NovelToon NovelToon
FORBIDDEN PASSION

FORBIDDEN PASSION

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Bad Boy / Barat
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Lyraastra

Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.


Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TERSUDUT

Ruby mengira hanya dirinya yang akan dipanggil Rhys, tetapi ternyata semua pelayan diminta berkumpul di ruang makan utama. Ia mengamati para pelayan yang berbaris di dekatnya; wajah-wajah cemas, serupa dengan yang ia rasakan.

Sosok yang ditunggu akhirnya datang. Bukan sekadar datang, Rhys seolah menghinggapi ruangan. Kehadirannya yang mendominasi memenuhi setiap sudut, menekan para pelayan hingga terdiam. Dari ujung meja panjang, pandangannya yang tajam menjelajah, mengamati satu per satu wajah tegang di hadapannya. Saat tatapan matanya bertemu dengan mata Ruby, wanita itu buru-buru menunduk.

Dengan sedikit kerutan di dahi, Rhys bertanya, "hanya ini? Dimana yang lain?"

Pertanyaan itu menggantung di udara, para pelayan hanya saling melempar tatapan bingung, tak ada yang menjawab.

Di saat bersamaan, dari arah belakang dua pelayan datang, yakni Eden dan Mira. Keterlambatan itu membuat mereka setengah berlari, berusaha lebih cepat agar tak membuat tuannya semakin marah. "Maaf, Signor," ucap Mira terengah sambil mengatur nafas. "Kami terlambat karena..."

"Tidak ada alasan," potong Rhys segera. "Kalian berdua, segera bergabung dengan yang lain."

Mereka berdua mengangguk patuh. Langkah kaki Eden dan Mira terlihat tergesa-gesa saat bergabung dengan para pelayan, membelah barisan agar bisa berdekatan dengan Ruby. Eden yang berdiri di sebelah kiri menyentuh jari Ruby, memberikan isyarat singkat sebelum meminta Ruby untuk lebih mendekat padanya.

"Ada apa? Mengapa signor mengumpulkan kita semua di sini?" bisik Eden.

Ruby terdiam sejenak, setelahnya ia ikut berbisik. "Aku tidak tahu... Tuan tidak mengatakan apapun."

Eden menelan ludah, ia melirik takut ke arah Rhys, lalu kembali ke Ruby. "Lihatlah wajahnya, dia seperti ingin memakan kita. Apa... salah satu dari kita di sini melakukan kesalahan? Semoga saja itu bukan aku."

Bukankah wajahnya memang seperti itu?

Mungkin kalimat itu yang akan terlontar dari mulut Ruby. Namun, pikirannya melayang teringat saat-saat di dapur, membuat Ruby mengurungkan niatnya. Apakah ini semua karena kesalahannya? Menyadari bahwa selama di dapur tadi, ia justru menghabiskan setengah waktunya hanya untuk berdebat kecil dengan Zade.

Dan pada akhirnya, Rhys tidak menyentuh makanan yang telah ia siapkan.

"Aku tidak suka bertele-tele..." Suara berat itu, membuyarkan lamunan Ruby. Tak ada yang Ruby lakukan, selain berdiri kaku memperhatikan Rhys jauh yang akan kembali berbicara.

"Selama satu minggu ke depan, aku yang akan mengawasi kerja kalian. Tidak ada kecerobohan, dan tidak ada kesalahan sekecil apapun yang merugikan mansion ini. Orang tuaku mungkin akan mentoleransi itu, tapi aku tidak." Rhys menjeda sejenak, menunggu agar perkataannya benar-benar di pahami.

Pandangan tajamnya bergulir, kini terpusat pada Ruby, membuat wanita itu tersentak tiba-tiba. Kemudian ia melanjutkan, suaranya masih dingin dan tegas. "Ada waktu untuk bekerja dan ada waktu untuk mengobrol. Itu peraturan mansion sejak lama, dan aku yakin kalian semua sudah mengetahuinya, meskipun baru bekerja di sini."

"Sekarang, kembali ke tugas kalian masing-masing. Dan pastikan tidak ada kesalahan."

Kata-kata yang mungkin di anggap oleh pelayan lain hanya sebuah pengingat mereka, tapi Ruby artikan berbeda dan mengeklaim bahwa itu teruntuknya. Ruby putuskan perhatiannya dari Rhys dengan menunduk dalam-dalam. Ketika Eden, Mira, dan para pelayan sudah membubarkan barisan, Ruby masih berdiam di sana.

Derap langkah berat terdengar menjauh bersama wajah Ruby tak lagi menunduk. Di depannya, sosok Rhys dan dua pria berbadan besar meninggalkan ruang makan utama. Semakin lama melihat punggung Rhys, Ruby teringat akan sesuatu. Ia merogoh saku bajunya —sebuah kotak beludru merah muda. Itu adalah sapu tangan putih yang beberapa hari lalu ia kotori, kini bersih seperti baru dan ia masukkan pada kotak agar terkesan sopan.

Tanpa berfikir lagi berlari menyusul Rhys yang sudah menghilang.

Sesampai di pintu besar mansion, ia melihatnya. Rolls Royce hitam mengkilap terparkir di halaman, diapit oleh dua pengawal berbadan tegap dengan ekspresi wajah datar. Salah seorang dari mereka berdiri tegak, tangannya siap membuka pintu untuk tuannya.

"Tuan Rhys!" Ruby memanggilnya. Sapu tangan putih ia genggam erat, mencoba mengejar Rhys yang hampir masuk ke dalam kendaraan mewah itu.

Sampai di samping tubuh Rhys. Mata Ruby bertemu dengan nebula mata tajam pria itu yang menatap bingung padanya dengan kedua alis tebal yang saling bertaut. Kerutan halus diantara alisnya mempertegas kebingungannya. Ruby ragu-ragu mengulurkan tangan, sedikit gemetar. "Tuan Rhys," ulangnya. "Ini... ini milik Tuan."

"Apa ini?" Tidak ada pernyataan, hanya pertanyaan yang terlontar begitu hambar.

"Sapu tangan Tuan... yang tak sengaja ku kotori. Aku sudah mencucinya hingga bersih."

Rhys menatap lama, tatapannya tak terbaca dan terkesan tak acuh. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, ia mengambilnya dengan cepat. Sentuhan singkat jari-jari Rhys di kulitnya terasa seperti sengatan listrik, membuat Ruby berkedip. Ia masih setia menatap Rhys saat pria itu memasukkan kotak beludru ke dalam saku jas hitamnya, tanpa sepatah kata, tanpa meliriknya. Mobil mewah itu kemudian melaju membawa pemiliknya, meninggalkan Ruby terpaku di tempat, bersama dua pengawal yang tersisa.

"Dia tak mengatakan apapun padaku, selain bertanya."

Ruby menggigit kecil bibirnya. Mengapa ia sekarang bersikap bak wanita yang ditinggalkan oleh kekasihnya pergi, yang hanya bisa meratapi nasibnya diambang pintu seperti ini?

"Hufft... aku merasa aneh akhir-akhir ini," monolognya, sembari menepuk pipi yang memanas.

Baru kemudian ia menyadari dua pengawal Rhys memperhatikan tingkah anehnya dengan dingin; karena tatapannya tak sengaja menangkap mereka. Ruby buru-buru berlagak biasa, ia netralkan wajahnya. Sayangnya, pandangan dua pengawal itu tidak kunjung berubah, memperparah rasa canggung Ruby saat ini.

Dengan tergesa dan kepala tertunduk Ruby segera memasuki mansion. Ia harus cepat mengambil tas selempangnya dan pergi dari sini. Bukan ke bistro, melainkan ke tempat yang memang Ruby ingin datangi untuk menemui seseorang.

Sedangkan, di mobil mewah yang melesat dengan kecepatan rata-rata, Rhys bersandar rileks di jok belakang, postur tegapnya tak berubah. Meski matanya terpejam menikmati ketenangan, aura kewibawaannya menekan.

Sopir yang membawa mobilnya tidak berani mengganggu, bahkan segan untuk menghidupkan musik agar keheningan tak begitu kental. Si sopir sekilas memandang ke arah Rhys, tepatnya pada tangan Rhys yang menggenggam kotak merah muda yang di diambil dari saku kemeja.

Tidak dibuka, hanya genggam saja.

Mata Rhys terbuka perlahan, memperlihatkan iris coklat gelap yang tajam memandang ke depan, kemudian singkat melirik sopirnya. "Tingkatkan kecepatan. Segera," perintahnya.

Sopir itu, tanpa membantah, langsung merespon. Dengan menginjak pedal gas hingga batasnya, meningkatkan kecepatan mobil membelah jalanan Chicago; melesat di antara gedung-gedung pencakar langit.

"Sesuai yang anda perintahkan, Signor."

.............

Hampir 30 menit berlalu sebelum Ruby sampai di sebuah bangunan bata merah, sementara ia menggenggam erat secarik kertas berisi alamat, telapak tangannya terasa berkeringat dingin. Setelah melewati registrasi yang panjang, seorang penjaga sosial, wanita dewasa dengan senyum ramah bernama Ms. Elle membawa Ruby ke sebuah ruangan bermain yang cerah. Di ruangan itu di penuhi dengan mainan, alat bermain dan buku anak-anak.

Di luar ruangan, atau dari luar jendela, Ms. Elle menunjuk ke arah satu anak laki-laki, sembari berkata, "dia Archie, anak yang ingin kau temui."

"Archie..." Ruby bergumam lirih menyebut nama itu. Ia mengikuti arah pandang Ms. Elle, matanya tertuju pada sosok anak laki-laki yang duduk sendirian di sudut ruangan dengan buku ditangannya.

"Sejak kedatangannya di sini, aku ataupun para pengurus belum pernah melihat dia bermain bersama anak-anak. Selalu membaca buku di tempat yang sama, sendirian. Kadang aku merasa khawatir, tapi dia anak yang baik dan pendiam. Tidak pernah membuat masalah. Hanya saja... agak menyendiri. Kau tahu, anak-anak seusia dia biasanya sangat aktif, mungkin dia butuh teman." Ms. Elle tersenyum simpul, matanya mengamati reaksi Ruby. "Kau yakin bisa mendekatinya? Dia bukan anak yang mudah diajak bicara." Ia menambahkan dengan nada sedikit bimbang.

Ruby ragu-ragu sejenak, lalu mengangguk pelan. "Aku akan mencoba mengajaknya bicara. Tapi, sebelumnya, apa sudah ada orang dewasa yang mengunjungi Archie?"

"Sayangnya, tidak ada."

"Polisi mengatakan, Archie dan ibunya tidak memiliki identitas di sini, dan mereka hidup hanya berdua." Ms. Elle melanjutkan, suaranya sedikit lebih rendah, menunjukkan keprihatinannya. "Itulah mengapa kami semakin khawatir. Dia anak yang baik, tapi kesendiriannya... itu mengkhawatirkan. Kehilangan ibunya, ditambah lagi tidak adanya keluarga lain yang bisa dihubungi, membuat kondisinya semakin rentan."

Rasa bersalah itu semakin menyesakkan untuk Ruby. Ia ingin bertanggung jawab, walaupun secara tak langsung. Ia ingin meminta maaf betapa menyesalnya perbuatan yang di lakukan Amos pada mendiang ibu Archie. Namun, Ruby hanya mampu menatap Archie dari kejauhan, dengan air matanya yang mengancam jatuh. Sejak malam, pikiranya tak tenang. Memikirkan bagaimana ia mendekati Archie lebih dulu dan menjelaskan semua pada anak yang sama sekali belum mengerti tentang kehidupan. Bagaimana ia semalam mencari cara mengatasi masalah pamannya itu, sementara ia masih bergulat dengan rasa bersalah yang tak kunjung.

Elusan lembut pada bahu membuat atensi Ruby teralihkan dari Archie. Senyum hangat Ms. Elle menyambutnya. "Kau tidak bersalah, kau tidak perlu memikul beban kesalahan yang bukan milikmu."

Ruby menggelengkan kepala, air matanya berakhir tumpah dengan sendiri. "Tapi... tapi ini semua karena paman..."

"Aku tahu," Ms. Elle memotongnya dengan lembut. "Pamanmu sudah bertanggung jawab atas perbuatannya, dan dia akan mempertanggungjawabkannya di hadapan hukum. Kau tidak bisa mengendalikan perbuatan orang lain, baik mulutmu begitupun juga hatimu."

"Sekarang temui Archie. Buat dia nyaman dengan kehadiranmu," lanjut Ms. Elle.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!