NovelToon NovelToon
Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Bepergian untuk menjadi kaya / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Balas Dendam
Popularitas:862
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.

​Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.

​Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.

​Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.

​Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.

​​Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 27: Sambal Pedas untuk Tamu Tak Diundang

​"Woi! Mana pelayannya? Masa tamu sudah duduk sepuluh menit nggak ada yang nawarin minum? Restoran macam apa ini!"

​Suara bariton yang kasar itu menggelegar, menabrak dinding kayu jati Dapur Rempah Maya yang baru saja dipel bersih. Maya yang sedang mencatat pesanan di meja nomor lima tersentak. 

Dia menoleh ke arah pintu masuk. Lima orang pria berbadan besar dengan jaket kulit kusam dan aroma rokok yang menyengat baru saja merangsek masuk. 

Tanpa mengantri, mereka langsung menduduki tiga meja utama di barisan depan, tepat di bawah kipas angin besar.

​"Sabar ya, Jeng. Saya urus sebentar," bisik Maya pada pelanggan ibu-ibu yang wajahnya mendadak pucat.

​Maya melangkah mendekat dengan senyum profesional yang dipaksakan. Di belakangnya, Budi, anak putus sekolah yang baru diterima kerja, tampak gemetar memegang nampan. 

Sementara Arlan—yang masih asyik dengan perannya sebagai pelayan magang bernama 'Lan'—sedang sibuk menuangkan teh di sudut lain, namun matanya sudah menyipit tajam ke arah kerumunan preman itu.

​"Selamat siang, Bang. Mohon maaf, mejanya sudah dipesan orang dan di luar masih banyak yang mengantre. Kalau Abang mau makan, silakan ambil nomor antrean dulu di depan," ujar Maya dengan suara setenang mungkin.

​Pria yang duduk di tengah, yang memiliki tato kalajengking di lehernya dan dikenal sebagai si Garong, tertawa terbahak-bahak. 

Dia meludah ke lantai, tepat di dekat sepatu kerja Maya. "Antre? Kamu nggak tahu siapa saya? Saya ini yang punya wilayah sini! Mana ada sejarahnya saya makan harus pakai nomor-nomoran kayak di Puskesmas!"

​"Tapi ini aturan resto kami, Bang. Semua pelanggan diperlakukan sama," balas Maya tegas.

​"Halah! Aturan sampah!" si Garong menggebrak meja jati yang masih mengkilap sampai gelas-gelas kosong di atasnya berdenting. "Saya dengar resto ini sombong banget sejak punya 'backing'-an orang kota. Masakannya juga katanya enak. Mana? Coba saya cicipi. Paling-paling cuma rasa bumbu instan pasar!"

​"Bang, tolong jangan bikin keributan. Pelanggan lain terganggu," Maya mencoba memblokir pandangan pelanggan lain yang mulai ketakutan dan ingin keluar.

​"Biarin saja mereka pergi! Biar tempat ini sepi sekalian!" si Garong berdiri, perut buncitnya menyentuh pinggiran meja. Dia meraih mangkuk sambal terasi segar yang baru saja diletakkan Budi di meja sebelah, lalu dengan gerakan kasar, dia menumpahkannya ke atas meja jati Maya. "Cuih! Bau apa ini? Sambal kok baunya kayak sampah kampung!"

​Warna merah sambal itu mengotori serat kayu jati yang mahal. Hati Maya perih melihat meja yang ia beli dengan uang hasil keringatnya dikotori begitu saja. Namun, alih-alih menangis atau berteriak minta tolong, Maya justru menarik napas panjang. Dia mengambil sebuah ulekan batu kecil yang masih berisi sambal korek paling pedas—hasil ulekan manual Mak Onah—dari rak pajangan dapur terbuka.

​Plak!

​Maya membanting ulekan batu itu tepat di depan hidung si Garong.

​"Oh, jadi Abang bilang masakan saya sampah kampung?" suara Maya mendadak dingin, nyaris membeku. "Ini sambal paling pedas di Dapur Rempah Maya. Cabe rawit setan asli dari kaki bukit, diulek pakai keringat janda

 tua yang jujur. Kalau Abang beneran laki-laki sejati yang punya wilayah, habiskan ini satu ulekan tanpa minum. Sekarang."

​Si Garong tertegun. Teman-temannya di belakang mulai berbisik-bisik. Pelanggan yang tadinya mau kabur malah berhenti di pintu, penasaran melihat nyali pemilik resto mungil ini.

​"Kalau saya habiskan, terus kenapa?" tantang si Garong, mencoba menutupi rasa kagetnya.

​"Kalau Abang habiskan tanpa nangis, saya kasih Abang makan gratis seumur hidup di sini. Tapi kalau Abang nangis atau minta ampun, silakan angkat kaki, pel lantai yang Abang ludahi tadi sampai bersih, dan jangan pernah injak kaki di sini lagi. Gimana? Berani nggak? Atau cuma berani gertak perempuan saja?" Maya menaikkan alisnya, menatap lurus ke mata merah si preman.

​"Kurang ajar ini bocah!" salah satu anak buahnya hendak maju, tapi si Garong menahannya. Gengsinya tersulut di depan banyak orang.

​"Oke! Siapa takut! Cuma sambal beginian doang!" si Garong menyambar sendok kayu besar. Dia menyendok sambal korek yang penuh dengan biji cabai itu dan memasukkannya ke mulut dalam satu lahapan besar.

​Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

​Wajah si Garong yang tadinya cokelat sawo matang berubah menjadi merah padam. Kemudian ungu. Matanya mulai melotot, air mata mulai menggenang di sudut matanya yang sangar. Keringat sebesar biji jagung mulai membanjiri dahinya.

​"Ugh... hukk... hukk!" si Garong mencoba menelan, tapi tenggorokannya seperti disiram bensin yang terbakar api.

​"Gimana, Bang? Enak? Itu rasa 'sampah kampung' yang saya maksud," sindir Maya sambil bersedekap.

​"Air... air!" si Garong mulai megap-megap. Tangannya meraba-raba meja, mencoba mencari gelas, tapi Maya dengan cepat menjauhkan semua air minum dari jangkauannya.

​"Eits, janji tetap janji. Jangan nangis dulu, Bang. Habiskan dulu," goda Maya.

​Teman-teman preman lainnya panik. Salah satu dari mereka mencoba merebut botol mineral di meja sebelah, tapi langkahnya terhenti saat Arlan, yang sedari tadi diam membisu, tiba-tiba berdiri di jalur mereka. Arlan masih memegang kain lap, tapi auranya sudah bukan lagi pelayan magang.

​"Mundur," ujar Arlan pendek. Hanya satu kata, tapi getarannya membuat preman itu ciut.

​Si Garong sudah tidak tahan lagi. Rasa pedas itu benar-benar menyiksa sarafnya. Dia meraung frustrasi, air matanya tumpah membasahi pipinya yang kasar. Dia merasa dipermalukan di depan anak buahnya oleh seorang wanita.

​"Bangsat! Kamu ngerjain saya ya!" teriak si Garong sambil mengusap air matanya kasar. Rasa perih cabai di tangannya malah masuk ke mata, membuatnya makin histeris. "Hancurkan tempat ini! Hancurkan semuanya!"

​Si Garong yang sudah kalap itu meraih pinggiran meja jati milik Maya. Dia mengerahkan seluruh tenaganya yang besar untuk membalikkan meja seberat hampir seratus kilogram itu. Para pelanggan menjerit, Budi menutup matanya, dan Maya reflek mundur satu langkah.

​Namun, suara meja yang terbanting tidak pernah terdengar.

​Sebuah tangan yang terlihat sangat kokoh, dengan urat-urat yang menonjol di punggung tangannya, tiba-tiba menekan kaki meja itu dari sisi bawah. Hanya dengan satu telapak tangan, gerakan si Garong terhenti total. Meja itu tidak bergeming sedikit pun, seolah-olah sudah dipaku ke bumi.

​Si Garong melotot, melihat ke arah pemilik tangan itu. Arlan berdiri di sana, masih dengan seragam pelayan kremnya yang rapi, namun wajahnya begitu dingin seolah-olah dia baru saja keluar dari lemari es.

​"Sudah saya bilang tadi," suara Arlan rendah, sangat tenang, tapi penuh ancaman yang mematikan. "Meja ini baru saja dipel. Jangan dikotori lagi dengan tanganmu yang kotor itu."

​Si Garong mencoba menekan lebih keras, tapi tangan Arlan tetap tidak bergerak satu mili pun. Si preman baru menyadari sesuatu; dia tidak sedang berhadapan dengan pelayan biasa.

​"Lepasin nggak! Siapa kamu?!" gertak si Garong, meski suaranya mulai bergetar karena rasa pedas di mulut dan ketakutan di hati.

​Arlan tidak menjawab. Dia justru memberikan tekanan balik yang membuat tangan si Garong terjepit di antara meja dan kekuatannya sendiri. Bunyi gemertak halus terdengar, membuat suasana resto seketika hening mencekam.

​Maya menatap punggung Arlan. Dia baru sadar, di balik sikap absurd Arlan yang mau-mauan jadi pelayan magang, pria ini adalah predator yang sedang menjaga wilayahnya.

​"Lan..." bisik Maya tanpa sadar.

​Arlan melirik Maya sekilas melalui bahunya. "Tenang, Bos. Sampah-sampah ini biar saya yang buang ke tempatnya."

1
Ma Em
Semangat Maya semoga masalah yg Maya alami cepat selesai dan usaha kateringnya tambah sukses .
Savana Liora: terimakasih udah mampir ya kk
total 1 replies
macha
kak semangat💪💪
Savana Liora: hi kak. makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!