Harap bijak memilih bacaan.
riview bintang ⭐ - ⭐⭐⭐ = langsung BLOK.!
Barra D. Bagaskara, laki-laki berusia 31 tahun itu terpaksa menikah lagi untuk kedua kalinya.
Karena ingin mempertahankan istri pertamanya yang tidak bisa memliki seorang anak, Barra membuat kontrak pernikahan dengan Yuna.
Barra menjadikan Yuna sebagai istri kedua untuk mengandung darah dagingnya.
Akibat kecerobohan Yuna yang tidak membaca keseluruhan poin perjanjian itu, Yuna tidak tau bahwa tujuan Barra menikahinya hanya untuk mendapatkan anak, setelah itu akan menceraikannya dan membawa pergi anak mereka.
Namun karena hadirnya baby twins di dalam rahim Yuna, Barra terjebak dengan permainannya sendiri. Dia mengurungkan niatnya untuk menceraikan Yuna. Tapi disisi lain Yuna yang telah mengetahui niat jahat Barra, bersikeras untuk bercerai setelah melahirkan dan masing-masing akan membawa 1 anak untuk dirawat.
Mampukah Barra menyakinkan Yuna untuk tetap berada di sampingnya.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Suana di kamar inap rumah sakit itu begitu khidmat. Yuna begitu anggun dan cantik dalam balutan gaun pernikahan yang sederhana. Riasan tipis diwajah putihnya, memancarkan aura kecantikan yang elegan.
Mana Rena terlihat bahagia bisa menyaksikan hari pernikahan putri semata wayangnya.
Beliau merasa lega dan sudah siap di operasi dengan segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi padanya. Setidaknya, Yuna telah jatuh pada laki-laki yang tepat.
Paman Yuna sudah siap menjadi wali untuk keponakannya. Menggantikan sang adik yang lepas dari tanggung jawab sebagai seorang ayah.
Keluarga dari pihak Mama Rena tidak ada satupun yang hadir. Termasuk Liona, dia sudah lepas tangan pada kakak dan keponakannya karna Yuna tidak mau menikah dengan Tuan Hutomo.
"Siapa yang akan menjadi saksi dari pihak laki-laki.?" Tanya Pak penghulu setelah memeriksa identitas Yuna dan Barra.
Barra terlihat celingukan, menatap ke arah pintu. Lalu merogoh saku jas untuk mengambil ponsel. Namun setelah itu pintu terbuka. Dokter yang biasa menangani Mama Rena masuk kedalam ruangan.
"Maaf terlambat, ada pasien yang harus di tangani."
"Saya Dokter Alan, saksi dari pihak mempelai laki-laki."
Dokter Alan menghampiri mereka. Menjabat tangan mereka satu persatu termasuk Yuna dan Mama Rena. Setelah itu duduk di kursi yang sudah disediakan.
"Sudah lengkap semua.?" Tanya Pak penghulu.
"Sudah." Jawab Barra singkat. Dia terlihat santai, namun sorot matanya berkata lain. Hanya Yuna saja yang bisa mengartikan tatapan mata Barra.
Nyatanya pernikahan ini memang bukan keinginan mereka berdua.
"Baiklah, kita mulai ijab kabulnya."
"Silahkan dihapalkan dulu,," Penghulu yang akan menikahkan mereka, memberikan selembar kertas pada Barra.
Kertas berisikan rangkaian kalimat sederhana yang mengandung sejuta makna dan tanggung jawab yang besar.
Buliran keringat mulai bermunculan di pelipis Barra.
Berulang kali terlihat menarik nafas dalam, lalu menghembuskan seolah mengeluarkan beban berat.
"Bisa dimulai.?" Tanya penghulu setelah memenrikan waktu beberapa menit untuk Barra menghafalkan ijab kabul.
Barra menjawab dengan anggukan. Saat penghulu itu menjabat tangan Barra, jantung Yuna mulai berdetak kencang. Dia tidak bisa duduk tenang di samping Barra. Sangat gelisah dengan pikiran yang kacau.
Berulang kali menyakinkan diri jika ini adalah keputusan yang tepat, tapi nyatanya tidak ada keyakinan itu.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Barra Ditya Baskara bin Hendra Baskara dengan saudari Yuna Anindya binti Handoko dengan maskawin uang 100 juta rupiah dibayar tunai.!!"
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Yuna Anindya binti Handoko dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.!"
Deghh,,,!
Yuna memaku. Detak jantungnya berhenti sesaat, setelah itu berdetak kencang.
Seluruh tubuhnya meremang, terasa dingin dari ujung kaki hingga kepala.
Pernikahan ini hanya berlandaskan perjanjian di atas kertas, tapi kenapa begitu nyata dan sakral.
"Bagaimana para saksi.?"
"Sahh,,,,"
"Alhamdulillah,,," Mama Rena paling kencang mengucap syukur.
Pernikahan kali ini sangat berbeda dengan pernikahan pada umumnya. Biasanya pengantin yang terlihat jauh bahagia dihari pernikahannya. Tapi ini sebaliknya. Justru orang tua dan saksi yang terlihat bahagia.
Yuna meneraih tangan Barra dan mencium punggung tangannya dengan ragu - ragu. Butuh waktu beberapa saat untuk sekedar mencium tangan Barra.
Begitu tangan saling terlepas, Barra mendekatan wajahnya sembari memegangi kedua sisi kepala Yuna.
Mata indah Yuna terpejam. Dia tidak melihat saat Barra mencium keningnya, tapi bisa merasakannya hingga seluruh tubuh meremang.
Untuk pertama kalinya seorang laki-laki mencium keningnya.
"Selamat bro,,,!! Makin hangat aja ntar." Ucap Dokter Alan denga candaan.
"Gue aja belum nikah, lu udah,,,
"Makasih bro. Sorry jadi ngerepotin." Potong Barra cepat. Dia menepuk kencang pundak Dokter Alan sampai si empunya meringis kesakitan.
Dahi Yuna seketika berkerut melihat kedekatan Barra dan Dokter Alan. Awalnya dia berfikir Barra menjadikan Dokter Alan sebagai saksi lantaran selama ini Dokter Alan yang menangani Mama Rena. Setelah dilihat dari kedekatan mereka berdua, Yuna jadi menebak kalau mereka adalah teman dekat.
"Jadi,,," Yuna menghentikan ucapannya. Beruntung suara lirihnya tidak didengar oleh siapapun.
Ini jawaban dari rasa penasaran Yuna kenapa Barra bisa tau tentang dirinya. Pasti Dokter Alan yang sudah memberikan informasi dirinya pada Barra.
Ruangan itu kini sepi. Semua orang sudah pergi termasuk Penghulu dan Dokter Alan. Begitu juga dengan keluarga dari pihak Handoko.
Hanya ada Mama Rena, Yuna dan Barra yang tersisa didalam.
"Sekarang Yuna sudah jadi tanggung jawab kamu, Mama titip Yuna. Tolong jaga Yuna, jangan kasari anak Mama Satu-satunya."
"Yuna sudah banyak menderita karna ulah Papanya. Semoga nak Barra bisa membahagiakan Yuna."
Pinta Mama Rena dengan tatapan penuh harap dan memohon.
Barra menjadi satu-satunya harapan bagi Mama Rena untuk memberikan kebahagiaan pada Yuna. Karna Mama Yuna tidak yakin dirinya bisa membahagiakan Yuna dalam kondisi saat ini.
"Mama jangan khawatir, itu sudah jadi kewajiban saya untuk menjaga dan membahagiakan Yuna."
Jawaban tegas Barra membuat Mama Rena merasa lega. Sejak awal dia memang tidak salah menilai Barra.
"Terima kasih nak Barra."
"Yuna,,," Kini Mama Rena beralih pada putrinya.
"Barra sudah jadi suami kamu, biasakan yang sopan saat memanggil suami. Jangan panggil nama atau kamu saja."
"Iya Mah, Yuna tau,,,"
"Satu lagi, kamu juga harus berbakti pada suamimu. Sama seperti kamu berbakti pada Mama dan Papamu selama ini."
Manik mata Mama Rena mulai menggenang air mata. Selama ini Yuna telah menjadi anak yang baik dan berbakti padanya. Memperlakukannya dengan baik dan penuh cinta, sedikitpun tidak pernah membantah ucapannya.
...****...
Yuna masuk kedalam kamar mandi mandi untuk mengganti gaunnya dengan baju santai.
30 menit lagi Mama Rena akan dipindahkan ke ruang operasi.
Barra masih menemani Mama mertuanya.
Dia hanya melepas jas hitamnya dan menggulung kemeja panjangnya hingga sebatas siku.
"Semalam Mama tanya sama Yuna, kalian akan tinggal dimana setelah menikah. Tapi Yuna bilang kalian belum membicarakannya."
"Yuna sudah menjadi hak kamu, kamu boleh membawa Yuna asal jangan melarang Yuna untuk menemui Mama. Karna hanya Yuna satu-satunya harta yang Mama miliki saat ini."
Mama Rena meneteskan air mata. Meski belum siap berpisah dengan Yuna, tapi Mama Rena tidak mau egois. Dia harus tetap memberikan kebebasan pada putrinya yang sudah bersuami.
"Jangan khawatir, Yuna akan tetap tinggal dengan Mama. Saya sudah membeli rumah di sini."
"Lagipula saya sudah mulai bekerja disini, hanya saja akan sering keluar kota. Jadi sebaiknya Mama tetap tinggal dengan Yuna biar Yuna nggak sendirian kalo saya ke luar kota."
Penuturan Barra membuat Maam Rena tersenyum lega. Karna pernikahan putrinya tidak membuat mereka tinggal terpisah.
"Mama,,," Suara Yuna mengakhiri pembicaraan Barra dan Mama Rena.
"Ada apa nak.?" Mama Rena menatap pintu toilet yang masih tertutup rapat.
"Bisa bantu Yuna bukain resleting gaun.? Resletingnya nyangkut." Seru Yuna lebih keras.
"Ada suamimu disini, kenapa minta tolong sama Mama yang susah berjalan." Ucapan Mama Rena seketika membuat kedua mata Yuna membulat sempurna.
"Oh,, a,,aku pikir dia,, maksudku mas Barra sedang keluar." Yuna menjawab kikuk.
Barra beranjak dari duduknya tanpa bicara apapun. Dia berdiri di depan pintu toilet dan mengetuknya.
"Buka pintunya." Pinta Barra setelah beberapa kali mengetuk pintu namun Yuna tak kunjung membukanya.
Yuna membuka pintu, hanya mebukanya beberapa senti saja. Dia sampai harus mengintip untuk melihat Barra.
"Nggak usah, nanti aku coba buka lagi." Tolak Yuna halus. Bukannya pergi, Barra justru mendorong pintu dan menyelonong masuk. Membuat Yuna hampir berteriak histeris. Untung saja Barra langsung menutup mulut Yuna.
"Jangan sampai Mama kamu curiga." Tegas Barra mengingatkan. Seketika membuat Yuna membiarkan Barra membantu membuka resleting gaunnya.