Aku menyukaimu! Tapi, Aku tahu Aku tak cukup pantas untukmu!
Cinta satu malam yang terjadi antara dia dan sahabatnya, membawanya pada kisah cinta yang rumit. Khanza harus mengubur perasaannya dalam-dalam karena Nicholas sudah memiliki seseorang dalam hatinya, dia memilih membantu Nicholas mendapatkan cinta sang gadis pujaannya.
Mampukah Khanza merelakan Nicholas bersama gadis yang di cintai nya? Atau dia akan berjuang demi hatinya sendiri?
Ayo ikuti kisah romansa mereka di sini! Di Oh My Savior
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Whidie Arista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Mengapa dia terlihat cantik?
Pukul dua siang, sekiranya Khanza tahu jika Cherry beserta timnya telah pulang dia pun kembali ke rungan Nic untuk mengurus berkas yang tadi telah di tanda tangani dia tak ingin bertemu Cherry untuk saat ini.
Ceklek...!! Khanza membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu itu sudah biasa dia lakukan, namun untuk sekarang, alangkah terkejutnya dia, ternyata Cherry masih ada di dalam sana dan Nic hendak membetulkan resleting gaun yang Cherry kenakan. Dia berdiri menghadap punggung Cherry dengan leher jenjang yang nampak terbuka.
Deg... Seketika Khanza membalikan tubuhnya jantungnya hampir saja berhenti berdetak, dadanya berdenyut nyeri.
"Maaf aku sudah mengganggu, seharunya aku mengetuk pintu dulu," Nic berdehem, menetralkan suasana canggung yang begitu saja tercipta.
"Masuklah." Perintahnya, Nic sudah kembali duduk di kursi kerjanya, sedangkan Cherry dia sudah duduk di sopa sembari memainkan ponselnya.
Khanza masuk sesuai perintah Nic, dia memasang ekspresi profesionalnya agar tidak terlalu kentara jika dia sebetulnya cemburu.
"Khanza, tolong berikan surat kontrak ini pada Nona Cherry dan sebutkan beberapa syarat dan ketentuan yang kita miliki, begitu pun sebaliknya." Nic kembali memposisikan diri di depan komputernya.
'Kenapa harus aku yang katakan? Bukannya sudah jelas tertera di surat kontrak,' gumam Khanza dalam hati, namun dia tetap melakukan apa yang Nic suruh.
Setelah menyetujui dan menandatangani kontrak, Cherry bersama asistennya pun pergi. Kini tinggallah Khanza dan Nic di rungan itu.
"Maaf tadi aku mengganggumu." Ujar Khanza.
"Tidak papa, lagi pula tidak ada hal aneh yang ku lakukan," jawab Nici enteng.
"Tidak ada hal aneh?" Khanza melempar pertanyaan ambigu.
"Tentu saja, itu hanya membantunya membetulkan resleting, dasar apa yang kau pikirkan? Bersihkan otakmu itu," tegur Nic, sembari memukul kepala Khanza pelan dengan sebuah map.
"Otakku selalu bersih, oke!" Khanza merapikan rambutnya yang sempat berantakan akibat ulah Nic.
Heh... Nic melempar pandang meledek, dia sama sekali tak percaya dengan ucapan Khanza. Khanza hanya membalasnya dengan memutar bola matanya jengah, membuat Nic seketika terkekeh geli.
'Kenapa sih nih anak sukanya ngeledekin aku mulu,' keluh Khanza dengan wajah cemberut lucu. Membuat Nic seketika tertegun, entah mengapa dia merasa jika Khanza terlihat imut.
Ehem, "kemarikan kontraknya aku ingin lihat." Nic mengambil lembaran kontrak dari tangan Khanza untuk mengalihkan perhatiannya.
'Sial ada apa denganku? Dia itu Khanza bukan Cherry.' Nic tak tetap tak bisa mengalihkan perhatiannya pada kontrak tersebut, karena Khanza berdiri tepat di hadapannya dia tengah membereskan meja Nic yang berserakan.
Nic menatap leher Khanza yang putih bersih, garis wajahnya yang nampak sempurna serta dagu runcing dan hidung mancungnya, entah mengapa dia jadi tampak lebih cantik di mata Nic saat ini, 'dia ternyata cantik juga, kenapa aku baru menyadarinya. Kemana aku selama ini?'
"Nic!" Khanza menjentikkan jari tepat di hadap wajah Nic.
Hem.. Jawabnya sembari melengos membuang muka ke arah lain, dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Kenapa kau melamun?"
"Tidak, siapa yang melamun," dalihnya, "aku hanya memikirkan langkah kedepannya."
"Tembak aja langsung!"
Hah...? Nic menuntut jawaban dengan wajah keheranan.
"Kalau suka ya bilang suka, apa susahnya." Khanza berucap dengan wajah datar.
"Bukan itu, aku memikirkan tentang perusahaan," Nic melipat tangan di dada sembari menyandar di kursi putarnya, Ia menilik wajah Khanza lagi, "kenapa aku merasa jika kau cemburu."
Deg... Mata Khanza membola seketika, apa dia sudah ketahuan?
"Sepertinya kau sudah gila, bagaimana mungkin aku cemburu, apa lagi padamu," Khanza menggeleng-gelengkan kepalanya sembari memberi tatapan mengejek dari ujung matanya.
"Oke, oke." Nic manggut-manggut sembari mengangkat kedua telapak tangannya setengah badan, "lalu apa kau punya pacar?"
'Ini lagi-lagi pertanyaan yang paling malas aku jawab,' Khanza menghela napas sembari beralih menatap Nic.
Nic masih menuntut jawaban, "tidak mungkin kan kau melakukan itu untuk yang pertama kali dengan orang lain, pasti kau melakukannya dengan pacarmu."
"Aku ingatkan kamu, kita berada di kantor. Lagi pula, aku tak wajib menjawab pertanyaan privasi ku kan, meski kita adalah teman." Jawaban yang Khanza berikan seketika membuat bibirnya bungkam, tapi dalam benaknya dia masih saja penasaran siapa pria itu.
Nic menunduk, "sorry!"
"Sudahlah, tak apa," Khanza menghela napas lantas pergi sembari membawa setumpuk berkas kembali ke ruangannya.
'Nic, aku tahu kamu masih mengingat apa yang terjadi waktu itu, aku tahu kau Pria yang baik dan mungkin jika aku mengatakan kalau kau yang pertama dan satu-satunya yang menyentuhku kau akan bertanggung jawab terhadapku. Tapi yang aku inginkan adalah dirimu seutuhnya.'
Khanza meletakan semua yang Ia bawa di mejanya dan berkutat kembali pada pekerjaannya.
Sore selepas pekerjaan selesai seperti biasa Khanza menyetir dan Nic duduk di belakang, sebagai asisten dia harus mengantar jemput Nic setiap hari dan menemaninya kapan pun dan kemana pun Nic pergi.
"Menepi di sana." Perintah Nic, dia menunjuk sebuah cafe dengan nuansa klasik.
"Kenapa? Kau lapar? Sebentar lagi kita akan sampai di rumahmu," tanya Khanza sembari melajukan mobil ke dalam parkiran.
"Aku sedang ingin makan di luar." Jawab Nic sembari turun. Khanza mengikuti Nic turun pula, mereka langsung masuk dan memilih tempat duduk.
"Pesan saja apa yang kau suka." Nic membuka laptopnya dan mulai menyibukkan diri di sana.
"Kamu bukannya lapar?" tanya Khanza keheranan sembari memilih makanan di buku menu.
"Kau saja yang pilihkan," jawab Nic tanpa mengalihkan pandangannya.
Khanza berdecak, 'apa sih maksudnya, mengajak aku makan tapi dia malah sibuk bekerja. Lebih baik pulang ke rumah.' Al hasil Khanza makan sendiri dan Nic tetap sibuk dengan pekerjaan.
"Sudah selesai?" tanya Nic kala melihat makanan di piring Khanza sudah lenyap.
Khanza mengangguk sebagai jawaban, "kau tidak makan?" Khanza balik bertanya karena makanan Nic masih utuh.
"Sudah biarkan saja, ayo kita pulang." Nic hendak beranjak, namun Khanza masih tetap pada posisinya.
Nic menoleh, "ayo!" ajaknya.
"Habiskan dulu makananmu," perintah Khanza tegas, "aku akan menunggu." Nic kembali duduk.
Nic menghela napas dan mulai makan, dia tak bisa membantah perintah Khanza jika soal makan. Nic punya masalah lambung dan Khanza tahu betul semua itu, dulu waktu Nic jatuh sakit karena penyakit lambungnya Shelia amat sedih dan panik dan Khanza lah yang merawatnya. Jadi, sekarang dia tak pernah membiarkan Nic telat makan sedikit pun.
"Oke!" Nic mulai menyantap makanannya dengan perlahan, sesekali dia melirik Khanza yang tengah memainkan ponsel di tangannya. Khanza terlihat tertawa kecil entah apa yang dia tertawakan di sana.
Nic mengerutkan dahi, 'siapa yang dia hubungi?'