Kirana menatap kedua anaknya dengan sedih. Arka, yang baru berusia delapan tahun, dan Tiara, yang berusia lima tahun. Setelah kematian suaminya, Arya, tiga tahun yang lalu, Kirana memilih untuk tidak menikah lagi. Ia bertekad, apa pun yang terjadi, ia akan menjadi pelindung tunggal bagi dua harta yang ditinggalkan suaminya.
Meskipun hidup mereka pas-pasan, di mana Kirana bekerja sebagai karyawan di sebuah toko sembako dengan gaji yang hanya cukup untuk membayar kontrakan bulanan dan menyambung makan harian, ia berusaha menutupi kepahitan hidupnya dengan senyum.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20
Sejak tiba tadi pagi, Yuda lebih banyak melamun. Pandangannya kosong, pikirannya entah melayang ke mana. Beberapa kali ia salah mencatat laporan, bahkan hampir saja menandatangani berkas yang belum ia periksa. Sebagai bos, hal seperti itu jarang sekali terjadi pada dirinya.
“Dimas ,” panggil Yuda singkat saat seorang pekerja hampir pergi, “yang ini nanti dikirim hari Kamis, ya.”
pekerja itu mengangguk, meski raut wajahnya sempat ragu. Jadwal pengiriman sebenarnya hari Rabu.
Tak lama kemudian, Asman, kepala bagian produksi, datang menghampiri meja kerja Yuda sambil membawa map tebal.
Tak lama kemudian, Asman, kepala bagian produksi, datang menghampiri meja kerja Yuda sambil membawa map tebal.
“Pak Yuda, saya mau jelasin soal revisi target produksi minggu ini,” kata Asman sopan. Ia membuka map dan mulai menjelaskan, “Untuk line B—”
“Iya,” sahut Yuda cepat, matanya menatap layar komputer. Namun sorot matanya kosong, jelas tidak benar-benar menyimak.
Asman berhenti sejenak, lalu mencoba lagi dengan nada lebih jelas. “Pak, line B itu salah satu mesinnya sering bermasalah, jadi kalau targetnya mau—”
“Iya, iya… saya paham,” potong Yuda lagi.
Padahal sama sekali tidak. Pikirannya justru melayang entah kemana.
Asman menutup map perlahan. “Pak Yuda…”
Yuda tersentak. “Iya?”
Asman menatapnya hati-hati. “Maaf, Pak… Bapak kelihatannya lagi nggak fokus. Biasanya Bapak selalu detail.”
Yuda terdiam beberapa detik. Ia menyandarkan punggung ke kursi, mengusap wajahnya pelan.
“Maaf, Man,” ucapnya akhirnya. “Saya lagi banyak pikiran.”
Asman mengangguk paham. “Kalau begitu, saya kirimkan ringkasan revisinya lewat email saja, Pak. Biar nanti Bapak bisa baca pelan-pelan.”
“Iya, lakukan itu. Terima kasih,” jawab Yuda singkat, tapi tulus.
Asman mengangguk, lalu berbalik hendak keluar. Namun tepat sebelum pintu tertutup, suara Yuda kembali memanggilnya.
“Asman.”
Asman berhenti dan menoleh. “Iya, Pak?”
Yuda terdiam sesaat, seolah ragu mengucapkan pertanyaannya. Nada suaranya lebih rendah, tak lagi terdengar seperti seorang atasan.
“Man… kamu bahagia, ya… setelah menikah?”
Pertanyaan itu membuat Asman sedikit terkejut. Ia tak menyangka akan mendengar hal seperti itu dari Yuda.
“Alhamdulillah, Pak. Capek iya, tanggung jawab juga nambah. Tapi pulang ke rumah ada yang nunggu, rasanya beda. capek juga seketika hilang"
Yuda mengangguk pelan, menyerap setiap kata.
“Asal sama-sama mau saling nerima, Pak,” lanjut Asman jujur. “Nerima kekurangan, kondisi masing-masing. Itu yang bikin bertahan.”
Kata-kata itu menancap tepat di dada Yuda.
“Terima kasih, Man,” ucapnya lirih.
Asman kembali mengangguk, lalu keluar dari ruangan, meninggalkan Yuda sendirian.
Yuda menatap kosong ke arah pintu yang sudah tertutup. Ucapan Asman berputar-putar di kepalanya.
Nerima kekurangan… kondisi masing-masing.
Yuda tersenyum pahit.
Sebagai bos, ia bisa mengatur segalanya di pabrik ini. Namun soal hati ia bahkan belum yakin, apakah ada perempuan yang benar-benar bisa menerima kondisinya.
“Kalau gagal sekali… apa berarti nggak boleh berharap lagi?” gumamnya pelan, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Ia teringat masa lalu. Pernikahan yang dulu ia jaga dengan sepenuh hati, namun akhirnya runtuh. Bukan karena kurangnya usaha, melainkan karena ia tak lagi dianggap utuh. Ditinggalkan perlahan, lalu benar-benar ditinggal, dengan alasan yang sampai sekarang masih menyisakan luka.
“Kalau niatnya baik… kalau tujuannya cuma mau menemani, menjaga, dan bertanggung jawab…”
Ia mengangguk pelan pada dirinya sendiri.
“Terus apa salahnya mencoba?”
Untuk pertama kalinya sejak lama, Yuda tidak langsung menolak perasaannya sendiri.
Sore itu, Yuda pulang dengan kepala penuh. Jalanan yang biasanya ia lewati tanpa banyak pikir kini terasa lebih panjang. Sesekali ia menghela napas, lalu kembali terdiam, pikirannya berkelindan antara rasa takut dan harap yang belum berani ia beri nama.
Sesampainya di rumah, Lasma sedang duduk di ruang tengah sambil merapikan kain-kain yang baru saja disetrika.
“Pulang, Yud?” sapa Lasma tanpa menoleh.
“Iya, Bu,” jawab Yuda singkat. Ia meletakkan tas kerjanya di kursi dan langsung duduk di seberang ibunya.
Lasma akhirnya menoleh. Ia menangkap sesuatu yang berbeda di wajah anaknya tatapan yang lebih murung dari biasanya.
“Kamu capek, atau lagi mikir sesuatu?” tanya Lasma pelan.
Yuda tersenyum kecil. “Kayaknya dua-duanya, Bu.”
“Kalau hati lagi penuh, jangan dipendem terus. Ibu ini memang tua, tapi masih bisa dengerin.”
Yuda terdiam cukup lama. Ia menunduk, jemarinya saling bertaut.
“Bu… kalau misalnya ada perempuan yang hidupnya lebih berat dari Yuda. Punya tanggungan, punya masa lalu, tapi hatinya baik… apa salah kalau Yuda pengin ada di hidupnya?”
Lasma tak langsung menjawab. Ia menatap Yuda lama, seolah sedang membaca seluruh isi hati anaknya.
“Kamu takut apa?” tanya Lasma balik.
Yuda mengangkat wajahnya. “Takut dia nanti kecewa sama kondisi Yuda. Takut Yuda nggak cukup baik. Takut… kejadian dulu keulang lagi.”
Lasma tersenyum lembut, lalu mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Yuda.
“Yuda,” ucapnya pelan namun tegas, “pernikahan itu bukan soal siapa yang paling sempurna. Tapi siapa yang mau saling nerima, saling jaga, dan nggak pergi saat keadaan nggak ideal.”
Ia mengusap punggung tangan Yuda dengan ibu jarinya.
“Kamu sudah pernah gagal, iya. Tapi kamu juga sudah belajar. Dan perempuan yang baik… nggak akan datang untuk menuntut kesempurnaan.”
"ibu udah sering bilang ini, samalam juga sudah ibu bilang"
Yuda menelan ludah. Dadanya terasa hangat.
“Kalau kamu niatnya benar,” lanjut Lasma, “dan kamu datang bukan untuk main-main, maka sisanya serahkan sama Allah. Soal dia mau nerima atau tidak, itu urusan nanti. Yang penting kamu jujur dari awal.”
Yuda mengangguk pelan.
“Jangan mundur duluan sebelum berjuang,” tambah Lasma sambil tersenyum. “Itu namanya bukan menjaga hati, tapi takut kalah lagi.”
Malam itu, setelah masuk ke kamar, Yuda tidak langsung tidur. Ia duduk di tepi ranjang, ponsel di tangan. Lama ia menatap layar, lalu akhirnya membuka chat Kirana.
Jarinya bergerak pelan, lebih yakin dari sebelumnya.
Yuda:
Assalamualaikum, Mbak Kirana. Maaf ganggu malam-malam. Saya cuma mau nanya… Tiara sama Arka gimana kabarnya hari ini?
Pesan itu terkirim.
Yuda menaruh ponselnya di dada, menatap langit-langit kamar dengan napas lebih tenang.
Ia tidak tahu ke mana perasaan ini akan membawanya.
Ia juga tidak tahu apakah Kirana akan membuka pintu hatinya atau tidak.