Alina berkali kali patah hati yang dibuat sendiri. Meski dia paham kesalahannya yang terlalu idealis memilih pasangan. Wajar karena ia cantik dan cerdas serta dari keluarga terpandang. Namun tetap saja dia harus menikah. Karena tuntutan keluarga. Bagaimana akhir keputusannya? Mampukah ia menerima takdirNya? Apalagi setelah ia sadari cinta yang sesungguhnya setelah sosok itu tiada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Ame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Semuanya
Dengan perasaan aneh Alina mengangkat telepon, suaranya masih normal, “Halo mba Kristin? Tumben mba, ada apa? Bisa datang ke undanganku kan ?”
Hening. Kemudian suara di seberang terdengar terburu-buru, cemas, dan panik. Kata-kata yang terlontar membuat jantung Alina seakan berhenti berdetak.
Suara Kristin nampak terburu-buru, “Alina! Roy dan anak-anak kecelakaan! Mobilnya nabrak tiang listrik! Adit sama Andien masuk ICU!” Kristin terengah engah. Namun ia tidak menyadari bahwa pendengarnya lebih tak karuan lagi detak jantungnya.
Alina terdiam, dadanya terasa sesak. Dunia seolah berhenti berputar.
Bu Anik yang melihat wajah pucat Alina, tiba tiba cemas, “Lin? Kenapa? Siapa yang telepon?”
Alina menggigit bibirnya, suaranya gemetar saat akhirnya ia bicara. Tangannya terasa cemas dan tubuhnya limbung, untung saja ia masih dalam kondisi duduk, sehingga handphone pun terjatuh di pangkuannya.
Alina menatap nanar ke depan, bibirnya nyaris berbisik, tapi suaranya terdengar pilu, “Roy... Bu... mereka kecelakaan... Adit sama Andien di ICU...” Bu Anik yang kaget spontan memeluk putri semata wayang nya dan merasakan punggung putrinya bergetar.
Tanpa pikir panjang, Alina bangkit berdiri. Wajahnya penuh kepanikan dan air mata, Ia meraih tasnya dengan tangan gemetar, sementara Bu Anik langsung ikut berdiri, ikut panik melihat perubahan drastis di wajah putrinya.
Bu Anik mencoba menenangkan, “Ya Allah! Alina, tunggu, kita ke rumah sakit sekarang!”
Namun Alina sudah bergegas ke pintu tanpa mendengarkan yang lain. Semua ketegangan tentang pernikahan, sindiran, dan prasangka sirna seketika. Yang ada di pikirannya kini hanyalah Roy dan anak-anaknya. Ia harus segera ke sana.
* * *
"Tolong! Ada yang bawa alat buat buka pintunya?!" teriak seorang pria dari kerumunan, tangannya mencoba menarik gagang pintu yang sudah penyok.
Pak Cipto tak berpikir panjang. Dengan tangan gemetar, ia merogoh ponselnya dan segera menekan nomor Alina. Kristin yang melihat ayahnya kesulitan berbicara karena panik, langsung mengambil alih. "Biar aku saja Ayah"
"Halo, Kak Alina? Ini aku, Kristin… Kak, Kakak harus cepat ke sini. Kak Roy kecelakaan… parah, Kak, Andien dan Adit juga…" suara Kristin tercekat di ujung kalimatnya, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Di seberang sana, terdengar suara kursi bergeser tergesa-gesa, diikuti suara napas tertahan dari Alina. Lalu hening. Beberapa detik kemudian, hanya ada lirih yang terdengar dari mulutnya.
"Apa…?"
Kristin menoleh ke ayahnya, sementara Pak Cipto sibuk membantu orang-orang mengeluarkan korban dari dalam mobil. Ambulans mulai terdengar mendekat, tapi Kristin tahu, di seberang telepon, Alina pasti sedang berusaha memahami kenyataan pahit yang tiba-tiba menghantamnya.
* * *
Di Rumah Sakit
Beberapa jam kemudian, di salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta, Alina berlari panik ke ruang IGD setelah mendapat kabar dari salah satu kerabat Roy. Napasnya tersengal, wajahnya penuh kecemasan. Seorang dokter keluar dari ruang perawatan, membawa kabar yang tak siap ia dengar.
Dokter dengan nada hati-hati “Anda keluarga Pak Roy?”
Alina gugup, suaranya bergetar “I-iya, saya... tunangannya. Bagaimana keadaan mereka, Dok?”
Dokter pun menghela napas, “Pak Roy mengalami luka di kepala dan sempat pingsan, tapi sekarang sudah sadar. Putra pertamanya, Arka, hanya mengalami luka ringan. Namun... dua anak lainnya, Adit dan Andien, mengalami luka cukup parah. Mereka mengalami patah tulang di kaki dan tangan, dan saat ini dirawat di ICU.”
Alina merasa tubuhnya melemas. Ia hampir jatuh jika tidak berpegangan pada kursi di dekatnya. Matanya mulai memanas, hatinya mencelos. Ini seharusnya hari yang bahagia, tapi kini berubah menjadi mimpi buruk.
Alina berbisik, air matanya mulai jatuh, “Ya Tuhan... Kenapa bisa begini?”
Dokter berkata dengan nada lembut, “Saat ini mereka masih dalam observasi ketat. Kami akan berusaha yang terbaik.”
Tanpa pikir panjang, Alina segera menuju ruang perawatan Roy. Saat masuk, ia melihat pria itu duduk dengan kepala diperban, wajahnya penuh kelelahan. Tatapan mereka bertemu, dan Roy langsung menangkap kesedihan di mata Alina. Perlahan, ia mengulurkan tangan.
Roy dengan suara serak, penuh rasa bersalah) “Maaf... Maaf, Alina... Aku gagal datang ke rumahmu. Aku malah...” suaranya terhenti, matanya mulai berkaca-kaca.
Alina menggenggam tangannya erat, menahan tangis, “Kamu dan anak-anak yang jauh, lebih penting. Roy... Aku di sini. Aku gak akan ke mana-mana.”
Malam itu, Alina tak pergi. Ia tetap berada di rumah sakit, mendampingi Roy dan anak-anaknya. Cinta yang selama ini ia pendam, kini semakin nyata di hadapannya. Dan kali ini, ia tak bisa lagi menghindar.
cek profil aku ada cerita terbaru judulnya
THE EVIL TWINS
atau langsung tulis aja judulnya di pencarian, jangan lupa mampir dan favorit kan juga ya.
terima kasih