Ini cerita sederhana seorang pemuda di pedesaan. Tentang masalah pertumbuhan dan ketertarikan terlarang. Punya kakak ipar yang cantik dan seksi, itulah yang di alami Rangga. Cowok berusia 17 tahun itu sedang berada di masa puber dan tak bisa menahan diri untuk tak jatuh cinta pada sang kakak ipar. Terlebih mereka tinggal serumah.
Semuanya kacau saat ibunya Rangga meninggal. Karena semenjak itu, dia semakin sering berduaan di rumah dengan Dita. Tak jarang Rangga menyaksikan Dita berpakaian minim dan membuat jiwa kejantanannya goyah. Rangga berusaha menahan diri, sampai suatu hari Dita menghampirinya.
"Aku tahu kau tertarik padaku, Dek. Aku bisa melihatnya dari tatapanmu?" ucapnya sembari tersenyum manis. Membuat jantung Rangga berdentum keras.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35 - Kok Jadi Gini?
Dita bergerak cekatan di dapur, seperti kebiasaannya selama ini. Tangannya mengambil beras, mencuci, lalu menanak nasi seolah tak ada badai yang baru saja menghantam hatinya. Wajahnya datar, matanya menunduk. Ia berusaha mengatur napas, menelan sesak yang masih mengendap di dadanya. Sesekali air matanya hampir jatuh lagi, tapi cepat-cepat ia seka dengan punggung tangan. Ia tak mau Firza melihat kelemahannya. Setidaknya, belum sekarang.
Firza duduk di kursi ruang makan sambil memainkan ponsel. Kakinya digoyang-goyangkan, wajahnya masam. “Lama amat. Dari tadi perutku udah keroncongan,” gerutunya.
“Iya, sebentar lagi,” jawab Dita pelan tanpa menoleh.
Rangga memperhatikan dari ambang pintu ruang tengah. Ada sesuatu yang terasa janggal. Biasanya Dita akan menyahut Firza dengan nada ceria, atau sekadar bercanda kecil. Sekarang tidak. Kakak iparnya itu seperti robot bergerak, tapi jiwanya entah di mana.
Tak lama, Dita menghidangkan nasi, sayur bening, dan lauk sederhana. Semua tersaji rapi di meja makan. Ia duduk di hadapan Firza, namun tak langsung menyentuh makanannya.
Firza melirik Dita. “Kok diem aja? Biasanya cerewet.”
Dita tersenyum tipis, senyum yang dipaksakan. “Capek aja, Mas.”
“Capek apa? Di rumah doang,” balas Firza ketus. Ia mulai makan tanpa peduli ekspresi istrinya.
Rangga ikut duduk, meski nafsu makannya hilang. Ia mencuri pandang ke arah Dita yang menunduk, memainkan sendok di piringnya. Nasi itu nyaris tak berkurang.
Firza menghentikan kunyahannya. “Kamu kenapa sih, Dek? Dari tadi kayak orang ilang semangat. Ada masalah?”
Dita terdiam sejenak. Jantungnya berdegup kencang. Bayangan foto-foto itu kembali berkelebat di kepalanya. Ia menarik napas panjang. “Nggak ada.”
“Nggak ada tapi mukanya kayak mau nangis?” suara Firza meninggi. “Aku capek di luar, pulang-pulang malah disuguhi suasana kayak orang berduka.”
Rangga refleks menegang. Ia menatap Firza, lalu Dita. “Bang, mungkin Kak Dita emang lagi nggak enak badan.”
Firza melirik Rangga tajam. “Aku nggak nanya kamu ya!"
Rangga terdiam. Tangannya mengepal di bawah meja.
Dita akhirnya mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tetap berusaha tenang. “Maaf kalau aku bikin Mas nggak nyaman.”
“Bukan soal nyaman atau nggak,” Firza mendengus. “Kamu itu istri! Tugas kamu bikin rumah ini enak, bukan bikin suasana jadi berat!”
Kata-kata itu seperti pisau yang menancap pelan tapi dalam. Dita menunduk lagi. Bahunya bergetar halus, namun dia menahannya sekuat tenaga. Ia tak mau menangis di depan Firza, apalagi di depan Rangga.
Rangga menatap piringnya. Dadanya terasa panas. Ia tak mengerti kenapa Firza begitu mudah marah. Padahal tadi siang kakak iparnya masih terlihat baik-baik saja. Atau mungkin selama ini dia memang tak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi di balik rumah tangga mereka.
“Maaf,” ulang Dita lirih.
“Maaf, maaf terus,” Firza membanting sendok ke piring. Suaranya beradu nyaring. “Aku tuh butuh istri, bukan patung!”
Itu membuat Rangga spontan berdiri. Kursinya bergeser kasar. “Bang Firza, ngomongnya jangan gitu.”
Firza menoleh tajam. “Kamu ngatur aku lagi?”
Rangga menelan ludah. Amarah dan takut bercampur jadi satu. “Aku cuma… nggak tega lihat Kak Dita.”
Dita cepat-cepat menggeleng. “Nggak apa-apa, Dek. Duduk!”
Rangga ragu sejenak, lalu menurut. Namun matanya tetap menatap Firza dengan cemas.
Firza berdiri. “Aku hilang selera makan gara-gara kalian.” Ia mengambil air minum, meneguknya sekali, lalu meninggalkan meja makan. Suara langkahnya menjauh ke kamar membuat suasana makin sunyi.
Dita akhirnya tak sanggup lagi menahan air matanya. Satu tetes jatuh ke piring, disusul tetesan lain. Ia menutup wajahnya dengan tangan.
“Kak…” suara Rangga bergetar. “Kalau ada apa-apa, Kakak bisa cerita.”
Dita menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Kakak cuma capek.”
Jawaban itu tidak meyakinkan, tapi Rangga tak berani memaksa. Ia tahu batasannya. Namun melihat Dita seperti itu membuat dadanya ikut perih.
Malam itu, Rangga masuk ke kamar dengan pikiran kacau. Ia merebahkan diri sambil menatap langit-langit. Bayangan Dita yang menangis dan Firza yang marah terus berputar di kepalanya.
“Kenapa jadi begini? Mereka padahal pas baru nikah mesra terus. Kok tiba-tiba berantem gini,” gumamnya pelan.
Rangga lebih mengerti dita sebaliknya juga begitu rasanya mereka cocok
mangats thor sllu ditunggu up nya setiap hari