Gendhis Az-Zahra Bimantoro harus menerima takdir kematian ayahnya, Haris Bimantoro dalam sebuah kecelakaan tragis namun ternyata itu adalah awal penderitaan dalam hidupnya karena neraka yang diciptakan oleh Khalisa Azilia dan Marina Markova. Sampai satu hari ada pria Brazil yang datang untuk melamarnya menjadi istri namun tentu jalan terjal harus Gendhis lalui untuk meraih bahagianya kembali. Bagaimana akhir kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penderitaan Berlangsung
Setelah kejadian itu, Bismo dilarikan ke rumah sakit. Gendhis sangat khawatir dengan kondisi kakaknya. Ia ingin menjenguk Bismo, namun Khalisa dan Marina melarangnya dengan tegas.
"Kamu tidak pantas menjenguk Mas Bismo.
Kamu hanya pembawa sial," ucap Khalisa, dengan nada yang sinis.
Marina menambahkan, "Iya, Gendhis. Kamu hanya akan membuat Mas Bismo semakin stres. Lebih baik kamu diam saja di rumah."
Gendhis sangat sedih mendengar perkataan mereka. Ia merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi pada Bismo. Ia ingin melihat kakaknya, namun ia tidak berani melawan Khalisa dan Marina.
Selama Bismo dirawat di rumah sakit, Marina dan Khalisa semakin berkuasa di rumah itu. Mereka memperlakukan Gendhis dengan lebih kejam dari sebelumnya. Gendhis harus melakukan semua pekerjaan rumah sendirian. Ia tidak punya waktu untuk beristirahat, apalagi untuk memikirkan Bismo.
"Gendhis, cepat siapkan makan malam! Aku sudah lapar," perintah Khalisa, dengan nada yang kasar.
Gendhis segera bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Ia memasak dengan terburu-buru, karena takut Khalisa akan marah jika ia terlambat.
Saat makan malam, Khalisa dan Marina makan dengan lahap, sementara Gendhis hanya makan sisa-sisa makanan mereka. Ia merasa sangat lapar, namun ia tidak berani meminta makanan lagi.
"Kamu ini memang tidak tahu sopan santun. Makan saja seperti orang yang tidak pernah makan," cibir Marina, sambil tertawa sinis.
Gendhis hanya bisa menunduk dan menahan air matanya. Ia merasa sangat hina dan tidak berdaya. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Khalisa dan Marina.
Suatu malam, Gendhis tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Bismo. Ia sangat merindukan kakaknya. Ia ingin melihatnya, namun ia tidak tahu bagaimana caranya.
Keesokan harinya, Gendhis memberanikan diri untuk pergi ke rumah sakit. Ia berharap bisa melihat Bismo secara diam-diam.
Namun, sesampainya di rumah sakit, ia melihat Khalisa dan Marina sudah berada di kamar Bismo. Mereka terlihat sangat bahagia dan tertawa-tawa. Gendhis merasa sangat sakit hati melihat mereka. Ia tidak mengerti mengapa mereka bisa bersikap seperti itu setelah apa yang telah mereka lakukan pada Bismo.
Gendhis memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan Khalisa dan Marina. Ia ingin pergi dari rumah itu, namun ia tidak tahu harus ke mana.
****
Dengan hati yang hancur dan dipenuhi rasa putus asa, Gendhis mengambil keputusan untuk kabur dari rumah itu. Ia sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan kejam Khalisa dan Marina. Ia merasa seperti hidup di neraka.
Malam itu, Gendhis mengemasi beberapa potong pakaian dan barang-barang berharganya ke dalam tas. Ia menunggu hingga Khalisa dan Marina tertidur pulas. Setelah memastikan situasi aman, ia keluar dari kamar dengan hati-hati.
Gendhis berjalan mengendap-endap menuju pintu depan. Ia membuka pintu perlahan-lahan dan keluar dari rumah. Ia berlari secepat mungkin, tanpa tahu arah dan tujuan. Yang ada di pikirannya hanyalah menjauh dari rumah itu sejauh mungkin.
Namun, belum jauh ia berlari, tiba-tiba Marina muncul di hadapannya. Wanita tua itu terlihat marah dan menatap Gendhis dengan tatapan yang penuh kebencian.
"Mau lari ke mana kamu, hah?" tanya Marina, dengan suara yang kasar.
Gendhis terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu, Marina tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Marina kemudian memanggil satpam yang berjaga di sekitar rumah. "Tangkap dia! Dia mau kabur!" perintah Marina, dengan nada yang keras.
Satpam itu segera menghampiri Gendhis dan menangkapnya. Gendhis meronta-ronta dan mencoba untuk melepaskan diri, namun ia tidak berdaya.
Marina menghampiri Gendhis yang sudah tidak berdaya. Ia menampar wajah Gendhis dengan keras hingga gadis itu tersungkur ke tanah.
"Kamu pikir kamu bisa lari dariku?" tanya Marina, dengan nada yang sinis.
Gendhis hanya bisa menangis dan menahan rasa sakit di pipinya. Ia sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Marina kemudian berjongkok di hadapan Gendhis dan menunjuk wajahnya dengan jari telunjuknya. "Dengar baik-baik, Gendhis. Kamu tidak akan pernah bisa lari dariku. Kamu akan selamanya menjadi budak di rumah ini," ucap Marina, dengan nada yang penuh ancaman.
Gendhis menatap Marina dengan tatapan yang penuh ketakutan. Ia tahu, Marina tidak main-main dengan perkataannya. Ia sudah pasrah dengan nasibnya.
Marina kemudian menyuruh satpam untuk membawa Gendhis kembali ke dalam rumah. Gendhis berjalan dengan lesu, ia sudah kehilangan harapan untuk bisa bebas dari neraka itu.
****
Beberapa hari kemudian, di sebuah kamar rumah sakit yang sunyi, Bismo perlahan membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Ia mencoba untuk menggerakkan tangannya, namun terasa sangat sulit.
Bismo melihat sekeliling kamar. Ia tidak mengenali tempat itu. Ia mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi, namun ingatannya masih belum pulih sepenuhnya. Yang ia ingat hanyalah pertengkaran dengan Khalisa dan Marina, dan setelah itu, ia tidak ingat apa-apa lagi.
Saat Bismo sedang berusaha untuk mengingat kejadian yang menimpanya, tiba-tiba ia melihat Khalisa duduk di sebuah kursi di sudut kamar. Khalisa terlihat sangat santai, ia bahkan sedang asyik dengan kutek di kuku-kukunya. Ia sama sekali tidak menoleh ke arah Bismo, seolah-olah pria itu tidak ada di sana.
Bismo terkejut melihat sikap Khalisa. Ia tidak menyangka istrinya akan bersikap acuh tak acuh padanya setelah apa yang terjadi. Ia merasa sangat kecewa dan sakit hati.
"Khalisa," panggil Bismo, dengan suara yang lemah.
Khalisa menoleh ke arah Bismo dengan wajah yang datar. Ia sama sekali tidak menunjukkan rasa khawatir atau simpati.
"Oh, kamu sudah bangun rupanya," kata Khalisa, dengan nada yang dingin.
Bismo tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menatap Khalisa dengan tatapan yang penuh kekecewaan.
"Kamu tidak perlu khawatir, Mas. Aku sudah mengurus semuanya," kata Khalisa, sambil tersenyum sinis.
Bismo mengerutkan keningnya. "Mengurus apa?" tanya Bismo, dengan nada yang bingung.
"Semuanya. Termasuk perusahaan dan juga ... kamu," jawab Khalisa, dengan nada yang misterius.
Bismo semakin tidak mengerti dengan perkataan Khalisa. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya.
"Apa maksudmu?" tanya Bismo, dengan nada yang curiga.
Khalisa tidak menjawab pertanyaan Bismo. Ia hanya tersenyum dan kemudian kembali fokus pada kuku-kukunya.
Bismo merasa sangat marah dan frustrasi. Ia ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, namun ia tidak berdaya. Ia hanya bisa terbaring di ranjang rumah sakit dan menatap Khalisa dengan tatapan yang penuh pertanyaan.
"Kamu tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, Mas. Lebih baik kamu diam saja dan nikmati hidupmu yang baru ini," kata Khalisa, dengan nada yang merendahkan.
Bismo terdiam. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres di sini. Ia merasa Khalisa dan Marina telah merencanakan sesuatu yang buruk terhadapnya.
"Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Bismo, dengan nada yang penuh tekad.
Khalisa tertawa sinis. "Silakan saja. Tapi aku pastikan kamu tidak akan pernah menemukan jawabannya," kata Khalisa, dengan nada yang meremehkan.