mengikuti pria itu ke sebuah ruangan kecil di belakang gym. Bau keringat dan peralatan tua memenuhi udara. Pria itu duduk di sebuah bangku kayu, menyalakan rokok, lalu menatap Revan dengan tajam.
"Nama gue Viktor. Gue muridnya Kak Zaine dulu. Dan gue orang yang terakhir melihat dia sebelum dia 'menghilang.'"
Revan duduk di seberang Viktor, menunggu dengan napas tertahan.
"Kak Zaine bukan cuma petarung biasa," lanjut Viktor. "Dia spesial. Terlalu kuat untuk ukuran manusia. Aku udah latih banyak petarung, tapi gak ada yang bisa nyamain dia. Tapi ada satu masalah—dia punya sesuatu di dalam dirinya, sesuatu yang dia sendiri gak ngerti."
Revan merasakan bulu kuduknya meremang. "Maksudnya?"
Viktor menghembuskan asap rokoknya. "Kak Zaine kadang berubah di tengah pertarungan. Matanya, gerakannya… kayak bukan dia lagi. Aku pikir awalnya itu cuma adrenalin, tapi makin lama, makin aneh. Sampai akhirnya, malam pertandingan terakhirnya—dia bukan Kak Zaine yang gue kenal."
Revan menelan ludah. "Apa yang terjadi malam itu?"
Viktor menatapnya lama, seolah mempertimbangkan apakah dia harus menceritakan semuanya.
"Ada orang yang datang sebelum pertandingan itu dimulai," kata Viktor akhirnya. "Seorang pria berbaju hitam, gue gak pernah lihat dia sebelumnya. Dia bicara sama Kak Zaine sebentar sebelum pertandingan, dan setelah itu… Kak Zaine berubah. Seolah dia tahu sesuatu yang mengubah segalanya."
Revan mengepalkan tangannya. "Apa yang dia bilang ke Zaine?"
Viktor menggeleng. "Gue gak tau apa-apa. Tapi setelah pertandingan itu, Kak Zaine jatuh. Dia dibawa ke ruang ganti, dan… dia menghilang. Gak ada mayatnya. Gak ada bukti dia mati. Cuma ada darah di lantai."
Jantung Revan berdebar keras.
"Jadi… dia mungkin masih hidup?"
Viktor menghela napas. "Kalo lo nanya ke gue sekarang, gue gak tau. Tapi satu hal yang pasti—kalo lo mulai ngerasa sesuatu yang aneh di dalam diri lo, mungkin itu artinya Kak Zaine belum benar-benar pergi."
Revan menatap tangannya sendiri.
"Apa gue… dirasuki oleh Zaine?"
Viktor menatapnya tajam. "Lo harus cari tahu sendiri. Tapi kalo Kak Zaine benar ada di dalam diri lo, berarti ada alasan kenapa dia memilih lo, tapi gak bakal mungkin sih."
Revan bangkit dari duduknya, kepalanya penuh dengan kebingungan. Tapi satu hal yang jelas—ini baru permulaan. Revan keluar dari gym dengan kepala penuh pertanyaan. Jika Zaine memang menghilang setelah pertandingan terakhirnya, dan jika sekarang suaranya terus muncul di dalam kepalanya… apakah itu berarti Zaine masih hidup dalam dirinya? Dia menggeleng keras. Tidak mungkin. Ini semua tidak masuk akal.
Namun, sejak kejadian ini dimulai, terlalu banyak hal aneh yang terjadi padanya. Kekuatan yang meningkat drastis, refleks yang tidak normal, bahkan dorongan bertarung yang semakin sulit dikendalikan. Semua itu bukan hal yang bisa dijelaskan dengan logika biasa.
Revan berjalan tanpa arah, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia dapatkan. Hingga akhirnya, langkahnya berhenti di depan sebuah kedai kopi kecil.
Di dalam, matanya langsung tertuju pada seorang pria yang duduk di sudut ruangan. Dia mengenakan jaket hitam, wajahnya setengah tersembunyi di balik topi yang dikenakannya. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuat Revan merasakan ketegangan aneh. Seolah tanpa sadar, tubuhnya bergerak sendiri, memasuki kedai dan berjalan menuju meja pria itu. Begitu ia mendekat, pria itu mengangkat kepalanya, menatapnya dengan mata tajam.
"Akhirnya kau datang," katanya pelan.
Revan membeku. "Ngomong apasih? Siapa lo?"
Pria itu menatapnya lama sebelum akhirnya berbicara lagi. "Kau… adalah kelanjutan dari Zaine Leonhart."
Jantung Revan berdegup kencang. "Siapa lo?"
Pria itu tersenyum tipis. "Aku adalah orang yang membisikkan kata-kata terakhir kepada Zaine sebelum pertarungan terakhirnya."
Revan merasakan tubuhnya menegang.
Pria itu melanjutkan, "Dan aku tahu kenapa dia memilihmu."
Revan duduk berhadapan dengan pria misterius itu. Suasana di dalam kedai kopi terasa semakin menegangkan, seolah dunia di sekitar mereka menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dalam percakapan yang akan mengubah segalanya.
"Apa maksud lu Zaine memilih gue?" tanya Revan, matanya tajam.
Pria itu tersenyum samar. "Kau merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirimu, bukan? Kekuatan yang tidak pernah kau miliki sebelumnya, insting bertarung yang tiba-tiba muncul… itu bukan kebetulan. Itu adalah bagian dari warisan Zaine."
Revan mengepalkan tangannya di atas meja. "Gue bukan Zaine. Gue gabakal jadi dia."
"Tapi kau sudah menjadi bagian darinya," jawab pria itu dengan tenang. "Aku melihatnya sejak pertama kali kau datang ke gym itu. Cara kau berjalan, cara kau bergerak… bahkan caramu melihat dunia. Kau mungkin tidak sadar, tapi jiwanya sudah melekat dalam tubuhmu."
Revan menelan ludah. "Bagaimana bisa?"
Pria itu menghela napas. "Ada sesuatu yang Zaine temukan sebelum pertarungan terakhirnya. Sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh sedikit orang di dunia ini—tentang bagaimana seorang petarung bisa melampaui batas manusia biasa. Aku memberitahunya tentang itu… dan sekarang, warisan itu ada padamu."
Revan terdiam, pikirannya berputar cepat.
"Jika kau ingin tahu lebih banyak," lanjut pria itu, "maka kau harus mencari jawaban lebih dalam. Zaine tidak mati begitu saja. Dia menemukan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertarungan di atas ring."
Revan menatapnya dengan tajam. "Sialan... Apa yang harus gue lakukan...?"
Pria itu tersenyum tipis. "Ikuti petunjuknya. Cari orang-orang yang dulu ada di sekitar Zaine. Temukan kebenaran tentang pertarungan terakhirnya. Dan yang terpenting…"
Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya menjadi lebih pelan.
"Jangan biarkan dirimu dikuasai olehnya."
Revan merasakan bulu kuduknya berdiri.
Karena jauh di dalam dirinya, ia tahu—Zaine Leonhart belum benar-benar pergi.
Revan meninggalkan kedai kopi dengan perasaan campur aduk. Kata-kata pria misterius itu terus bergema di kepalanya. "Jangan biarkan dirimu dikuasai olehnya." Revan menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Jika dia ingin menemukan jawabannya, dia harus mengikuti petunjuk pria itu—mencari orang-orang yang dulu dekat dengan Zaine. Dan satu nama muncul di pikirannya, Riko Fernandez.
Dia adalah sahabat sekaligus rival Zaine, seorang mantan petarung MMA yang tiba-tiba menghilang setelah Zaine ‘mati.’ Tidak ada yang tahu ke mana Riko pergi, tapi jika ada seseorang yang tahu rahasia di balik pertarungan terakhir Zaine, itu pasti dia.
Malam itu, Revan duduk di depan laptopnya, mencari informasi tentang Riko Fernandez. Tapi tidak banyak yang bisa ditemukan. Namanya menghilang dari dunia MMA setelah Zaine pergi, seolah dia tidak ingin ditemukan. Namun, setelah mencari lebih dalam, Revan menemukan sesuatu.
Sebuah forum gelap membahas tentang Fight Club bawah tanah di kota ini. Salah satu komentar menyebut nama Riko sebagai petarung yang pernah muncul di sana, meskipun hanya sekali. Revan mengepalkan tangan. Jika Riko benar-benar ada di tempat itu, maka dia harus menemukannya.
...****************...
Dua malam kemudian, Revan berdiri di depan sebuah gudang tua di pinggiran kota. Lampu-lampu redup menerangi pintu masuk, dan suara sorakan keras terdengar dari dalam, dia menarik napas dalam sebelum melangkah masuk. Di dalam, suasana terasa liar. Para petarung bertarung tanpa aturan di tengah lingkaran orang-orang yang bertaruh, berteriak, dan bersorak. Bau keringat dan darah memenuhi udara, menciptakan atmosfer yang menegangkan.
Revan menyapu pandangannya, mencari seseorang yang mirip dengan deskripsi Riko Fernandez. Dan akhirnya, dia menemukannya.
Di sudut ruangan, duduk dengan tenang sambil mengamati pertarungan yang sedang berlangsung. Seorang pria bertubuh kekar dengan rambut hitam yang mulai beruban, wajahnya penuh bekas luka pertarungan. Tanpa ragu, Revan melangkah mendekat.
"Riko Fernandez?" tanyanya.
Pria itu mengangkat kepalanya, menatap Revan dengan mata tajam.
"Lo siapa?"
Revan menelan ludah. "Gue butuh jawaban tentang Zaine Leonhart." Sekejap, ekspresi Riko berubah.
Dia menatap Revan lama, lalu menggeleng sambil tertawa kecil. "Apa maksud lo? Zaine? Dia sudah meninggal, bodoh."
Revan terkejut. "Gue tau,"
Riko meneguk minumannya sebelum menatap Revan lagi. "Terus ngapa lo cari jawaban tentang Zaine?"
Jantung Revan berdetak lebih cepat. "Karna gue butuh, Zaine ada di dalam diriku."
Riko menghela napas panjang. "Dengarin gue, jika lo bener-bener datang ke sini cuma mencari jawaban tentang Zaine, maka lo harus siap menghadapi kebenaran yang mungkin nggak ingin lo dengar."
Revan mengepalkan tangannya. "Gue siap."
Riko tersenyum tipis. "Baiklah. Maka mulai sekarang, hidup lu nggak akan pernah sama lagi."
Revan menatap Riko tanpa berkedip. Kata-kata pria itu membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
"Mulai sekarang, hidup lo nggak akan pernah sama lagi."
"Apa maksud lo?" tanya Revan, suaranya lebih tegas kali ini.
Riko menyesap minumannya perlahan sebelum akhirnya menatap Revan dengan sorot mata tajam. "Zaine bukan hanya seorang petarung. Dia adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Dan kalo dia benar-benar ada di dalam diri lo, itu berarti lo udah masuk ke dalam permainan ini, suka atau nggak,"
Revan mengernyit. "Permainan apa?"
Riko menghela napas panjang, lalu bersandar ke belakang. "Ada sebuah organisasi yang bekerja di balik layar, mengendalikan dunia pertarungan dari bayangan. Mereka bukan hanya mengatur pertarungan MMA profesional, tetapi juga yang ada di bawah tanah. Zaine… dia menemukan sesuatu tentang mereka. Sesuatu yang seharusnya nggak dia ketahui."
Revan mengepalkan tangannya. "Apa yang dia temuin?"
Riko menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Rahasia tentang bagaimana seorang petarung bisa melampaui batas manusia biasa."
Revan menahan napas. "Itulah alasan kenapa Zaine nggak pernah kalah," lanjut Riko. "Dia telah menemukan sesuatu yang nggak seharusnya dimiliki oleh manusia biasa. Sebuah teknik, atau mungkin… sesuatu yang lebih dari sekadar teknik. Tapi begitu dia mulai menyadari kebenarannya, organisasi itu mulai memburunya."
Revan merasakan bulu kuduknya berdiri. "Jadi… lo bilang Zaine nggak mati?"
Riko menyipitkan matanya. "Gue gatau pasti. Tapi gue tau satu hal—jika jiwanya benar-benar masih ada di dalam diri lo, maka itu berarti dia masih memiliki urusan yang belum selesai."
Revan terdiam. "Dan satu-satunya cara untuk menemukan jawaban," lanjut Riko, "adalah dengan masuk lebih dalam ke dunia ini. Jika lo benar-benar ingin tau kebenarannya, lo harus siap menghadapi konsekuensinya."
Revan mengepalkan tangannya. Sekarang semuanya mulai masuk akal—suara Zaine di dalam kepalanya, dorongan bertarung yang tak bisa ia kendalikan, dan insting yang semakin kuat.
Dia bukan hanya mewarisi ingatan Zaine. Dia telah menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar.
"Apa yang harus gue lakukan?" tanyanya akhirnya.
Riko tersenyum tipis. "Pertama, lo harus bertahan hidup."
...---...
Malam itu, Riko membawa Revan ke sebuah ruangan tersembunyi di belakang arena pertarungan bawah tanah. Ruangan itu penuh dengan foto, dokumen, dan peta yang terpasang di dinding—semuanya berkaitan dengan Zaine dan organisasi misterius yang disebut Riko.
Revan menatap semuanya dengan takjub. "Ini… semua tentang Zaine?"
Riko mengangguk. "Gue udah mencari tau selama bertahun-tahun. Zaine meninggalkan banyak jejak, tapi semuanya mengarah ke satu hal—mereka menginginkan sesuatu darinya. Sesuatu yang hanya dia miliki."
Revan menatap sebuah foto lama Zaine yang tampak sedang bertarung. "Apa itu?"
Riko menghela napas. "Itulah yang harus kita cari tahu. Tapi sebelum itu…"
Dia menoleh ke arah Revan dengan tatapan tajam. "Gue harus tau seberapa kuat lo sekarang."
Revan menelan ludah. "Maksud lo?"
Riko berdiri dan berjalan ke tengah ruangan. "Sparring. Sekarang juga."
Revan terkejut. "Tunggu, di sini?"
"Jika lo ingin bertahan, lo harus belajar mengendalikan kekuatan itu," kata Riko. "Jadi tunjukkan pada gue, Revan. Tunjukkan apa yang telah diwariskan Zaine pada lo,"
Revan mengepalkan tangannya. Ia bisa merasakan suara Zaine berbisik di dalam kepalanya lagi.
"Akhirnya. Mari kita mulai."
Dengan napas berat, Revan mengambil posisi bertarung. Dan pertarungan pun dimulai.
BRUK!
Revan melompat mundur setelah sebuah pukulan keras dari Riko hampir mengenai wajahnya. Dia nyaris tidak bisa melihat gerakan itu—cepat, tajam, dan penuh pengalaman.
"Jangan mundur!" bentak Riko. "Hadapi gue!"
Revan mengepalkan tinjunya. Keringat mulai mengalir di pelipisnya. Instingnya berteriak, menyuruhnya menyerang.
"Serang. Gunakan kekuatan lo," suara Riko.
Riko bergerak cepat. Dalam sekejap, dia sudah di depan Revan, mengayunkan pukulan straight yang nyaris mengenai dagunya. Revan refleks menghindar, tapi sebuah tendangan menyapu kakinya dari bawah.
DUG!
Revan jatuh ke lantai, punggungnya menghantam keras.
"Bangun br*ngs*k!" suara Riko tajam.
Revan menggeram. Otot-ototnya terasa tegang. Dia belum terbiasa menghadapi petarung sekuat ini, tapi tubuhnya tahu apa yang harus dilakukan. Dengan gerakan cepat, Revan mendorong tubuhnya bangkit, langsung mengambil posisi bertarung lagi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Matanya berubah. Sorotnya lebih tajam. Nafasnya lebih teratur.
Riko menyipitkan mata. "Hah… akhirnya..."
Dalam sekejap, Revan melesat maju. Tubuhnya bergerak seperti bayangan—cepat, mematikan. Dia mengayunkan pukulan hook ke arah Riko. Mantan petarung itu menangkisnya dengan mudah, tapi Revan sudah memutar tubuhnya, melepaskan tendangan memutar yang hampir mengenai pelipis lawannya. Riko melangkah mundur, sedikit terkejut.
"Jadi begini, ya…" gumamnya.
Revan tidak membiarkan kesempatan itu hilang. Dia maju lagi, melayangkan serangkaian serangan cepat—jab, cross, elbow strike. Riko bertahan dengan baik, tapi Revan bisa melihat celah. Tanpa berpikir panjang, dia merunduk, lalu meluncurkan uppercut tepat ke perut Riko.
DUKKK!!!
Riko tersentak mundur. Namun, alih-alih marah, dia tersenyum. "Bagus," katanya, mengusap perutnya. "Tapi lo masih menahan diri."
Revan terengah-engah. Dia tidak menyadari seberapa cepat tubuhnya bergerak tadi. Itu bukan dia—itu bukan refleksnya. Itu milik seseorang yang jauh lebih berpengalaman.
Riko mengendurkan kuda-kudanya. "Gue bisa liat sekarang. Lo memang istimewa."
Revan menghela napas panjang, berusaha mengatur kembali pikirannya. "Lalu… apa yang harus gue lakukan sekarang?"
Riko menatapnya lama sebelum menjawab. "Gue akan membuat lo lebih kuat. Dan kita akan mengungkap siapa yang ada di balik semua ini."
...---...
Dalam beberapa minggu berikutnya, Revan berlatih lebih keras dari sebelumnya. Riko melatihnya dengan disiplin ketat, memaksanya untuk memahami teknik bertarung yang belum pernah ia kuasai sebelumnya.
Setiap pukulan, setiap tendangan, setiap pergerakan semakin terasa alami. Dia mulai mengendalikan kekuatan yang diwarisi dari Zaine.
Suatu malam, saat Revan meninggalkan tempat latihan, dia merasa ada yang mengikutinya. Langkah kaki terdengar di belakangnya, senyap tapi jelas. Revan berhenti, jantungnya berdetak kencang. Ia menoleh perlahan. Dua pria bertubuh besar berdiri di bawah lampu jalan, menatapnya tanpa ekspresi.
"Revan," salah satu dari mereka berbicara. "Kami sudah menunggumu."
Revan mengepalkan tinjunya, mereka datang. Revan berdiri diam, matanya mengunci kedua pria yang kini melangkah mendekatinya. Lampu jalan yang redup membuat wajah mereka sulit dikenali, tapi dari postur dan cara mereka bergerak, Revan bisa langsung tahu—ini bukan orang biasa.
Revan menarik napas dalam, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Salah satu pria, yang bertubuh lebih kekar, berbicara dengan suara berat. "Bos ingin bertemu denganmu. Kami tidak mau membuat keributan."
Revan mengernyit. "Bos siapa?" Pria itu tidak menjawab, hanya melangkah lebih dekat. Revan mundur selangkah, tubuhnya menegang. Dia bisa merasakan hawa ancaman dari mereka.
"Gue gapunya urusan sama lo," katanya tegas.
Pria kedua, yang lebih ramping tapi tampak lebih cepat, tertawa kecil. "Kalau begitu, kita harus membawamu dengan paksa." Tanpa peringatan, pria itu melesat ke depan.
WHUSH!
Pukulan cepat meluncur ke arah hidung Revan. Revan terkena pukulan itu dan Revan memegang hidungnya
"A-apa-apaan ini..? S-sakit sekali.." kata Revan sambil mengusap hidungnya.
"Tapi ini seru." Revan pun nyengir saat itu.
Pria itu kebingungan dan merasa bahwa Revan gila.
"Aish.. Ternyata dia ini anak yang sudah gila, kasian padahal masih muda." kata pria itu sambil menendang perut Revan.
DUG!
Revan kehilangan keseimbangan sejenak, tapi dengan cepat ia memutar tubuhnya, melayangkan siku ke arah lawannya.
CRACK!!
Siku itu mengenai rahang pria kedua, membuatnya terhuyung mundur.
Pria pertama langsung mencoba menangkapnya, tapi Revan bergerak lebih cepat. Revan merasa bahwa ingatan gerakan ada di dalam otaknya dan serangan pria itu terlihat ke arah matanya sendiri. Ia merunduk, menyapu kaki lawannya dengan tendangan rendah.
BRUK!
Pria itu jatuh ke tanah.
Revan segera mengambil kuda-kuda lagi, napasnya tak beraturan.
Namun, alih-alih marah, pria yang jatuh itu malah tertawa pelan. "Heh… ternyata memang benar."
Revan mengernyit. "Benar apa?"
Pria itu bangkit perlahan, mengusap dagunya yang sedikit berdarah. "Kau memang punya sesuatu yang spesial."
Pria ramping yang terkena sikunya tadi juga sudah berdiri lagi, matanya penuh antusias. "Tak heran bos tertarik padamu."
Revan semakin waspada. "Siapa bos kalian?"
Pria kekar itu hanya tersenyum samar. "Kau akan tahu cepat atau lambat. Tapi sepertinya, kau belum siap untuk bertemu dengannya."
Tiba-tiba, keduanya mundur perlahan.
"Kita akan bertemu lagi, Revan," kata pria ramping itu. "Dan saat itu terjadi… pastikan kau sudah siap."
Kemudian, dalam sekejap, mereka menghilang ke dalam bayangan malam. Revan tetap berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.